Skip to Content

Paktua Dengan Secangkir Kopi

Foto fadhlur rahman ahsas

Pada suatu malam yang dingin dan diselemuti oleh debu perkotaan, suasana heboh dengan hiruk pikuk kenderaan yang berlaju kencang, klakson mobil terdengar dari semua sudut jalanan, dalam suasana itu berjalan seorang pemuda yang menenteng tas kumal ditangan sebalah kanan, tas tersebut sudah tak layak di pakai untuk membawa perlengkapan apapun, dilihat dari wajahnya dan penampilan, dia seorang mahasiswa perguruan tinggi di kota Padang, dengan melangkah kaki tegap untuk menuju rumah di pinggiran jalan raya, Pemuda tersebut terhenti sejenak pada sebuah warung dekat rumah yang dia sewa, warung itu biasanya masyarakat menyebut warung kopi mbak Mun, ternyata Pemuda tersebut meminta segelas kopi, karena dia kelelahan dari perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan. Dia tersudut duduk di kursi sebelah kanan warung itu, dia tak sadar bahwa kursi yang dia duduki itu agak rapuh, telihat dari kursi yang dia duduki itu menggambarkan apa yang terjadi pada dirinya yaitu perasaan yang rapuh.

Selama satu menit untuk menunggu kopinya, terlihat dari sudut pandangan pemuda tersebut. Ada seoarang Paktua yang berjalan tegap tinggi, memakai kopiah hitam dan mengeluarkan siulan-siulan kecil sambil menoleh sana-sini. Paktua itu singgah di warung yang sama dengan Pemuda itu. Setiba Paktua di warung mbak Mun, terlontar dari mulut Paktua itu “mbak Mun Kopi satu cangkir”, dengan tidak menoleh sedikit pun kepada Pemuda yang duduk hampir berdekatan. Setelah Paktua itu mendapatkan kopinya dia langsung mengeluarkan rokok dari dalam saku bajunya, dan tak sadar Paktua itu lupa membawa korek api, biasanya korek itu seiring dengan kotak rokok yang ia bawa, dan ia ingin sekali menyalakan rokoknya yang akan ia hisap, Paktua itu langsung menoleh pada Pemuda tersebut, dengan tidak menanyakan korek api tetapi Paktua itu menanyakan “dari ma yuang..? karena ia melihat seorang Pemuda sedang melamun kosong dan Pemuda itu langsung menjawab dengan singkat pula “dari kampus Pak” dengan nada lemas alias tidak keras, Paktua tersebut bertanya lagi “ dima kuliah?” dengan tidak memikirkan apa yang ditanyakan bapak tersebut Pemuda itu langsung menjawab dengan polosnya “ di kampus Pak”, Paktua enggan untuk bertanya lagi, seiring dengan pertanyaan terakhir Paktua itu mempelajari apa yang terjadi pada Pemuda tersebut dan akhirnya Paktua itu menanyakan korek api kepada Pemuda tersebut karena Pemuda itu sedang merokok pula, dan Paktua menyalakan rokok yang akan dia hisap sambil menghirup aroma kopi mbak Mun.

Dalam silang waktu itu Pemuda langsung mencermati apa yang terjadi dengan jawabannya. Didalam hati Pemuda itu berkata “ ya ampun.. aku salah menjawab pertanyaan dari Paktua itu” dengan kesalnya. Sebelum Pemuda itu akan minta maaf dengan jawabannya dari pertanyaan Paktua itu, terbawa dalam suasana malam yang nikmat dengan secangkir kopi mbak Mun, Paktua mengeluarkan suatu syair puisi yang tertulis dari kertas buram yang ada di belakang kotak rokoknya, dan beliau membacanya satu demi satu bait puisi itu;

Rindang Tak Berbuah
“Tertawa langkah kaki tegap
Harap seribu kata demi kata tepat
Hiruk pikuk terdengar melingkari atap
Semua tinggal gelap
Wahai pelita
Berikan aku segelas tuak putih!
Akan meremukkan tawaku
Muka tampa malu
Meremukan semua yang semu
Kau terlamun dalam mimpi”.

Bait demi bait pun Pemuda itu menyimak dan mencermati tiap-tiap makna yang tersirat dalam syair yang diucapkan oleh Paktua. Setelah Paktua berhenti dalam membaca syair tersebut, Pemuda langsung mejulurkan tangan kanannya dan melontarkan kata maaf pada paktua, dan Paktua tak mengujurkan tangannya, karna ingin bertanya satu kata demi kata yang tepat, “ada apa gerangan pemuda, hingga kau menjulurkan tanganmu dan melontarkan kata maaf pada aku apa pasal kau seperti itu, apakah aku menyinggungmu dengan syair ini?” dan Pemuda menjawab “demi tuhan yang aku sembah, sesungguhnya bapak tak membuat aku tersinggung dan sungguh, bapak membuat aku kuat dengan syair yang bapak bacakan, malahan aku mendapatkan suatu pelajaran, dengan perkatan Pemuda, Paktua menyambuti dengan senyuman, lalu paktua bertanya kembali “apa yang membuatmu kuat dan menjadi syair itu pelajaran untuk kamu” dan Pemuda itu tampa berfikir dia menjawabnya “ sewaktu bapak membaca tiap-tiap bait syair itu, aku mencermati dan menafsirkan dalam perasaanku dan syair itu adalah suatu bentuk penjelmaan permasalahan dalam diriku”, dan Paktua spontan memotong perkataan anak muda itu “ begitu kah?” kata pak tua, dan Pemuda itu menjawabnya “ iya Pak” dan Pemuda itu melanjuti penjelasanya “ dalam syair itu akulah lelaki tersebut karena aku yang masih muda dan tegap ini belum bisa menyikapi apa yang ada disekitar dan selalu mengambil tindakan bodoh yaitu ceroboh dan tidak berfikir sebelum berbicara, dan seketika aku menjawab apa yang ada dihadapan saya, selalu dengan ceroboh karena dihantui oleh masalah yang telah berlalu dan saya terlamun oleh masalah-masalah”, Paktua membenarkan apa yang dijawabnya dari pertanyaan itu.

Seirama antara dialog Paktua dengan Pemuda yang sangat mendalam, Paktua pun menatapi secangkir kopi di atas meja warung mbak Mun, Paktua “ anak muda! lihat kopi itu berwarna hitam, apabila kita meminumnya atau mencicipinya terus menerus kita pasti kecanduan denagan kopi, dan begitu juga kehidupan, kehidupan itu laksana kopi hitam jika terlamun dalam kecanduan dunia kita terus membuat hidup ini hitam karena setiap yang mencandukan itu sakit, karena kita terlamun dan tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Apakah anak muda mengerti apa yang saya jelaskan, mungkin suatu saat anak muda akan menemukan jawaban ini dan tak akan menemukan orang yang seperti ini”. Pemuda langsung meneteskan air mata setelah mendengarkan olesan dari Paktua dan dia sadar dengan kesalahannya yang telah berlalu. Terlintas dalam pemikirannya kenapa orang yang sama sekali dia tidak mengenalinya dan tak tahu siapa dia dan ia mau memberikan sesuatu hal dan suatu pelajaran yang membuat saya terkesima karena pelajaran itu sama sekali belum pernah saya ketahui sebelumnya, itu lah yang tergores dalam perasaan Pemuda tersebut.

Malampun telah hampir larut, seiringnya secangkir kopi Paktua itu habis, dan Paktua pun langsung berjalan pulang menuju kerumahnya yang ada didekat pendopo diseberang jalan raya, dan Pemuda tersebut tak sadar dengan Paktua itu telah pulang dan beranjak kaki dari warung itu, karena pemuda masih terkesima dan terperonga oleh olesan dan syairnya Paktua. Dan pemuda itu langsung bertanya pada dirinya, apakah saya telah mengucapkan terimakasih dan memperkenalkan dirinya kepada bapak itu” maka didalam diri pemuda itu timbul tekad untuk harus mengucapkan terimakasih dan harus menganal bapak itu lebih jauh dan ingin tahu siapa sebenranya Paktua itu. Malam telah jauh berputar, maka pemuda itu juga ingin pulang kerumah kosannya yang dekat dengan warung itu, dan ingin rasanya untuk membantingkan badannya keatas kasur nan empuk dikamarnya dan dia pun tertidur pulas untuk menyongsong hari esok.


Genre : cerpen
Judul : Paktua dengan secangkir kopi
Penulis : Fadhlur Rahman Ahsas
Mahasiswa Universitas Bung Hatta

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler