MEMORIAM’
KYAI HAJI ABDURAHMAN BIN KYAI HAJI FAKHRI
&
SITI JAMINTAN BIN KYAI HAJI ABU BAKAR
SINOPSIS
Perang Diponegoro adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830). Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah jawa, maka perang ini disebut sebagai PERANG JAWA. Sekilas fakta sejarah yang penulis paparkan ini adalah benang merah yang merentang kisah “ Kyai H.Abdurahman bin Kyai H Fakhri dan Siti Jamintan bin Kyai H Abu Bakar “ ( Sang Kakek/Nenek Buyut kita ) .
Siapa mereka dan bagaimana pula kisahnya…
Disini penulis berupaya menyingkap tirai fakta yang benar-benar ada, tak ada yang di tutup-tutupi, semua kita bentang secara terbuka, sebab akar sejarah ini adalah dasar kita untuk mengkaji hal-hal apa saja yang terjadi hari ini dan esok bagi keluarga besar ini , baik secara phisykologis maupun secara genetic maupun metafisis, semua punya rentetan dari benang merah yang merentang sejarah kita.
Sebuah niat yang tulus dan rasa hormat bagi sesepuh pokok turunan kita, maka penulis ingin memberi cermin bagi kita semua , khusus buat putra-putraku(Agung Pratama Nugraha – Mohammed Fathwa Nugraha – Al Afghan Raffsanjany Nugraha serta seluruh keponakan ), ada yang ingin penulis kabarkan bahwa kita tumbuh dari sebuah komunitas keluarga yang sederhana sekali, namun kita tidak pernah kehilangn jiwa besar dan indentitas diri. Itu semua adalah realitas takdir yang diperankan kakek buyut kita dalam ;
“ PRAHARA CINTA SANG KYAI DI TANAH DELI “
Kenapa pertunangan antara “Abdurrahman “ dengan “ Siti Jamintan “ yang telah mendapat restu dari kedua belah pihak yakni Kyai H Fakhri ( orang tua dari pihak pria/Abdurahman) dan Kyai H Aabu Bakar ( orang tua dari pihak prempua/Siti Jamintan ) gagal…
Jawabnya adalah situasi pergolakan perang Diponegoro tidak seperti yang tertuang dalam sejarah(1825-1830) tetapi punya rentetan panjang kedepan dari tahun yang ada dalam fakta sejarah, sehingga membuat Keluarga Kyai H.Fakhri dan Kyai H.Abu Bakar harus hijrah dari pulau jawa demi mennyelamatkan diri dari penyiksaan sang Penjajah. Hijrah dari satu tempat ketempat lain hingga akhirnya takdir mengukir hidup mereka sampai ke tanah jazirah Arab ( Mekkah ).
Beberapa tahun di Mekkah menjalani aktivitas hidup, disanalah Abdurahman menimba ilmu agama islam. Selama di pengasingan terdengar kabar, bahwa beberapa penduduk jawa harus di werek ( kerja pakasa ) ke sumatera pada perkebunan tembakau di tanah Deli. Para penduduk jawa baik laki-laki maupun wanita dikirim dengan kapal perang milik Belanda, dan disaat itulah Siti Jamintan terperangkap dan terpisah dengan keluarganya.
Untuk menghindari hal-hal negatif yang bertentangan dengan perjalanannya ke sumatera’ Siti Jamintan mengambil sikap untuk menerima pendekatan yang dilakukan seorang pria Sadimin yang pada ketika itu dianggapnya dapat melindungi dirinya ( meski gejolak dalam jiwanya tetap mengagungkan rasa kasih yang utuh untuk sang kekasih tercinta yakni pria tampan yang menawan hatinya Abdurahman).
Rasa gelisah dan cemas mewarnai hari-hari Siti Jamintan dan alam pikirann tetap menerawang …Kemanakah Sang kekasih menyelamatkan diri dari buruan penjajah…belum lagi pikiran yang cukup sedih terus membuntuti perasaannya tentang Ayahanda tercinta Kyai H Abu Bakar bersama Ibunda dan adik-adiknya…entah berada dimana dan bagaimana nasibnya…
Kapal terus melaju memecah gelombang menuju daratan Sumatera dari Pulau Jawa, disaat itu perasaan Siti jamintan penuh dengan pikiran kisruh, namun Ia harus menampakkan wajah terhormat dan santun dengan senyum kepada Sadimin agar Ia terlindungi dari hal-hal negative di suasana perjalanan diatas kapal saat itu.
Sementara dibelahan dunia lain reaitas takdir Abdurahman dan Ayahnya Kyai H Fakhri serta beberapa kerabat yang bisa ikut dalam hijrah itu sedang menerima cobaan dari Allah……...liang luka yang dalam harus diterima dengan lapang dada oleh Abdurahman, sebab detik-detik terakhir Kyai H Fakhri yang pesat dengan pesan moral terhadap
ananda tersayangnya Abdurahman mengukir kenangan terakhir tatkala Kyai H Fakhri menghembuskan napas terakhir menghadap Sang Khalik-Nya.
Entah pesan apa yang dibisikkan Sang Ayahanda kepadanya, namun setelah wafat’ Abdurahman selalu diam dan seolah-olah yang dipikirkannya cukup berat. Apakah pikirannya terus terpatri pada gadis pujaannya ditengah Ia baru mengalami kehilangan seorang ayah yang Ia teladani selama ini…atau itukah pesan moral yang ia terima dari sang Ayah disaat terakhir…atau adakah missi yang Ia emban dari wasiat terakhir tentang penyebaran Islam kedepan di Tanah air.
Rasa gelisah dan cemas mewarnai hari-hari kedua insan itu dari tempat yang berbeda, alam pikiran menerawang kesenja temaran dan tanya terus tertatih berjalan menuju persemadian dalam jiwa, dimanakah kau sang terkasih…
langit terkoyak diterpa prahara
bumi luluh diterjang bahana jiwa
batin meronta menguak takdir
tersungkur pada malam tahajjud yang bergetar syahdu
adalah rumah tua yang sering mereka kunjungi
dalam melepas rindu…
aku bukan sang srikandi srigala
yang menghela napas darah dahaga
yang mampu menghapus kenangan lama
Siti Jamintan diselimuti alam yang memilukan … haru dan sedih mewarnai pikirannya tentang Ayahanda tercinta Kyai H.Abu Bakar dan ibunda serta adik-adiknya….entah berada dimana dan bagaimana nasibnya…
Disaat itu pula pikiran Abdurahman terus menggoda hari-harinya untuk kembali ke tanah air, akhirnya Abdurahman memutuskan pulang.Perjalanan panjang dari negara ke negara lain membuat Abdurahman kadang waktu harus tinggal beberapa tahun di negara orang seperti Sabah dan Kelantan, dalam kurun waktu yang cukup lama barulah ia sampai ke pulau sumatera.
Setelah sampai di pulau sumatera Ia terus mencari dimana sang kekasih, seperti layaknya mencari jarum ditumpukan jerami dan menggapai bintang ditengah hari namun berkat malam-malam panjang yang ia lewati tetap memohon petunjuk ke Ilahyat- Nya Ilahi Robby akhirnya dikurun waktu yang cukup panjang sekitar delapan tahun lebih kurang barulah Ia bertemu dengan Siti Jamintan di perkebunan Deli.
Saat itu beragam perasaan membubung tinggi keangkasa liar, ternyata sang kekasih telah menjadi milik orang lain.Memang cinta tak punya alat ukur yang pasti dan takdir tak ada yang bisa menebaknya meski lewat mimpi
cinta bak seganas ombak melulur tanah
merebah pantai kehamparan buih
menikam hati kepusar bumi
gelora haru biru menahan prahara rindu
terkesima dalam linangan air mata
menetes bak embun dikekang ranting kasih
yang serapuh hampanya jiwa
gerai rambut tak lagi diterpa angin
karna beliung tertahan di dahan kering
gerah mendekam dada
bergetar dibelantara jiwa
mengurai mimpi yang semalam
disinar fajar hati yang terhenti bersinar
Tak sepatahpun kata-kata yang terlontar dari bibir Siti Jamintan…rasa enggan dan bersalah serta rindu yang bukan kepalang berperang di jiwanya…sebab pernikahannya dengan Sadimin telah mendapatkan momongan dua orang putra yakni Bibit dan Ahmad.
Gemetar ujung jari dan lidah terasa kering serta linangan air mata yang tumpah adalah sajak cinta yang mengiringinya mengurai kata “ Mas… maafkan aku…..langitpun kugulung untukmu, namun hari-hariku adalah kesalahan alam menempatkan aku disitu….aku mengerti…aku tak sekuat batu karang yang siap menghembang gelombang….dari ganasnya hempangan samudera yang terus menuai badai…..hari-hariku tak seindah yang kau bayangkan…tapi kedua putra ini adalah pemberian tuhan yang tetap kucintai…….aku rela memutus mata rantai tapi tidak untuk sang buah hati yang kumiliki……sebab merekalah pelipur lara ketika aku terbang kebelantara jiwa dalam merindukanmu dari hari ke hari,” Abdurahman terpana hampa’ tak sedikitpun ia bicara, tetapi dari raut wajahnya terlihat senyum sederhan yang melukiskan misteri prahara cinta mereka.
Singkat cerita, akhirnya Siti Jamintan diceraikan Sadimin dengan cara baik-baik dan mohon agar anaknya di jaga baik-baik, semenjak itulah Abdurahman menikahi Siti Jamintan. Belenggu rindu itu sepakat mereka akhiri dari penderitaan jiwa yang selama ini bagaikan sebuah neraka.
Sejarah mencatat mereka sebagai sepasang suami istri yang berangkat dari rasa cinta yang suci, tanpa memandang kekasihnya sudah seorang janda dan punya momongan dua orang putra.
Luka yang diderita Sadimin adalah sebuah takdir yang mau tidak mau harus ia terima dengan ikhlas. Sejarah tak pernah lagi mencatat sampai saat ini…entah dimana rimbanya…….( cinta lara )
Coba kita bayangkan betapa berat tekanan yang diterima dua bocah yang ditinggalkan pada seorang ayah baru yang belum tahu pasti ‘ bagaimana sifat dan tindak-tanduknya
Hari-hari Bibit dan Ahmad selalu dalam diam dan sepi serta rindu yang bukan kepalang terhadap ayahandanya Sadimin, yang seharusnya selalu berada disisi mereka, namun Abdurahman adalah sosok ayah yang arif, lambat laun kedua putra itu selalu dihiasi senyum penuh rasa cinta dan kasih sayang dipelukan manja Sang Ayah (Abdurahman).Allah mentakdirkan lika-liku perjalanan anak manusia, siapapun diatara kita takkan pernah tahu, esok akan terjadi apa.
Abdurahman menateh tangan kedua putra dari bawaan istrinya ke jalan yang penuh makna, etika islami menjadikan kedua putra yang diasuhnya menjadi sosok yang tegas, cerdas dan istiqomah yang akhirnya menjadfikan mereka sebagai pelaku sejarah “ tempat masyarakat bertanya dalam menyemai ladang dunia untuk menuai panen akhirat “
Tahun-tahun berlalu kehadiran dua orang putra yakni Syuib dan Siddik seolah sebuah mimpi indah yang dulu hampir hilang ( Sang buah hati adalah alunan syimpony cinta suci yang takkan pernah berobah nada lagi), sebab kesimpulan kasih sayang dari cinta yang mereka rajut telah hadir bak bunga langka yang jatuh dari sorgawi.
Ke-empat putra ini adalah kristalisasi jiwa yang menyatu dari dua elemen yang berbeda. Bagi Sang Ayah tak ada perbedaann (membeda-bedakan) mereka putra-putranya, sehingga kesepakatan itu diteruskan re-generasi selanjutnya sampai kepada kami di generasi ke lima. Bagi kami keempat pokok turunan itu adalah symbol jati diri kami yang SATU
Fakta sejarah yang penulis paparkan ini adalah kisah nyata dari Kakek buyut kami “ Kyai Haji Abdurahman bin Kyai Haji Fakhri dan Siti Jamintan bin Kyai Haji Abubakar “, dan sejarah panjang ini tidak cuma sebagai teladan tetapi juga sebuah inspirasi bagi penulis untuk mengangkat kisah ini kesebuah karya sastra dengan judul “ PRAHARA CINTA SANG KYAI DI TANAH DELI “.
Penulis
SYAMSUL RIZAL BIN USPAN SYUIB AL-HAJ
Komentar
Tulis komentar baru