Kota Kelahiran Kedua, Manggarai
pondok kami
kampung kami
jantung kami
sajak kami, Manggarai
dalam selimut kabut, dingin menusuk, dan nasib puluhan tahun
secangkir kopi Manggarai, obrolan dalam menikmati kompiang
di perempatan, hilir mudik bemo-bemo dan ojek
orang-orang Manggarai tidak menangih hangat mentari setiap hari
mereka hanya tersangkut dalam hujan dan dingin
memenuhi lapar yang berdebat dengan sajak-sajak penyair tua
Katedral
kami di sini, tidak bisa dipecahkan dengan rumus-rumus
mengukur setiap jengkal kaki yang dibawa oleh ibu kaki
tapi, terhalang oleh juragan kopi dan cengkeh
Dulu kami seperti debu dan bayi yang didustahinakan
mengeja kota tanpa neon
mengingatkan kepada kota
pondok kami
kampung kami
jantung kami
sajak kami, Manggarai
dalam selimut kabut, dingin menusuk, dan nasib puluhan tahun
secangkir kopi Manggarai, obrolan dalam menikmati kompiang
di perempatan, hilir mudik bemo-bemo dan ojek
orang-orang Manggarai tidak menangih hangat mentari setiap hari
mereka hanya tersangkut dalam hujan dan dingin
memenuhi lapar yang berdebat dengan sajak-sajak penyair tua
Katedral
kami di sini, tidak bisa dipecahkan dengan rumus-rumus
mengukur setiap jengkal kaki yang dibawa oleh ibu kaki
tapi, terhalang oleh juragan kopi dan cengkeh
Dulu kami seperti debu dan bayi yang didustahinakan
mengeja kota tanpa neon
mengingatkan kepada kota kelahiran kedua
yaitu Manggarai
Manggarai, 2016
Komentar
Tulis komentar baru