Sedari tadi,
kubuntuti jejak setan
karena aku penasaran tentang si gongli
yang absen di tempat mangkalnya, malam ini.
Aku tak tahu, apa Ia terserang AIDS
atau bunting atau sekarat.
Karenanya aku melacak
hingga tiba di sebuah kedai petak :
Pondok rotan remang-remang,
lampu seadanya
serta koloni penjudi mata merah,
juga botol-botol berlabel haram.
“Mau apa? Sekedar nangkring atau layanan? Aku
Sedang cuti tujuh hari.” Tolak si gongli.
“Bukan itu, bukan badanmu.”
Alisnya turun, batang hidungnya mengkerut.
“Lantas?” Ia mendatangiku.
“Sebuah perbincangan!”
Matanya meledak
“Perbincangan? Hm, seratus lima puluh ribu? Kurasa tak mahal?”
Dia menarikku ke dalam kedai dengan sedikit basa basi.
“Bintang? Topi Miring?”
“Tak usah, cukup softdrink.”
Dia mulai berani duduk di sebelahku
bersama keheranannya yang selalu
bertambah satu.
“Tentang apa?” matanya mencubitku.
“Segalanya!”
Mendengar perkataanku,
dia menghela nafas malam
dalam-dalam sampai dadanya
bengkak.
Mulutnya segan berucap,
yang tersisa hanya matanya yang menantang
dan aku menang.
Kemudian Ia menyalakan batang rokok
yang puntungnya basah karena liur si gongli.
Sambil asik mengulum batang rokok
Dan di sela kepul-kepul asap itu, ia berbisik :
“Entah apa pikirmu, Bung. Biasanya lelaki-lelaki itu
minta surga, tapi kau tanpa apa-apa dan inilah aku, Bung.
Musuh cinta, sarang nafsu!”
Ia tersedak.
Sembari mengusap dadanya yang bengkak,
ia mulai terbuka.
“Aku cuma menikmati sisa umurku, Bung. Selain ini, apa lagi yang pantas kunikmati?
Toh, aku sudah dibuang dari pengakuan? Sekalian saja!”
Patahan-patahan kalimat meluncur
deras, matanya tiba-tiba sembab.
Ia agak ragu.
“aku paham konsep-konsep duniawi; lahir-hidup-mati.
Kulakukan bukan lagi untuk uang, tapi demi balas dendam!”
Bau rambut dan bibirnya yang selalu basah,
entah sudah dinikmati berapa lelaki.
Disibaknya helai-helai rambut itu,
yang mengotori bahunya.
“aku dulunya TKW. Tiga tahun bekerja, aku dibuntingi majikan
dan dipaksa aborsi lalu dipulangkan. Maka isyu bejat menempeliku.
Orang kampung bilang aku melacur. Mulailah banyak bapak-bapak mendatangiku,
Awalnya memang untuk uang, tapi akhir-akhir ini aku
asik sendiri.”
Dia tersenyum sedikit,
merangkai memorinya yang agak berkarat.
Dia tertawa kecil,
danmatanya melompong.
“entah apa aku ini, bisa jadi pelampias birahi
atau sekedar teman berbagi. Ah, persetan aku apa !”
Dari aroma nafasnya aku
melihat sebuah dilema yang
pekat.
Dia memilih menjadi biadab karena
memang itu yang diberi masyarakat.
Dia teraniaya. Dia merasa dikhianati.
Kukumpulkan keyakinan, lalu kutempelkan
Bibirku di tepi kupingnya.
“Kau merindu…”
Ritme nafasnya berubah,
temponya tambah cepat.
Dia kepanasan.
“aku? Pada apa?”
“Tuhanmu!”
Kelopak matanya menutup sesaat,
“Tuhan? Ahahaa. Tuhan sudah melupakanku, Bung!
Ia menyesal sudah membuatku. Mana lagi jalan buatku kembali?
terlalu terjal dan dalam aku ini.”
Muka itu munafik
berupaya memanipulasi rasa haus
yang sudah memuncak.
Aku tahu ia lelah.
Tapi, harga diri dan kesombongannya sebagai gongli
memenjarakannya disini.
Dia rusuh oleh mataku
yang sibuk menyingkap kejujuran batinnya.
Wajah si gongli jadi pucat.
“Aku tak akan kembali! Setapakpun tidak!
Percuma kau bujuk aku, kau bukan nabi. Aku
sudahtak pantas dianggap hamba. Aku tak ingin
kembali!”
Kutantang kemarahannya,
si gongli merasa jengkel.
Mukanya berair, takut kalah.
Dadanya resah, maju mundur bertubi-tubi.
Keringatnya mengucur.
“Kau tahu apa? Seenaknya datang dan menghakimiku! Kenapa
kau bersitegang memintaku pulang? Orang semacam kau
tak bisa mengerti berapa bisa kuteguk sehari. Aku tak peduli tentang
akhirat. Aku sudah benci, benci diri sendiri!
Maka kuhambur-hamburkan martabatku. Karena, aku lelah.
Ini adalah cara mati yang bisa kunikmati.
Kenapa kau kesini, kenapa ?!”
“Karena kau seorang perempuan
Maka kau kucintai!”
Seketika ia terbelalak,
seketika pula kutinggalkan si gongli
dalam lemas.
Ia cuma tersandar,
terdiam juga haru.
Setidaknya dia mereda,
Sekali pula dia melega.
Muntok, 23 Maret 2014
Komentar
Tulis komentar baru