Skip to Content

Masih Tetap Lentera Merah

Foto Lina Sobariyah Arifin

Ciputat, 22 Shafar 1435 H (13:10) 

Selamat siang, lentera merahku. Semoga kamu tadak pernah bosan dengan kisah-kisahku.

Kisah-kisah cinta yang tidak pernah berujung dengan indah, banyak cerita yang pernah kita lalui berdua, manisku. Aku memang berharap, kamu tidak pernah tau, dan tidak akan pernah tahu betapa aku terlalu takut kehilanganmu untuk yang ke dua kalinya. Terima kasih kamu telah melepasku kali ini, menghapus semua kata rindu yang pernah kamu kirimkan lewat nomor handphonmu.

“Seharusnya aku sadar, kalau kamu itu adalah kayu hitam yang hanya berbicara api. Tapi sebenarnya tidak pernah ada api yang hadir dari kamu”, aku mulai menganalogikan pernyataan ini. Dia mengirimnya kira-kira dua hari yang lalu, yaa, dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 20, hari Selasa kemarin pukul 12:47. Ketika aku sedang asik dengan dunia membacakaku, banyak kutipan-kutipan yang aku catat dalam buku harianku, buku yang bercover Merah itu. 

“Jika Elang terbang berputar dan tampak bingung, itu artinya akan ada petaka bagi orang yang ada di bawahnya”, mungkin ini juga sebuah petanda bagiku. Sebuah petaka dikala aku membaca kutipan itu. Bayangkan saja, petaka aku mendapatkan pesan singkat semacam itu darimu. Sepertinya kali ini aku akan kehilangan dirimu untuk yang kedua kalinya, tapi ini karena ulah ku, yaa, ulahku sendiri.

Menjelang Maghrib, ketika suara Adzan berkumandang. Telephon selulerku bergetar kembali, tanda sebuah pesan menghampirinya. Aku buka dan terbaca lagi pernyataan yang kedua untuk hari itu, “Ternyata keberanian itu memang tidak pernah kamu miliki, aku rasa sampai kamu benar-benar merasa bagai kursi kosong”. Aku kutip kembali pernyataan itu dalam buku yang bercover merah itu, kala itu di jam tanganku menunjukan pukul enam sore lebih lima puluh dua.

Hari selasa, hari yang cerah kala itu. Tetapi entah, gugusan awan gelap menghampiriku secara tiba-tiba. Aku mulai tersenyum, tersenyum kembali dan rasanya ini akan terulang kembali. Tetapi, jangan sampai hujan itu datang kembali. Menghampiriku, yang seakan hanya mengejekku, meremehkanku. Cermin itu mulai berbicara, genangan air yang di pertengahan jalan yang berlubang itupun mengataka sesuatu. “Kamu payah lina, kamu tidak berhasil lagi. Untuk kali ini, coba lain waktu kembali”.

Api, ketika aku yang hitam ini berbicara api. Memang bukan kamu yang hadir, tetapi entah siapa. Dia sosok yang masih aku kagumi sampai detik ini, yang entah kapan pula menyingkap selimut yang masih melumuri wujudnya. Api, ke’eksotis’an mu masih terjaga asri. Hijau bagaikan, rerumputan liar yang belum tergores sedikitpun oleh manusia yang katanya dari keturunan Adam itu. Tetapi, kamu tetap merah mempesona. Masih di labirin yang teramat gelap itu, kamu menuntunku dengan cahaya merahmu. Kamu bertransformasi menjadi lentera penerang jiwaku, kaki-kaki kecil ini terbantu berkat jasamu.

Tetika, kegelapan mulai datang. Bayanganku menghilang entah kemana, kamu hadir wahai lentera merahku. Dan bayanganku pun bertemu, beradu pandang dengan bayanganmu. Tetepi, aku tidak pernah melihat wujud aslimu. Semisterius itu kah kamu?

Wallahu a’lam, :-). 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler