SAJAK PERTAMA
:Sebuah keingian untuk kusampaikan ketika sengketa melebur dalam dada, kepada Shinta Ayu Lestari
Lalu kepada siapa aku bersuara
Menadaruskan hujan di mata
Pada dadaku yang penuh dusta
Kata-kata menjadi limbah
Kepadamu dek,
Barangkali bisa
Karena rubaiyat hidupku yang nyata
Hanya semata-mata wilayah luka
Yang membabat makna
Jadi lautan lintah
Aku masih bersimpuh diantara keruh ombak
Samudra fana menjarah kisah
Semacam dendam lama
Menyeretku kedalam petaka
Kelemahanku berbuah kesempatan
Bagi orang-orang yang menikam dari belakang
Kata kunci ini tak semerta ada
Namun telah kuanalisa
Dari pertama hingga selanjutnya
Entah,
Masihkan kau akan percaya
Sukorejo, 19 Mei 2016
SINGGAH DI KAMPUNGMU
Tiba dikampungmu aku membawa kata maaf yang gugur sebelum terucap
Pulang membawa air mata sesal yang menggumpal
Lalu kenangan itu masih mengganjal dalam nurani
Singgah dikampung halamanmu
Malam yang mencengkeram dengan dingin suhu yang nyaris membuatku tenggelam
Tak lagi dapat kubedakan antara langkah dan lelah
Mungkin lantaran kata-kata yang baja
Niat ku tertunda jadi nyata
Usaha jadi sia-sia rasa
Dan derita mengubur penuh murka
Aku belum sepenuhnya semesta
Kampungmu yang sumber dari wangi bukit raung
Menjelma pilu yang meraung
Entah...
Maafku akan diterima
Atau hadirku hanya menjadi berita
Sumber Arum, 17 Juni 2016 00:01
RATAPAN TEDUH DARI LANGIT
Puisi ini aku persembahan
Kepada setiap orang yang memiliki kekuatan tangguh
Dalam menjalani kerasnya kehidupan
Semoga selalu terlimpahkan berkah
Dan kenyataan yang membahagiakan
Sehampar hektar sawah-sawah terserang hama
Menjemput keterpurukan gerobak yang makin lapuk
Dunia yang kejam adalah panggung hidup
Bagi orang-orang yang tak terkalahkan
Walau nasib menghimpit
Walau cobaan mencekam
Walau tangis tak henti-hentinya padam
Memecah sunyi dilorong petang
Ku lantunkan kata sebagai do’a
Lalu air mata yang tak kunjung reda
Menyampaikan salam seribu pengampunan
Mengharap istijabah sampai menjadi ketenangan
Kabulkan keinginan-keinginan agung
Menjelma sebuah hikmah yang mendalam
Oh, Allah
Ratapan teduh dari serangkaian kisah
Kau hadirkan nyata di hadapan mata
Betapa rahmatmu begitu berharga
Agar selalu benar dalam mencapai berkah
Ini adalah rubaiat yang menjadi pelajaran
Dimana seseorang harus mensyukuri nikmatmu
Merenungi uji coba menjadi berkah
Lantaran bagaimanapun ujian
Kau takkan berikan diluar kemampuan
Hidup adalah pelajaran dalam memaknai perjalanan
Karena tangis harus ditebus dengan kesuksesan
Dan usaha yang tak berkesudahan
Widoro payung, 29 Januari 2017
"AKU RINDU PERDAMAIAN ITU"
Hujan membawa berita kebaikan
Didalam tabir kusam tak tersingkap dulu
Kita belajar menganalisa rasa
Pada ketidakpastian kata-kata
Yang meletakkan luka jadi air mata
Atas pahatan-pahatan kisah
Tertera patahan-patahan senyum sumringah
Lalu langit malam menuang do'a
Dan tengadah-tengadah munajat hari ini
Sungguh mengakui
"Aku rindu perdamaian itu"
Disini...
Arti hujan telah menghapus debu-debu usang
Sisa pertikaian caci terdahulu
Semua indah pada waktunya
Widoro payung, 25 Januari 2017
PUISI ALMANAK DUA ENAM
Puisi ini aku persembahkan untuk seseorang yang sempat hadir
Dan pergi ketika luka didadanya memerah
Hanyutkan air mata dan darah pilu
Atas sebuah penghianatan diri
Mengabaikan seucap janji suci
Kepada Arina Faridhatul Munfaiza
Aku arungkan perahu maafku
Berserta layar perdamaian
Yang sempat semu dimataku memandang
Aku telah nyatakan ketidak bersalahanmu lantaran kau yang tak mengerti siapa "dia"
Berusaha menjadikanmu boneka
Sesalku berlumpur tanah
Deras membanjiri dadaku yang belum rata
Walau baru saat ini ku mengerti
Karena cerita sudah lenyap
Dan berganti narasi
Kepadamu juga
Aku berusaha renungi maksud tuhan menyapa dalam sekian baris mimpi
Lalu do'a-do'a yang tertata terbata-bata
Mengajakku usaikan perselisihan sementara
Selama ini
Satu sama lain
Kita mungkin saling benci
Saling enggan menata kebenaran
Tanpa mengerti
Ditengah kita singgah genderang perang
Yang menjelma seseorang
Sekarang
Setelah waktu menjadi senyum nirwana
Lalu tiba-tiba purnama memancar
Dihadapan kita
Apakah persaudaraan itu akan tetap ada
Semoga saja
Widoro payung, 26 Januari 2017
PUISI DUA PULUH ENAM
Sajak ini juga aku persembahkan kepada seseorang
Yang sempat terkena tumpahan bara
Oleh amarah yang tiba-tiba memenggal cerita
Hujan kali ini mengajakku bernostalgia
Tentang rindu ditanahmu
Kala itu gerimis masih belum reda
Dan langit tetap mendung dimataku
Mengganjal setiap hembus nafas
Menghempas disela-sela hariku
Bulan juli berbicara soal resah
Tentang dua orang bersaudara
Memenggal kisah
Atas amarah yang tak kunjung padam
Menyayat senyum-senyum jadi air mata
Menghantam tentang jadi perang
Dua puluh enam
Telah simpulkan berita
Menyampaikan do'a dan harapan
Semoga esok dan seterusnya
Tak lagi ada caci
Yang mengubah ikatan saudara
Widoro payung, 26 Januari 2017
SAJAK HUJAN BUAT DINDA SHINTA
Tentangmu yang tengah larut ditepi hujan
Menyertai air mataku jatuh berguguran
Makna bertahan
Berjuang taklukan riuh rancu kehidupan yang enggan terkalahkan
Kekuatan tangguh
Sekeras batu-batu dijiwamu
Banyak hikmah tercurah
Membuka gerbang hidayah
Dalam hatiku yang berjubah keangkuhan batara
Untukmu yang berlinang menahan arus berliku kerasnya nasib kehidupan
Seusiamu,
Ah...kau tangguh
Katakan!
Kau patut dibanggakan
Buktikan pada mereka
Pada dunia
Pada langit dan cakrawala
Bahwa kau bisa menjadi ujung kebahagiaan berharga
Lihatlah, dinda
Matahari tetap sama warnanya
Dan sampai kapanpun juga
Terus terangi petangnya jiwa
Waktu yang sementara jadikan lebih bermakna
Do'amu pula
Yang menyimpan harapan-harapan ayah bunda
Menjadi surga mulia
Berusahalah
Kekuatanmu adalah kelebihan nyata
Untuk senantiasa kau persembahkan
Dialtar jumantara
Widoro payung, 27 Januari 2017 23:35
KALIMANTAN MENJELANG KAU HIJRAHKAN KENYATAAN
Kalimatku mulai tertatih membaca
Bukan karena kepudaran aksara
Melainkan salam air mata
Menuang senyum yang berlayar
Antara laut kalimantan dan jawa
Dari kepingan-kepingan rinduku
Aku masih tadaruskan kisah yang tengah berlalu
Ketika selisih angka mengajukan bara api
Merenggut matahari sampai benci
Kepada adikku
Seseorang yang tangguh dan patuh
Meratapi nasib bumi perantauan
Apakah sama dengan teduh tanah kelahiran?
Kiranya kata-kataku masih selalu menyesap dalam dadamu
Lantas gemuruh rindu
Serta makna yang kuajarkan mengeja langit biru
Dapat kau telaah lebih dalam lagi
Menjadi semangatmu yang utuh
Kalimantan kau sebut dalam sebuah pesan
Beragam kisah tangis berlinang menjamur dalam angan
Kau gambarkan penderitaan tak berkesudahan
Sedu sedan malam bertabur hujan
Deruh cemohan-cemohan mengurungmu
Belum lagi luka-luka yang harus terobati
Haruskah kau tanggung beban sendiri?
Menjalani hari-hari bisu tak mau tau
Atau kau tetap membatu dalam keluh kisah
Enam tahun itu bersuara paruh
Hadirkan lembar-lembar hampa tanpa cerita
Aku yang merasa lambat menaruh sejuk himalaya
Mampukah membuatmu terus berupaya?
Taklukan susah dan payah yang mengaung dalam jiwa
Dari balik ketenanganmu yang berkumandang
Aku telah temukan serumpun hikayat
Yang memecah air mata siapa saja
Bahwa kesedihan tak patut dihadirkan
Bahkan rasa rapuh harus segera enyah
Karena hidup tak boleh setengah-setengah
Oleh hatimu yang lemah
Dalam sekian banyak ratapan mulia
Kaulah yang dibanggakan ayah bunda
Jangan pernah retaskan harapannya
Teruslah melangkah
Walau berkali-kali air mata
Teruslah melangkah
Walau berkali-kali derita menjamah
Teruslah melangkah
Walau caci maki hina sampai muntah
Berbusa di mulut-mulut tetangga
Karena satu do’a yang paling berharga
Terletak di telapak tangan kedua orang tua
Widoro Payung, 29 Januari 2017
MATAHARI TANAH BORNEO
Aku memilih kata Borneum/borneo menjadi alternatif
Kalimantan dalam jawaban resahku
Menunggu matahari khatulistiwa singgah
Entah sementara
Atau waktu yang lama
Menyusun jumlah rindu milikku
Untuk sekedar meminta senyummu
Bumi perantauan
Memang jauh yang terbayang
Jarak hamparan langit menjulang
Memanjang terpisah lautan
Aku persembahkan rangkaian kata ini
Tak semula aku mengerti
Bahwa kau akan pergi dari tempat merintis diri
Baik-baik disana adikku
Walau aku lambat menyayangimu sepenuh kalbu
Baik-baik disana adikku
Walau separuh waktu yang tertera
Belum menjadikan kita samudra dan telaga
Seribu kalimat rinduku tak cukup redah
Seiring air matas yang membasuh sesal
Lantaran amarah terdahulu begitu kental
Membuatmu kesal
Biarlah
Serumpun kasih yang kau layarkan tersimpan
Menyapa puisi-puisiku tengah malam
Lalu ketika subuh
Kularutkan namamu dalam do’aku
Disetiap sujud sunnah dan fardu
Widoro payung, 31 Januari 2017
LESEHAN SENJA
: nostalgia senja, di lesehan warung Ayunda Sukorejo memorial 26 juli 2015
Ketika itu, aku jatuh cinta kepada saudaramu
Menjelang malam ketika matahari mulai tenggelam
Tepat tanggal dua puluh enam
Aku menyusun sebuah janji ikatan
Yang kau sebut pacaran
Di sebuah warung
Tempat sunyiku biasa melarung
Dan rindu yang mengaung
Menakar senyum ranum
Lesehan senja itu masih teringat
Saat-saat amarah belum kita kenal dalam hati
Bahkan tak satupu kata-kata berserak menanam benci
Kau melihat sudut latar yang sepi
Hatimu rindu barangkali
Widoro payung, 31 Januari 2017
:bahwa dia telah mengingatkanku kepadamu.
Malam ini mengajakku bercumbu rindu
Mengantar serumpun senyum
Ke latar sunyi yang penuh ambisi
Hari telah berujung
Kau hadir kembali menyapaku
Mengajakku merindumu lagi
Dengan tingkah meningkah
Dengan kata-kata yang tak cukup sudah
Yang rebah dalam hati ini
Selalu teringat matahari senja
Meluluhkan kebekuan rasa
Dalam hening siapa yang tengah terkenang?
Aku menemukanmu disini
Bukan dalam wajah yang sama
Sosok dia yang kini menyesap
Mengusung sebuah rubaiat tentangmu
Apa kabar masa lalu?
Apa kabar luka itu?
Benarkah sudah lenyap dalam dada
Atau air matamu masih runtuh membasuh wajah
Disini aku sekedar mengandaikan waktu
Bermain-main dengan ingatan terdahulu
Lalu aku tulis lagi puisi untukmu
Sebatas bernostalgia indah
Walau ku tau kau tak lagi menanam rasa
Widoro payung, 01 Februari 2017
BUKAN LAGU KEMBALI PULANG
-Kepada zulfi sosok widoro payung
Berita hari ini : Hujan absen dalam kealfaan malam
Karena serangkaian acara lepas pisah
Terselenggarakan
Meminta redah dan tak jadi kendala
Iya, ada yang berbeda dari malam sebelumnya
Mungkin hujan sore hari
Mengajak hati bersua rupa
Yang nyaris sama dengan silamku
Berteduh menjadi rindu
Ini bukan soal lagu-lagu blantika negri
Tapi ini puisi
Menyepakati keinginan hati
Agar tertulis sekedar merangkai perasaan
Atas dasar kenangan
Kembali teringat ilusi, menuntut seikat janji
Wajahmu mengingatkanku
Dengan kekasihku dulu
Dengan masa laluku :kangen band
Widoro payung, 01 Februari 2017
SEMOGA BELUM LAMBAT
Kurang lebih enam tahun berembun
Jalan-jalan yang mengantar kita adalah malam
Menuntun sekian banyak rindu
Rindu angin pada lautnya
Rindu matahari pada buminya
Rindu pepohonan terhadap mata air
Lalu juga rindu kakak pada adiknya
Seperti langit yang terus bergemintang
Rasanya aku lambat mengenalmu lebih dalam
Sampai pada batas menjelang sekian
Keakraban baru berani menjemput perhatian
Memberi ruas-ruas penerang hidup
Pada arus yang tak mampu diperkirakan
Kepadamu
Aku telah sematkan kisah
Anatara lapar dan dahaga
Yang sama
Widoro payung, 28 Januari 2017
KAMIS GERIMIS
:senyum yang tertuang tak selalu sama dengan perasaan, kau adalah sebatas kenangan.
Siang menjelang matahari melayang
Angin telah mengantar rinduku
Mengikis resah yang terus bergemuruh
Dalam dadaku itu
Kau hadir lagi tiba-tiba
Membawa senyum yang sempat enyah
Fikiran ini
Masih bersedia berandai-andai
Sesekali mengajak air mata berderai
Mengingat kisah yang usai
Sebelum saatnya
Detik detakku bersuara paruh
Entah apa yang menjadi deruh
Kamis
Tengah hari nyaris gerimis
Di matakuYang layu ini
Sukorejo, 02 Februari 2017
KETIKA ITU HARI RAYA SEMINGGU
Mengenang pertemuan dan perkenalan
Entah angka keberapa?
Aku lupa mengingat enam tahun lalu
Dalam sebuah pertemuan matahari dan bumi
Tujuh hari raya idhul fitri
Mengajakmu menyapa sang bumi
Lantaran jalan yang tak kau kenali
Nyaris membuatmu mengembalikan asal
Aku mengucapkan salam kenal
Bukan untuk menanam hati
Karena silaturrahmi
Harus menjadi isyarat alam
Sebagai wujud persaudaraan
Teringat waktu itu
Senja mengajakku bisu dalam kata
Belum berani bersuara
Sebatas menitikkan senyum
Pada batas huruf dan angka
Sukorejo, 05 Februari 2017
AKU MASIH MENYIMPAN, TANPA KUSENGAJA
- Sekedarnya saja, AFM adalah rubaiat sunyi
Kata-katamu yang berdebu
Masih tersimpan juga tanpa sengaja
Alangkah ku ingat ketika itu
Kau meminta pertahanan rasa
Lantaran hatimu yang ketakutan
Menjelma bayang-bayang ganda
“mas, janji ya gak bakalan ninggalin arin apapun yang terjadi diantara kita dan semoga hubungan kita baik-baik saja. Jika mas memang mempunyai tujuan yang sejalan dengan arin, lambat laun arin akan bercerita pada kedua orang tua arin, dan memperkenalkannya pada mas, seperti yang mas lakukan pada arin!”
Aku sempat mencari huruf-huruf milikmu
Dalam sekian banyak ilusi
Namun nyatanya nihil tanpa pasti
Faktanya aku juga yang menyesap dalam sunyi
Syair-syair itu
Arrgghh, shit!
Kalender dua puluh
Bulan sebelas
Dua ribu lima belas
Kau menulisnya dipojok atas
Begitu jelas
Ah, kandas
Setelah hari pengulangan itu
Terasa pilu kubaca terbata-bata
Nyatanya tetap saja rekah
Kau enyah
Tanpa kata
Sebatas ucap yang belum sempat ku terima
Makna dalam pesan sederhana
Rupanya
Tak ku sengaja
Aku masih menyimpan lembaran lusuh
Dalam almari penuh berkas-berkas usang
Yang tak pernah kusapa dalam kerinduan
Sukorejo, 06 Februari 2017
MELIHATMU, ADA BATUAN RINDU
: Faimz Ardiganz
Seperti juga hujan yang menyapa malam
Saat pelepasan tali temali rasa
Dihadapan luka yang tertera mendalam
Kau telah runtuhkan segala pengharapan
Melihatmu malam ini,
Ada kikisan senyum-senyum tandus
Tersiram gerimis, berteduh diantara angin
Rindu yang layu,
Aku menjengukmu, lantaran sejenak kekalutan kata
Menikam mimpi dan sebagian sajak-sajakku
Didalam asrama tercinta leluhur
Kau dan aku masih berbaur satu ruang
Hati meraung
Mencari peluang
Kau terkurung
Aku kau larang
Kisah yang hilang
Kapan datang
Ah, sebatas kenang
Sukorejo, 06 Februari 2017
RUBAIAT GANDA
/1/
: s. ayu lestari
Kata-katamu pun sempat sepi
Disapa beberapa abjad yang basah
Yang tak bisa terpungkiri
Karena aku yang salah
Pagi kala itu yang mempertemukan
Lewat dunia tak nyata
Aku berharap ada keteduhan merambah
Menjalari ruas-ruas fikiran
Menabur tenang
Barangkali bisa
Lalu ingin ku suakan penjelasan
Bagaimana?
Tentang alur air mata sampai singgah menjadi badai
Ingin ku berkata perihal kabar
Namun layar kaca yang terhampar
Seolah membatasi suaraku
Ini soal luka itu
Yang menderas di bening saudaramu
Karena aku juga yang membibit
Tumpahkan duri-duri dalam bejana
Menembus tabung
Yang menyimpan merah darah
Letak yang tak lagi berbuah jejak
Bahkan kebencianpun
Luluhkan mimpi busuk
Hati remuk
Tak juga menggenggam harapan semula
/2/
: arina aiza
Akan terus ku ingat
Menjadi pelajaran berharga
Walau tak ada kisah yang sempurna
Tanpa cerita abadi
Terima kasih
Atas kesediaanmu menanam manis madu
Di pelataran sejarah
Karena begitu ku tau
Bahwa senja telah lama berlalu
Dan hilir air mata awan gemawan
Ku biarkan menunjukan jalan
Ke arah mana harus kupersilahkan langkah
Menemui hikayat suci
Yang indah dan abadan
Sementara kau yang tertoreh dalam kitab kehidupan
Adalah senyum rembulan saat malam
Menjadi matahari ketika siang
Tanpa lagi gerhana mengutukku
Atas kedustaan perih didadamu
Sukorejo, 07 Februari 2017
TADARUS HUJAN
Bila gerimis menyapaku malam ini
Sungguh terasa manis jum’atku
Menarikan salam kata
Menyedu rindu yang lama tak bertuah
Segenap pengandaian aku
Kau masih saja membisu
Meletakkan batu-batu luka
Dalam dada sejalur hilir air mata
Tetap saja suaramu sepi
Berpaling ke arah yang tak kumengerti
Hujan malam ini
Adalah tadarus awan tanpa bintang-bintang mewarnai
Ah, kau itu
Masih saja tak mengerti
Maksud baik
Yang tersimpan dari dulu
Sukorejo, 09 Februari 2017
DERMAGA AKHIR RINDU
Kapal-kapalpun berlayar mengarungkan do’a
Menjelang keberangkatan
Angin masih bertiup kearah rasa
Turun menjadi air mata
Ketika hendak bersuara
Sirine mengajukan tanda dan waktu
Bahwa kisah senja segera jeda dalam kesementaraan
Lalu matahari yang menunggu
Masih tertimbun seribu pertanyaan-pertanyaan
Menjelang malam,
Runtuh dalam keadaan kelabu
Bayangan dermaga biru khatulistiwa
Mendadak juga singgah
Menakar-nakar jumlah air mata
Lalu akan kubasuh nanti
Dalam setiap do’a
Sukorejo, 11 Februari 2017
KEDUA KALINYA, SETELAH MALAM KEMBALI MENYAPA
Harus berapa banyak lagi lembaran-lembaran kutemukan
Dibibir malam yang masih gontai
Puisi-puisi kembali ramai dalam ilusi
Saat ini
Senjumlah empat rakaat tersimpan bayang-bayang
Belum sepenuhnya aku faham
Sebab bintang-bintang masih suram
Dibisiki angin rindu yang jatuh berguguran
Suara risauku
Ah, sialan
Aku masih lumpur dan batuan
Tak sampai teduhkan kenyataan
Terlalu sulit
sulit menyimpan sakit
sakit terus terungkit
ungkit terus biar makin sakit
tetap terbesit makin gesit
air mata tak mau irit
Jan%#$@^@#%crit
Sukorejo malam, 11 Februari 2017
JIKA AKU INGAT
Mengingatmu tertera dalam kilau air mata
Tiada henti jua hati mendera
Berbaur merah darah
Retasnya cerita adalah kepedihan terlama
“jerune tatu hang sun roso, nggawe bengi nono sempurno”
Mungkin terlalu dalam
Malampun masih tampak kelam
Aku yang tenggelam
Tertikam
Angka dua puluh enam
Sungguh buram
Biarlah gemuruh mengakar segumpal kepedihan
Suatu ketika kelak
Akan redam juga perlahan
Walau tak dangkal kupastikan
Ku ikuti saja alur yang diberikan semesta
Bagaimanapun juga
Meski nanti kau benar-benar enyah dalam prakira
Sukorejo, 12 Februari 2017
KARENA AKU BELUM INGIN LUPA SEPENUHNYA
Sebuah diskusi,
Membahas hati
Malam tadi
Sejenak puisi
Rasionalisasi kisah
Jestifikasi
Pemberian solusi
Kata dan seperti
Anmesia ringan harus ku ingini
Agar tak lagi
Perih
Rerintih
Sukorejo, 12 Februari 2017
GEMURUH SYAIR MERAH ARIYAZA!
-Faimz Ardiganz
lipatan sajak meletakkan jejak kelorong renta tanpa kata
matahari yang mengeram dahaga luka
tertera seribu nanar darah ditangkai angka
tentang penolakan rasa yang enggan menjenguk teduh sebatas rindu
sebagai perih tak kunjung lenyapkan ambisisi hati
akulah angin yang kau cengkeram dalam peluh
tiga tahun air mata kunyanyikan dalam sunyi waktu
menaruh haru, menyusun deruh, menyayat hati dan reruntuh keluh
sebuah malam kau antarkan kedalam lorong pengap penderitaan
kau cincang harapan-harapan menjelma brutal dendam
malam itu kau menyambut tanganku dengan lukisan jenuh
membimbing kebencian bara api pada air jernih
mengajak rindu kepada syair-syair peneduh
petir! menikam hujan pada nyanyian rindu yang terhamparkan
inilah syair pengelana dendam kembang tubuh kumbang
tiga tahun mencari tenang, aku menacari hujan diladang-ladang kerontang
aku mengaji banjir bandang, aku menjenguk padang tanpa ilalang
disinilah matahari mulai kejam memanggang perasaan
bulan mulai padam tengah malam
bintang mulai enggan bertemaram
kata-kata makin kental beraroma luka
aku menelan rasa yang tak berkesudahan
aku bersyair tanpa ujung hilir persinggahan
aku berjalan tanpa tuju mata angin mengantarkan
aku singgah dalam wisma kealpaan
aku teguk anggur sampai mabuk
pisau sampai perih risau
tombak sampai retak
parang sampai pedang
inilah syair pengelana dendam kembang tubuh kumbang
tentang tiga tahun benci menyingkap kebisuan belati
menangisi perih hujan pada rerumputan
ingat, masih ingin kutaklukan aroma darah
membersihkan sisa-sisa luka dan air mata lama
redam, tak akan kubiarkan rembulan biaskan lentera agung
diatas awan gemawan yang leburkan kegelapan
padam, kan kuruntuhkan gejolak cinta dwipangga
takluk kedalam tangan para batara
oh, inikah hidup dan siksa
sulit dibedakan dala rasa
aku tebar gemulung halimun menyapa jalan-jalan rimba
ku ternakkan semangat cinta rahmawana
menjadi saksi luka syair Ariyaza
Pasca Diklat Seniman SMABRA, 25 februari 2017
RUBAIAT GERIMIS
Dan sebelum awan terkikis menjadi hujan
Geremang suara-suara telah lama kerdam
Hanya sajakku yang tersisa dalam bingkai sejarah
Wujudnya bayangan luka dan air mata
Gerimis yang menegur kegersangan itu
Menutup rapat luas langit biru
Satu ingatan masih lengkap mencuat
Kearah sunyi yang kuanggap lenyap
Ah, gerimis januari
Tiada lagi uraian makna mendalam
Setelah pelan-pelan halilintar merobek senyum pelangi
Lalu kedamaian berubah jadi api benci
Kini, setelah kisah itu sebatas rubaiat
Tak kan lagi kusapa senyummu
Menjadi sajak do’a yang biasa melantun
Lantaran tamatnya cerita
Itu karena keputusanmu yang mendadak jadi guruh
Sukorejo, 31 Januari 2016
Sebuah Cerpen
MATAHARI TANAH BORNEO
- semua indah pada waktunya, ingatlah setiap air mata dalam do’a selalu memberikan berkah, Kepadamu aku persembahakan kisah ini.
Suara kokok ayam masih sangat familiar di telinga Ayu pagi ini. Masa-masa liburan yang hanya tinggal menghitung detik untuk ditinggalkan ditanah kelahiran ini. Ya, dia akan segera kembali ke pesantren untuk menuntut ilmu sebagaimana yang selalu diharapkan oleh kedua orang tuanya yang begitu bangga memiliki anak seperti ayu yang sudah mau memondok. Dibanding dengan teman-teman desanya yang memilih untuk sekolah di luar dari pada harus mendalami ilmu agama. Terasa berat langkah kakinya untuk meninggalkan kampung halamannya itu, mungkin karena rindu di hatinya belum puas meminum dahaga sejuk bebukitan lereng gunung berapi Raung. Mungkin ayu bukanlah anak seorang yang kaya, kesederhanaan yang setiap kali tertanam dalam dirinya adalah sebuah warisan yang diajarkan kedua orang tuanya tentang bagaimana menikmati hidup agar lebih bermakna.
Ketiga bersaudara itu. Ayu, sherly, dan shendy berserta ayah dan ibunya sama-sama melangkah menuju jalan raya untuk mengantarkan ayu kembali ke pesantren. Tepat lima puluh hari sudah masa liburan ramadhan yang dilewati seakan-akan sejenak dalam perasaan ayu untuk berkumpul bersama keluarganya. Dan tidak ada alasan lagi untuk sekedar lambat karena waktu yang diberikan lebih dari cukup.
Tahun ini ayu telah menduduki bangku kelas akhir sekolah menengah kejuruan Sukorejo Situbondo. Puncak dari enam tahun sejak 2011 silam ia berada di pondok dan rela hidup mandiri berjauhan dengan keluarganya yang berada di desa Sumber Sari kota Banyuwangi. Jarak tempuh yang sangat menguras waktu telah lama diabaikan, bagi ayahnya memondokkan anak agar tahu lebih dalam ilmu agama adalah surga yang sangat membahagiakan hatinya. Dengan adanya anak mengerti soal agama, ia juga akan tahu bagaimana taat dan mendo’akan orang tua agar selalu diberi kesehatan dan rizky. Ayahnya begitu yakin bahwa pilihannya sangat tepat, karena melihat pergaulan remaja saat ini sangat miris dan perlu diwaspadai.
“nak, ayu. Ingat nggeh...kamu jangan pernah mencemaskan kami, yang terpenting disana nanti kamu harus fokus sama pelajarannya, sudah kelas akhir. Banyak-banyak berdo’a dan jangan pernah memikirkan soal rezeki. Semua sudah ada yang mengatur nak” ujar ayah ayu dengan penuh lembut kasih kepada anaknya.
“iya, yah. Ayu mengerti, ayu akan berusaha buat selalu semangat belajar”
Dengan hati yang selalu menyelipkan pesan kepala keluarganya itu ayu berusaha mengulang-ulang dan menjadikannya alarm dihari-hari selama berada dipesantren. Walau sebenarnya ayu adalah seseorang yang berkepribadian keras namun ketika dihadapkan oleh kedua orang tuanya dia terdiam dan menuruti apa yang dikatakan. Dia sangat pandai menyimpan kesedihannya rapat-rapat sehingga yang diketahui oleh kawan-kawannya. ayu adalah orang yang anti oleh rasa galau, sangat keras kepala dan tidak bisa dicari masalah. Dia akan memberontak ketika salah seorang berbuat kesalahan kepadanya, tak heran kalau dia begitu ditakuti. Dan hanya orang tertentu saja yang berani.
Perjalanan menuju Situbondo kurang lebih dua jam dengan menggunakan transportasi umum, saat ini sudah melewati tiga kecamatan dari Songgon, Rogojampi dan Kabat. Masih tersisa empat kecamatan lagi untuk sampai di kabupaten Situbondo, tetapi mata ayu yang mulai sayu seolah-olah tak lagi bisa menahan rasa kantuk akibat semalam suntuk chatingan dengan teman-temannya di sosial media, kepalanyapun perlahan bersandar dipundak sang ayah. Sementara kedua adiknya sherly dan shendy masih menikmati perjalanan dengan melihat ruas-ruas kota yang begitu banyak perubahan setiap tahunnya. Tak luput juga dengan perkembangan wilayah taman nasional alas baluran yang juga mengalami perubahan dibidang pariwisata tambahan yaitu waduk bajulmati yang menaungi dua kabupaten Situbondo dan Banyuwangi.
Gapura selamat datang pun telah terlihat dimata ayu yang agak setengah sadar, ia beserta keluarganya turun dari bus angkutan antar kota dalam provinsi. Lalu beberapa tukang becak yang juga sudah melakukan modifikasi dengan sepeda motor mulai menawarkan jasanya untuk mengantarkan beberapa orang menuju kompleks pesantren. Merekapun langsung naik. Jarak antara komplek dan jalan raya cukup jauh melelahkan, tak heran banyak orang yang memilih naik becak motor dari pada harus jalan kaki yang menguras waktu dan tenaga. Tampak beberapa santri dan keluarganya dari seluruh kota di indonesia saling berdatangan meramaikan kembali kompleks pondok. Hal itu mengingatkan ayu sebulan yang lalu ketika dia pulang untuk menikmati libur ramadhan. Tapi keadaan sekarang berbeda, wajah-wajah santri baru juga turut mewarnai kebetulan pendaftaran peserta didik baru juga baru dibuka jadi beberapa tempat parkir sangat padat oleh kendaraan bermotor.
Lokasi santri yang terpisah membuat ayahnya tidak bisa memasuki kompleks santriwati, jadi ayahnya hanya bisa mengantarkan di gerbang sementara ibu dan adik-adiknya ikut masuk menuju asrama ayu yang terletak di blok Ny. Nur sari nomer 05. Beberapa temannya pun menyambut, salam kerinduan yang lama tidak bertemu selama sebulan terlepas begitu saja dari dalam hati. Dan Ayupun kembali menjadi santri seperti sedia kala.
Faizah yang melihatnya juga turut menyambut sahabat yang sekaligus saudaranya itu. Ya, keduanya memang sangat akrab bahkan kemanapun selalu bersama. Keduanya saling melengkapi dan mengingatkan, bahkan ketika satu persoalan rumit yang melanda faizah. Ayupun mengingatkan agar tidak menghiraukan siapapun saja yang menghasut fikirannya, keduanya saling menyayangi.
Hakikat yang memang harus dijaga oleh keduanya, ayu dan faizah. Sama-sama berada dikelas akhir mereka memiliki rencana untuk melanjutkan kuliah di Unej. Impian untuk bisa menembus perguruan tinggi negri adalah keinginan siapapun yang berada di bangku kelasa akhir tak terkecuali mereka berdua. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa melangkah untuk sesuatu yang baik tidaklah mudah, banyak hal yang harus dilalui.
*****
Beberapa bulan kemudian...
Terhitung sudah seminggu lebih ia lambat kiriman, itu membuat ayu resah dan merasa tidak nyaman. Entah apa yang terjadi sebenarnya ayu tidak sedikitpun tau, panggilan interlokal mendadak terdengar menyebut namanya di wartel milik pesantren. Langkah kakinyapun bergegas keluar menuju asal suara itu tanpa ada rasa ragu-ragu dihatinya. Sejenak menunggu giliran telvon petugas wartel memanggil ulang ayu. Ia pun menghampiri dan diberi waktu lima menit berbicara dengan ibunya.
“Assalamualaikum nak. . .”
“waalaikumsalam bu. . .”
“ayu apa kabar, baik-baik saja kan?, nak maaf ayah kamu telat mengirim. Ayah kamu mau kesana tidak menunggu hari minggu tapi hari rabu sudah kesana. Nanti kalau ayah kamu bilang apa-apa kamu jawab iya dan manut saja apa kata ayah kamu. Nak, kamu yang sabar dibalik cobaan pasti ada hikmah tersendiri. Tanaman cabe yang dirawat ayah kamu semuanya gagal panen. Padahal semua biaya itu hasil dari hutang tapi apa boleh buat tidak ada jalan lain. Dagangan bakso juga sudah sepi nak, kamu tetap sabar ya nak”
“bu, ayu manut apapun yang dikatakan ayah nanti. Ayu minta maaf kalau selama ini ayu selalu merepotkan ayah sama ibu. Ayu menyesal belum bisa bahagiakan ibu dan ayah”
“ayu tidak boleh berbicara seperti itu nak, ini sudah takdir. Yang terpenting kamu harus tetap semangat belajar dan tidak boleh rapuh, jangan pernah kecewakan ayah kamu yang sudah susah payah membiayaimu, semua akan indah pada waktunya”
Tak terasa air matanya jatuh perlahan membasahi wajahnya, teringat selama ini ayu masih belum mampu membuat kedua orang tuanya tersenyum. Ayu lebih banyak bersenang-senang dari pada harus memikirkan kewajibannya. Kesempatan masih ada dan tidak seharusnya ia terpuruk dalam keadaan yang membuatnya lemah. Sosok yang tangguh, selalu tabah adalah kunci dari sebuah masalah yang dihadapi. Walau rintangan menjadi batu terjal dalam hidupya yakin dan selalu berusaha akan menjadi tekat yang nyata untuk melalui semuanya.
Jam masuk madrasah sudah berbunyi di alarm pesantren. Telvon singkat ia akhiri dengan tetes bening yang terus berderai di matanya. Tinggal menunggu kedatangan keluarganya nanti siang yang mungkin adalah terakhir kalinya dia dijenguk, hati yang masih berkecamuk dan kacau yang terasa. Lantas langkah demi langkah ia menuju tempat wudlu menggapai ketenangan ia basuh wajah lesuhnya itu berharap ada ketenangan meresap walau tak benar-benar hatinya tenang. Ayu kembali keasrama untuk mempersiapkan diri pergi ke madrasah, melupakan sedikit masalah yang menimpanya.
*****
Sepertiga hari yang masih memanggang terus saja menyajikan sinarnya yang tak enggan kusam terlihat. Ayu telah bersiap-siap untuk menemui keluarganya yang datang hari ini, walau dihatinya penuh kepasrahan mendengar pernyataan ayahnya nanti tapi dia berusaha untuk selalu tegar. Sampai suara panggilan petugas tikanan mulai terdengar, ayu sengaja tidak masuk sekolah sore karena menurutnya bertemu keluarga sangat penting. Di blok bagian barat tepat berdekatan dengan gerbang masuk pertemuan disana ibu dan ayahnya telah menunggu bersama kedua adiknya sherly dan sendy. Pelukan hangat sembari ia menjemput tangan kedua orang tuanya sebagai pelepas rindu, begitu juga ia mencium kedua kening adik-adiknya.
“nak, ibu tidak perlu ke asrama kamu ya, soalnya gak bawa apa-apa. Cuma bawa seadanya saja, hanya cukup untuk kita.”
“bu, ayu bisa berkumpul seperti ini saja sudah bahagia. Bertemu adik, ayah, juga ibu. Ayu sudah bahagia”
“ayu harus sabar nggeh disini. Ayu, jum’at besok ayah sama ibu berangkat ke kalimantan. Nak, ayah bangga punya anak kamu, sherly, dan shendy, kamu sudah manut sama ayah, sudah mau ikuti keinginan ayah buat mondok. Maaf Ayah hanya bisa ngasih 200 buat ayu, nanti kalau sudah sampai di sana ayah tambah. Banyak orang yang bahagia melihat penederitaan kita, tapi ayah minta tolong kamu jangan sampai putus asah. Kamu adalah harapan ayah dan ibu. Nanti kalau sudah lulus kamu ikut ke kalimantan untuk sementara kamu cuty kuliah nanti kalau sudah ada biaya kamu lanjutkan”
“iya, ayah . . .dibalik ujian pasti ada hikmah. Ayah sama ibu baik-baik disana ayu akan selalu mengingat pesan ayah, ayu bakal menjaga dek sherly dan shendy.”
Mendengar apa yang disampaikan ayahnya itu ayu memeluk erat ayahnya. Seolah-olah hatinya benar-benar terpukul, bahkan ia memiliki keinginan untuk berhenti mondok. Ayu ingin ikut ke kalimantan bersama ayah dan ibunya. Air matanya tak habis-habis tumpah diwajahnya. Namun dengan penuh keikhlasan dia berusaha untuk menerima yang terjadi.
Suasana haru membasahi tanah yang kerontang dengan sedu sedan tangis yang terus bermuara didalam jiwa keluarga itu. Shendy yang masih tak mengerti apa-apa hanya bisa diam melihat kakaknya menangis dalam pelukan ayah dan ibunya. Sementara sherly juga turut berisak mengusap air mata. Mungkin hidup diperantauan ayu sudah pernah mengalami, namun shendy dan sherly mereka harus butuh berproses. Terlebih usia mereka masihlah sangat anak-anak. Tuhan maha tau, maha memberi keindahan dalam seluruh penjuru waktu. Dan apapun yang terjadi di muka bumi ini dialah yang memegang kendali. Bagai hidup sebatang kara ia terus meratapi nasib yang tak selalu sama diinginkan.
*****
Waktu demi waktupun ia lalui dengan penuh linangan air mata kesedihan, setiap kali ia harus menyendiri mencari ketenangan. Tak terasa jika hari-harinya telah membuatnya jarang masuk sekolah. Menjadikannya nakal, dan jarang berada dikamar. Apakah hal itu yang bisa menyelesaikan masalahnya, sementara harapan-harapan masih tertata rapi di hati orang tuanya. Ayu nyaris menjadi seseorang yang tak lagi menemui tujuan hidup, faizah sanggat bingung melihat saudaranya seperti itu. Ia hendak mengingatkan, namun takut menyakiti perasaannya. Dalam hati faizah sebenarnya ia sungguh menyayangi saudaranya itu, ia sangat peduli dan tau bagaimana respon kedua orang tua ayu jika melihat kenyataan ayu yang sedemikian adanya.
Memang harapan untuk kuliah bersama telah retas, namun apakah harus? Sisa-sisa hari di pesantren juga kandas dengan kenangan-kenangan yang terlalui. Air mata faizah terus berderai dalam setiap do’anya, mengharap ada hidayah yang larut dalam diri ayu saat ini. Dan kebisuan sapa yang selama ini ia lakukan kepada ayu semata-mata hanya untuk membuatnya sadar dan mengerti apa keinginan sebenarnya.
Kemungkinan sebuah surat yang ia tulis untuk ayu, akan membuat kebekuan dihatinya runtuh secara perlahan.
Assalamualaikum. . .
Tidak banyak yang ingin aku sampaikan, ini tentang waktu yang ibaratnya pedang, begitu singkat
hari demi hari yang selalu memberi warna.
Kini entah harus aku kemanakan warna itu, jika tidak untuk dinikmati bersama.
Kau saudaraku, waktu yang tersisa hanya tinggal melihat hitungan bulan saja.
Banyak cita-cita yang kita inginkan, dan semua tersusun rapi dalam angan-angan
Kenyataan yang ada. Kita memang tak akan melanjutkan pendidikan bersama, tapi aku mohon sisa waktu yang ada ini. Aku ingin melalui hari-hari bersamamu. Ingat, kamu adalah harapan kedua orang tua kamu. Jangan kau retas impiannya dengan tingkahmu saat ini.
Walau aku tau kenyataan yang ada tak lagi sama untuk kita.
Mengertilah,
Karena aku menyayangimu
Wassalamualaikum
Saudaramu
A.M. Munfaizah
Membaca surat sederhana yang dikirimkan sahabatnya itu, mendadak air mata ayu jatuh Situasi yang tak selalu sama dengan kenyataan entah, sebenarnya apa yang terbesit didalam hati ayu sebenarnya. ujian sudah hampir, Dan pengurusan skor juga mulai dijalankan oleh guru bk, terhitung skor alfa yang dimiliki ayu dua puluh lima. Melihat sahabatnya seperti itu faizah merasa prihatin, Mungkin kekuatan ruh dalam suratnya itu bisa meluluhkan hati ayu yang kaku.
Benar nyatanya, seusai ia membaca surat itu dengan air matanya yang masih membasahi wajahnya ia pergi menemui faizah diasrama Ny. Nur sari 13. Ia sampaikan kata maaf berulang kali karena merasa bersalah.
“mbak aku minta maaf karena sudah tidak pernah memperdulikan kamu, aku tau mbak faizah enggan untuk menegurku. Dan surat ini adalah perwakilan kata hati mbak faizah yang kesal melihatku berubah menjadi lebih buruk”
“dek, aku tidak pernah merasa kesal sama kamu, tapi aku sekedar mengingatkan. Memanglah keinginan kita untuk kuliah bersama tidak lagi ada untuk kita, namun sekiranya sisa hari yang ada, akan lebih indah dan bernilai lebih untuk persahabatan dan persaudaraan kita ini.”
“mbak, aku merasa tidak kuat melihat kenyataan yang sangat menyakitkan ini. Adekku dua hari yang lalu kemari ikut dengan tetangga, dia sangat malu. Di tawari kue dan makanan, jika saja orang tuaku masih ada disini tidak mungkin sherly ikut numpang menjengukku dengan tetangga. Aku kasihan sama adekku mbak, sampai saat ini aku merasa tidak kerasan. Aku terus kefikiran dengan adik-adikku disana, sherly yang masih sangat belia masih harus memikirkan makan dan segala perlengkapan sekolahnya sendiri, dan nenek yang sudah begitu tua harus mengurus kedua adikku itu. Aku kasihan mbak, aku ingin membantu nenek dirumah”
“ayu aku tau perasaan kamu saat ini seperti apa, namun dengan yang kau lakukan. Itu malah membuat orang-orang yang menyayangimu kecewa. Dek, masih ada waktu untukmu merubah semuanya menjadi lebih baik lagi. Kamu harus sabar, ini adalah proses kamu Aku yakin dengan usaha kamu pasti bisa”
“terimakasih ya mbak faizah, kamu sudah berkenan mengingatkan saudaramu ini. Walaupun sudah banyak kesalahan yang aku buat. Namun kau tetap sabar untuk menghadapiku”
“ini adalah kewajibanku dek, dan sebaliknya. Jika aku salah langkah kau juga harus mengingatkan, kita harus saling melengkapi”
Kata-kata adalah do’a yang tersusun ketika bibir mulai menjiwai dari dalam hati, senyum dan tangis menyatu dalam rangkulan erat kedua saudara itu. Dan tentang hari-hari yang tersisa mereka telah memulai kembali hari ini, mereka tak akan menyia-nyiakan waktu yang ibarat pedang menebas begitu tajam.
*****
keesokan harinya ayu merasa tidak enak badan, suaranya agak berat dan seperti ada sesuatu yang mengganjal ditenggorokannya. iapun hanya bisa terlentang diatas kasur lantai asramanya hendak menelanpun terasa sakit dan tidak enak. entah ujian apa lagi yang ia alami saat ini, seolah-olah tiada henti mengujinya. semenjak kecil ayu memang memiliki penyakit amandel, menurut dokter penyakit itu bisa saja kambuh suatu saat dengan beberapa penyebab seperti terlalu sering mengkonsumsi es dan sesuatu yang membuat penyakit itu tumbuh membesar. beberapa anak kamar dan seniornya menganjurkan ayu untuk periksa ke unit kesehatan pesantren namun karena tak ada keberanian dari pihak petugas akhirnya ayu dilarikan ke unit gawat darurat yang masih bernaung di pesantren. hal itu membuat ayu merasa berat hati, ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada dirinya dan satu hal terpenting dia tidak ingin merepotkan ibu angkatnya. sudah banyak ayu merepotkan ibu angkatnya itu.
namun karena tidak ada solusi lagi selain harus mengabari orang tua angkatnya. tak sampai beberapa hari ibunya itupun langsung bergegas datang. hendak dibawa pulang kekampung halaman namun ayu tetap tidak mau dan perlahan menangis, ia ingin dirawat di asrama saja dan tak ingin pulang. amandel yang parah itu tidak akan pernah sembuh tanpa oprasi yang harus segera dilakukan. sementara dokter yang praktek di rumah bersalin ibu dan anak tidak berani karena tidak ada izin untuk itu. ya, kesembuhan dan keinginan untuk sembuh ayulah yang menentukan. lewat rayuan yang dilakukan oleh ibunya itu akhirnya ayu mau untuk dibawa pulang dan melakukan oprasi. tentu akan ada kerinduan dihatinya ketika harus meninggalkan anak kamar dan sahabatnya dipesantren. tak bisa dipungkiri memang itulah kenyataannya.
ada alasan tersendiri dalam hati ayu mengapa dia tak mau dibawa pulang, ia hanya tak ingin tetangganya mengerti dengan kondisinya saat ini. ia akan ditertawakan jika para tetangga yang memiliki kebencian mengetahui ayu pulang dalam keadaan sakit. sampai di Banyuwangi ayu hanya ingin berada dirogojampi dan tidak mau pulang ke sumber sari. rumah sakit muhammadiyah menjadi rujukan untuk oprasinya itu telah menyiapkan beberapa peralatan. hatinya gemetar penuh dengan ketakutan.
“bu aku takut bu” ujarnya sambil meneteskan air mata kekhawatiran.
“kamu tenang saja ya nak, setelah oprasi ibu akan mengabari orang tua kamu di kalimantan biar untuk saat ini mereka tidak cemas” ucapan ibunya itu penuh dengan keyakinan sangat penuh kasih sayang.
beberapa saat kemudian oprasi dilakukan selama satu jam, rasa lega ibu dan ayu tersenyum karena oprasi berjalan dengan lancar. barulah ibu angkatnya itu mengabari kedua orang tua ayu yang berada dikalimantan untuk sekedar memberitau kabar ayu saat ini. namun untuk ayu sendiri disarankan oleh dokter jangan terlalu banya bersuara dikarenakan kondisinya masih belum pulih betul. leher yang telah tertutup kain kassa dan terjahit itu menjadi tanda kenangan tersendiri bagi ayu.
*****
beberapa bulan kemudian
terkenang dalam hati ayu saat-saat indah masih berada dipesantren, lika-liku kehidupan yang ia jalani penuh dengan penderitaan. tak terasa ia telah berada ditanah khatulistiwa ini kurang lebih dua tahun. selama ini ayu hanya bisa menghubungi sahabatnya faizah lewat media sosial. itu cukup meretas rasa rindunya sesaat, banyak hal yang telah ia pelajari selama ini. kehidupan yang harus dilalui dengan penuh ketabahan, perjuangan dan perenungan. tulisan-tulisan sederhana yang terangkai begitu indah pun tak lepas menjadi saksi hari-harinya yang kelam. namun karena itu juga ia bisa belajar untuk menghargai agar hiudp lebih berharga. di halaman rumahnya inilah dia menuliskan kerinduan terhadap tanah jawa, dan terkadang air matanya meleleh sendiri ketika melihat status teman-temannya di sosial media yang menyatakan berkunjung diponpes sukorejo. ayu ingin seperti mereka ketika ada acara-acara penting dipesantren datang sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan selama enam tahun. namun takdir berkata lain ayu hanya bisa iri ketika harus melihat foto-foto yang diunggah oleh teman-teman di sosial media.
mungkin dia akan melakukan hal yang sama ketika waktu sudah memberinya kesempatan untuk datang. dan hanya ada satu cara untuknya melepas kerinduan yakni dengan menghadiri agenda kegiatan yang dilaksanakan oleh santri sukorejo yang berasal dari kalimantan. seperti halnya juga kegiatan yang pernah ia diikuti ketika masih nyantri, seperti halnya acara santri kerja nyata dan halal bihalal yang sekaligus reuni alumni.
mengamalkan ilmu yang didapat adalah belajar yang nyata jika dibanding hanya menguasai materi. ia dipercaya untuk mengisi mushala setempat dengan mengajari anak-anak mengaji, dan jika ada waktu luang ia mengajari santri-santri darul ulum memainkan hadrah. bekal itu ia dapat ketika dia pernah mengikuti sekolah hadrah yang diadakan oleh pengurus organisasi iksas pusat.
dan satu hal lagi ia selalu menyempatkan untuk selalu menyambung sambungan do’a kepada guru-gurunya dipesantren, karena tanpa adanya sambungan tidak ada keberkahan yang didapatkan. wasiat itu pernah diutarakn oleh kiai sepuh sebagai mana juga yang tertera dalam kitab ta’lim muta’alim. ya, inilah yang selalu tersemai dalam hatinya selalu teringat dan ketika terjadi kesulitan ia terus bertawasul kepada pendiri dan pengasuh pesantren. meskipun ayu nakal, namun nakalnya masih ada manfaat. bakat yang dia miliki jarang sekali ada dihati kawan-kawan sebayanya. inilah matahari jawa yang singgah diatas bumi khatulistiwa. matahari yang memberi sinar terhadap keluarga sederhananya. matahari yang terpancar untuk selalu menjadi peminpin bagi adik-adiknya. matahari itu tegak berdiri diatas luasnya pulau borneo. mengepakkan senyum fajar dan menyusun malam dihaluan senja.
SEKIAN
(Akankah Dek,)
Belum sepenuhnya resah ini reda
Ribuan angan tiba menjadi genderang perang
Pertikaian,
Kemanakah angin damai itu?
Aku lelah mengangkat pasrah
Tersadari, akulah yang bersalah
Masih gerimis diteras pipiku
Harapan-harapan menanti pasti
Bersuara, aku belum berani menatap senja
Akankah dek,
Matahari muda runtuh tersapu
Sementara langkah masih maju
Menuju arah yang seharusnya tetap utuh
Aku masih ingat, bagaimana janji itu terpahat
Didinding hati kita yang lapang
Bahwa “aku ingin berubah, dan tidak lagi menyentuh dusta”
Iya, senja itu menyaksikan kelingking pandu
Hati kita bersatu.
Nyatanya
Keadaan jauh tak sepenuhnya sepakat dengan tekat
Hatiku lengah terbuai kilau kemilau
Menyimpan uru hara
Sesal, tak sampai aku bersua
Akankah dek,
Aku masih ingin melangkah
Denganmu aku ingin berubah
Walau tak mudah membalik warna cakrawala.
Jember, 10 April 2016
PISAU MATA RANTAI
Dijerat ribuan bijih rantai
Terhunus kemilau pisau
Inilah, aku yang risau
Air mata yang berderai,
-ngarai
Bukan sansai
Aku belum permai
Taukkah,
“peristiwa itu tiba begitu saja, karena ada jejak yang mendadak singgah
Lalu hasut kerancuan bersemayam, menimang-nimang bayangan mendatang
Samar terlihat, aku masih saja menjadi pencundang
Yang menghilang sejenak dari sebuah keputusan berharga”
Ah, tidakkah aku berfikir seribu kali sebelumnya
Ceroboh
Bodoh
Pendusta
Apa saja yang hina
Akulah orangnya, siapa yang berkata.
Kemarilah
Akan kusuguhi dengan hidangan hargadiri yang tak lagi tinggi
Kemarilah
Bawakan aku seribu jeruji api
Hunus lidah, mulut yang berbusa janji
Maka, barangkali aku akan mengerti
Apa itu perih luka
Dan perih nganga jiwa
Jember, 10 April 2016
TENGGELAM AMARAH
Masih dihuni rasa rindu dulu
Terhadapmu dari tadi pagi
Bahkan nanti
Bayangku berselimut senyum-senyum
Yang masih jeda tanggelam amarah
Bukan kemarin kesadaranku tiba
Namun sudah lama
Akan tetapi jarak yang kupunya
Semata-mata menyimpan musibah
Aku khilaf sayang
Kasihku terbelah ganda
Kaupun terluka
Lalu kita bertikai pada kata
Kepada air mata
Sukorejo, 11 April 2016
SEDUSEDAN TANGIS
Aku rebahkan pula sayap penyesalan
Kearah cakrawala
Setelah ku buka perlahan surat airmata
Diujung sunyi milikku pula turut bicara
Mengapa lajur petaka kulalui
Sementra persetujuan telah lama berjanji
Sedusedan tangis menggila bersama hujan
Kemana arah kasih yang kusemayamkan
Sementara kini
Cinta berubah jadi genderang perang para batari
Akulah yang menggali perigi
Bermuram rintih dijiwamu
Sukorejo, 11 April 2016
:
Mungkin hanya titian
Tertulis sebagai pelajaran
Aku masih ingin melangkah
Bersama jejakmu yang masih gagah
Karena kau juga
Bagianku yang terselip dalam setiap do’a
Arina Faridhatul Munfaizah
Selamanya
Sukorejo, 11 April 2016
PERAHU KERTAS
Gelombang hingar tiba menghunus layar
Angin sunyi diatap samudra
Mengeja lalu lalang hujan
Petir yang tak berkesudahan
Perahu kita guncang
Butuh lembaran baru
Untuk kembali dilabuhkan
Sebelum pada saatnya singgah
Dirumah tepi nirwana
Sebuah istana masa depan
Kuharap masih ada kertas yang tangguh
Lalu ku layarkan senyum
Kisah kita kembali
Sukorejo, 11 April 2016
LINANG TANGIS
Terletak dalam hati
Jariku masih begitu bimbang menorehkan kata
Lantaran keruh yang basah
Lengket tak juga enyah
Harus bagaimana
Jarak dekat terhampar tali-tali jari menjerat
Waktupun belum sepakat
Sedang jiwaku makin penat
Entah syarat yang seperti apa?
Mampu menumpah sekerat nestapa
Sementara bibir berbusa
Sekedar menjadi lambang dusta
Menaruhmu dalam linang tangis
Mungkin adalah caraku mengemis kesempatan
Sebab tiada langkah kokoh
Agarku tak kembali roboh
Sukorejo, 11 April 2016
DIHADAPANMU
Ingin kusimbahkan airmata
Dari rintih rintik yang menyimpan gemuruh
-petir
Aku bersandar pada sunyi yang mengalir
Dan jiwa inilah mendetak-detak penat
Tak berkesudahan
Jerih payah ingi berubah
Gusti,
Pasanglah kutukan-kutukan perih
Agar menemani penantian
Sesenggukan
Tak juga habis linangku menangis
Kadang juga wajahmu terang terhampar
Ditabir mimpi malam
Aku menulis pada sebuah catatan
Tersimpan rapi
Untuk gelagat esok hari
Lalu lihatlah kemari
Aku mengigau keluar batas mimpi
Sukorejo, 12 April 2016
:
Kalau seribu puisi mampu membuatmu luluh
Lantas bagaimana dengan air mata yang menepi
Aku luapkan kata mengerdam suara
Sejenak malam mengurung nurani
Didinding pagi semburat utuh sebagai matahari
:
Masih mendung juga langit kita berwarna
Apakah nanar darah masih membekas
Aku meniti sebuah kabar menggema
Pada sekilas pesan
Mereka berkata
“aku kecewa padamu ”
Tebing senyumku runtuh
Semakin keruh
Tidak juga cerah berjinak-jinak dalam wajah
Jiwaku gerah
Digaris tengah pilu
Penyesalan
Ialah tebing yang bersanding
Bening
Sukorejo, 13 April 2016
PINTA 1
Biarkan aku kembali mengagungkanmu
Untuk esok hari pula
Masih sebagai peneduh
Sebelum pada saatnya
Aku ingin bicara
Kalau dunia sunyi
Butuh teman untuk sekedar kucumbui
Dimalam tenggelam
Atau pagi yang riang
Izinkan aku kembali membuka
Lembar-lembar yang sempat jeda
Karena satu kupinta
Tak ada lagi ada dari mereka
Bahkan selamanya
Sukorejo, 14 April 2016
PINTA 2
Izinkan aku kembali belajar
Mengejapeta keagungan rindu
Atas dasar penyesalan
Aku ingin labuhkan senyummu
Tepi kasih sayang
Meski kutau jiwamu masih diatas gelombang
Ditimang gemuruh tangis
Banjir bandang
Aku terlalu egois
Membiakkan perasaan
Sampai pada garis waktu
Hati tetap Satu
Masih untukmu
Walau yang kau tau
Kesementaraan merobek senja
Runtuh jadi gerhana
Begitupun aku
Malam selalu sempat mengingat
Berharap mimpi jadi pelangi
Lantas fajar di pagi hari
Sukorejo, 14 April 2016
SEAGUNG NAMA
Tentang nama yang tengah terarca
Dilantai teguh semesta
Ingin kusampaikan semacam petuah
Yang masih senantiasa terpelihara
Agar tetap abadi
Sebagai bukti senantiasa ada
Ariyaza
Ialah kemilau pena ksatria yakuza
Dari sang pendekar syair berdarah
Ariya dwi pangga
Yang istiqomah
Mengurai kata yang terasa
Malam ini aku mulai menangkap senyum
Wujudnya berkafilah
Selembar kata
Kutela’ah penuh makna
Barang kali juga do’a
Diistijabah
Amin ya robb
Semoga setakar maknanya
Sukorejo, 15 April 2016
SEUMPAMA BUNGA
Disuatu senja yang tertera
Ada harga mati menunggu rupa
Tiba untuk kali yang kedua
Bukan sejarah
Akan tetapi riwayat yang belum tamat bersuara
Ada bisikan hening
Menyimpan bening sebagai irama
Detik ini
Biarkan aku sampaikan kata
Buka dari lidah
Tapi jiwa yang mendera
Saumpama bunga
Biarlah aku menjadi aroma
Pada sekian kebusukan-kebusukan
Do’alah yang mampu menyusun kenyataan
Jelun-Wonorejo, 16 April 2016
KISAH YANG TERPENGGAL
Belum usai perjalanan ini
Air mata yang singgah
Menjelma ribuan puisi
Aku menyusun kata-kata
Ditengah hening penantian
Tiada lelah
Do’a tak cukup sudah
Untuk yang senantiasa kurindu
Kupersilahkan tatapmu tertuju
Kearah langkah yang tatih
Hati yang rintih
Dan jiwa yang perih
Berusaha meletakkan rasa sebagai bukti
Jerih payah
Kukira kau mampu memahami
Karena satu yang kunanti
Untuk kujadikan istri
Tidak sekedar kekasih
Bem FD, 16 April 2016
BIARLAH AKU LIAR
:singgah diasramaku
Karena dalam keadaan apapun
Bayangan itu terurai begitu rinai
Apalagi disini
Ketika sebuah duplikat tiba
Airmata yang kuntah
Menjelma resah
Butuh waktu untuk kembali
Aku mengerti
Karena hati hanya mampu sembuh
Saat bukti menjadi peneduh
Kini,
Biarlah aku liar pada langkahnya
Kemanapun yang kusuka
Asal bisa membuatku lega
Sukorejo, 17 April 2016
Kalau senyummu kembali tiba
Lalu hatikupun ketakutan untuk terbelah
Mataku harus buta
Tak boleh memandang kelain arah
TIADA MASALAH
Sudah seharusnya
Masa gulita, menjadi pengalaman nyata
Tak boleh terulang kedua kalinya
Sementara ini
Aku sendiri cukup membuatku hilang arah
Menjelma sepi tanpa petuah
Malam hari,
Resahpun tak mungkin terpungkiri
Sukorejo, 17 April 2016
MANTANKU
Ketika aku harus menunggu
Dalam hati yang sabar
Ikhlas, tanpa teranggas oleh getar
Adalah sebuah tantangan
Bagiku membuktikan
Makna dari kebenaran
Demi suatu keputusan
Yang telah terbang kibarkan sumpah
Penuh susah payah
Aku terus melangkah
Walau tanpa baju zirah
Mantanku,
Kau tak sekedar cerita
Hari-hari yang berselimut resah
Makin seru ku melaju
Dengan rindu yang masih utuh
Dengan cinta yang tetap ada
Dengan kasih yang tak pernah letih
Kiranya memang tiada pengganti
Selainmu yang masih tertera dalam hati
Sukorejo, 18 April 2016
MATA LUKA
Mereka tersenyum
Tawa renyah membicarakan kisah
Entah babak yang keberapa?
Sementara aku masih mengembara
Tak cukup satu belantara
Bahkan bebarapa rimba
Klimaks rasa penuh derita
Oh, batara
Rupanya aku kembali tenggelam airmata
Mengeram darah dan nanah
Aku ingin menangis
Menyesali
Entahlah,
Tak pantang aku menyerah dalam peluh ini
Aku masih ksatria
Aku belum betina
Wahai, seluruh mata
Penggenggam indah cakrawala
Lihatlah kemari
Bagaimana aku tertatih
Lalu terperosok curah pendosa penuh dusta
Katakan!
Apa yang harus kunisankan
Seratus bintang-bintang enyah
Bulan pecah
Bedebah
Sukorejo, 18 April 2016
MENERIMA
Hidup untuk melaksanakan
Sementara kita terlahir untuk menerima kenyataan
Inilah hakikat sebenarnya
Berusaha menjadi lebih baik
Melalui proses panjang yang sungguh menarik
Sukorejo, 18 April 2016
AKU MENANGISIMU DEK,
Aku menangisimu dek,
Bukan karena seutas tali yang rantas
Tapi karena sesal kental
Tak temu bisik untuk tenang
Walau sebatas linang
Caci makimu lebih nikmat kulahap
Ketimbang aroma-aroma sukma
Aku belum sepenuhnya sempat bersua
Dimusim ini hanya ada busuk dusta
Berternak seribu dosa
Air mata
Aku menagisimu dek,
Bukan karena kisah yang terpenggal
Melainkan tangkai mawar berduri
Menyakitimu penuh ambisi
Tidak hanya itu
Bahkan kemilau yang seharusnya rebah
Kini redup diwajahmu
Ada sesalku yang menggumpal aspal
Entah bagaimana aku menakar
Sejuta puisipun kukira membual
Di jiwa, rinduku mengakar
Sukorejo, 19 April 2016
DIALOG BISU
Antara kau dan aku
Dipersinggahan kata
tanpa suara
dari bibir kita
Simfoni rindu masih mendera
Ingin sama seperti dulukala
Saat kumbang-kumbang tiba
mencicipi manis kisah
Disebuah dinding senja
Kini,
Dialog rindupun bisu
Tiada sedusedan bintang-bintang
Menyusun malam penerangan
Jadi kelam
Tertindih_
Wajahku geram
Tangis rerintih_
Mataku suram
Sukorejo, 23 April 2016
SENANDUNG KUSUT, SAJAK KURENGGUT*
* terselip dalam senandung Lungset Mahesa feat Vita
Kutebar senyum ini
Meskipun hujan dalam hati
Tiada wujudnya
Dapatku menanti
Lusuh hati ini
Apakah senandung itu bertamu?
Memecah tangis-tangis ronta
Runtuh
Menepuk lidah semesta
Lalu hujan datang tiba-tiba
Pernahkah aku mendua
Berubah rasa dengan engkau
Pernahkah ku menyakiti
Tapi engkau ingkari
Dusta janji dan rasa
Gemertak hatiku lumpuh tersentak
Sebagai penghianat
Janjiku lepas berkhitmat
Meretas riwayat
Tamat
Maafkanlah diriku menyakitimu
Ubah janji dihati mendua
Maafkanlah diriku meninggalkanmu
yang kupinta hanya satu
Engaku tetap wangi meskipun aku tak ada
Maka kata maafku yang rendah
Mencoba menerjemah luka dan air mata
Dihatimu yang berlumur merah darah
Akulah pendosa
Yang dzalim mengantar perih derita
Tak ada maksud kuretaskan kisah
Wahai dinda,
Sesungguhnya ini adalah petaka
Aku khilaf dinda
Sesalku gumpal
Berlendir aspal
Kemana harus kubersihhkan air matamu yang bertebar
Rekah redup jantung ku berdebar
Selain sejuk maafku yang terhampar
Kearahmu terdengar
Aku masih butuh belajar
Untuk kembali melipat kertas
Yang kau lambangkan sebagai batera
Istana mulia kita
Sebuah hubungan sejahtera
Sukorejo, 23 April 2016
:
Pahitpun tak hanya empedu
Karena sampan tempatku berteduh
Guncang diterpa pilu
Aku saksikan pentas penjesalan pujangga
Ujung penanya memar
Menyimpan derita cinta
Hanyut diatas gelombang
Kemungkinan luka pasanganya benderang
Mengibarkan genderang perang
Entah kapan damai akan datang
Sepucuk rindu yang tak sampai
Peristiwa badai dingarai hati
Tak henti-henti memutilasi mimpi
Pagi hingga fajar tiba lagi
“aku memang menangis,karena semua berakhir seperti ini”
Mendadak suaraku menyepi
Tak bertemu bising simfoni
Meski sekadar lirih
Sukorejo, 24 April 2016
METAMORF
Bila kesejatian
Mampu menunjuk tenang
Kurasa itu adalah kebenaran
Dalam separuh perjalanan ini
Tak mudah terlupa
Karena aku tak mau enyah
Dari musim sunyi
Yang berselubung banyak kisah
Tumpuan runtuh, jejak tertatih
Aku menunggu masih seorang diri
Di rimba rimbu
Keraspun terhimpun
Sukorejo 24 April 2016
SURBAN TASBIH
Lelah ku melangkah
Bukan makna menyerah
Aku masih berusaha
Menjemput senyummu
Yang runtuh didinding luka
Pemberianmu…
Surban berselimut subuh
Kaki tertatih bertasbih
Astagfirullah
Ini adalah salahku
Terlalu dangkal
Mengiramu berternak hati
-brutal
Aku,
Sesal menyerbu kalbu
Kafilah resah menegur
Diamku berhambur lebur
Sukorejo, 2016
KSATRIA BIRU TINTA
Haruskah kembali kubuka lembar-lembar baru?
Pada setangkai harapan di musim semi
Dalam tahajud rinduku yang layu
Bunga mawar menjadi aroma dan berseri
Memang hidup tak selamanya rerintih
Badai samudra yang ku alami
Mengantarku kedermaga senyum permadani
Sebelum kuucap hati
Kata-kata masih bersangkar
Mengaji seribu puisi para sufi
Dari alif ba ta sampai amalan fatiha
Aku belum berani bersuara
Langkah bertafakur saja sederhana
Tak selebih menjadi rasa
Karena air mata belum juga hening
Dari fajar hingga malam bergeming
Tersemat pula pada malamku
Selembar senyum milikmu itu tumbuh
Kedalam halusinasi mengalir menjadi mimpi
Aku tak mampu taklukan resah
Meski lelap yang menguyur jiwa ini
Sepi seorang diri
Telah kuratapi sesal yang mengganjal
Tiada bukan adalah tragedi tangis bulan lalu
Ketika jejak tak lagi membuatku utuh
Seirama dengan penantian sang pujangga
Mengembara kesetiap belantara
Entah apa yang dicarinya?
Aku merasa lelah, jiwaku pasrah
Selusin kata yang kupunya hambar
Retas tak tertakar oleh rasa
Wahai, pendengar
Pemuji syair yang hingar
Tengoklah kemari
Bagaimana aku merawat penantian sunyi ini?
Sebilah pedang mengutuk mati
Serinai air mata jatuh menyesap dalam perigi
Oh.
Inilah Ksatria berdarah biru tinta
Nyalinya masih angka renta
Entah dimana waktu akan memperkenankan
Seutas senyum yang rantas?
Agar di bibirnya kembali singgah mutiara
Ruh nafas terasa hempas terhirup
Di sinilah aku menelan ludah api Batara
Gersang kepiluan meronta
Terdengar gemuruh semesta_turut
Halilintar tiba_gelegar
Matahari berpijar_amarah nyaris terhampar
Aku kembali liar
_biarlah ini jalanku jua
Mereka tak tau apa
Tentang bagaimana yang dikatakan luka penyesalan?
Ini jalanku juga, bukan mereka
Atau apalah sebutan bagi pencaci rasa
Sukorejo, 11 Mei 2016
MELODI RINDU
Melodi dalam tadarus rindu milikku
Belum sempat kuucap dengan suara
Matahari pecah
Luntur jadi kemuning sawah
Kedamaian yang kudamba
Adalah sebingkis do’a yang ku punya
Arina Faridhatul Munfaizah
Apa kabar dinda?
Masih kuserukan namamu pada lembar mimpi
Wajah pagi yang menyambutku
Teras sunyi dalam hati
Tak sepenuhnya aku mengerti
Wahai dinda,
Tahtaku masih sebagai penanti
Belum mampu untuk lari
Walau katamu aku adalah perih
Mengingatku mengukir rintih
Namun lihatlah kemari
Bagaimana aku mengeja senyummu dalam halusinasi?
Menata diri kembali sebersih hening malam hari
Memang sulit bagimu kembali
Karena luka dibatinmu bersemadi
Enggan jauh pergi
Meski untuk sementara hari
Setidaknya,
Ruang dikalbumu masih milikku
Dan sampai kapanpun juga
Selama jejakku berkelana
Mencari telaga narwastu, sumber penyembuh
Bila rasa milikmu utuh
Suarakanlah dalam setiap nafas rindu
Maka aku dengarkan dari sebrang sini
Lalu enyahlah resah dalm diri
Menjadi butir-butir simfoni
Dan kunyanyikan saat sunyi menyekutui
Sukorejo, 11 Mei 2016
SEKERAT AIR MATA, NYANYIAN PETAKA
Suara rintih dalam hati menjadi pasti kualami. Persinggahan yang menyimpan serumpun harapan mendatang telah sirna dalam bayangan, dalam hati, dalam fikiran. Malam yang sepi kemanakah arah harus ku pijaki?, aku telah kehilangan peta kebahagiaan dalam diri. Reruntuhan bening tak juga mau berpaling. Hanya sesal yang menggumpal dalam nurani, kian membuatku sesak tanpa sebuah arti.
Sadar, akulah tangis yang kau antar. Dari balik jejak suara petaka lusa. Tanpa kutela’ah, tidak juga kau lihat kenyataan yang ada. Ada dendam yang muntah melihatku bahagia. Memang benar darah dibayar darah, air mata dibayar air mata, baginya lunas sudah air mata luka yang sempat menjelma rasa. Keadaan yang tak terbesit sebelumnya, tak ada yang mampu mengantarku senyum, sekedar menjadi tenang dalam kegamangan, Semua hanya memberiku hukum bukan bunga yang ranum. Apakah setiap yang bersalah adalah noda yang harus terpenjara. Siapakah yang mampu memberi suci, menabur seribu tetes embun menjadi sebuah arti. Kalau hidup memang butuh diperbaiki, bukan hanya sanksi.
Bila ada sudut waktu yang memberiku ruang untuk sekedar bersuara, tentu aku malu dengan penjelasan ku sendiri. Karena seperti apapun suara, kata telah lama kehilangan rasa percaya. kebenaran tak akan lagi menjadi pembela, walau sejuta kalimat nyaris tamat berucap. Aku telah mampu menerima kenyataan yang ada meski berat senantiasa tersumbat dalam dada. Tapi jika Tuhan memperkenan kau kembali percaya, lalu kisah yang lama mengusung jeda akan kembali menyusun senyum semesta. Wajahmu masih utuh dalam anganku, berkali-kali tersenyum terkadang juga murung.
Sedetik malam ini ketika namamu larut dalam tintaku tentu kau ingat aku yang sepenuh limbah basah dimatamu. Pasti kau ingat aku yang mengantar luka berbalut dalam sebuah kisah cinta. Salam rinduku masih sama, selama sesalku ini akan tetap bertapa dalam mimpi maupun do’a. aku selalu percaya kalau takdir ada pada kuasa-Nya, jika Tuhan memberimu kepadaku, aku yakin yang limbah basah dimatamu mampu menjadi jubah zirahmu. Salam sesal dari hati yang labuhkan rindu, walau tangisku tak sampai padamu, walau rintihku tak sampai padamu, walau do’aku tak sampai padamu, namun tetap kulambaikan rindu. Mungkin air mata do’a paling mutiara yang jatuh ke tanah akan berangkat kesamudra, kemudian menyesap dalam peluhmu menjadi rubaiyat baru.
Sukorejo, 07 Mei 2016
MALAM NISFU KEBAHAGIAAN
:kaupun kembali, ketika saat rembulan mengantarkan permintaan sya’ban.
Malam ini, setelah berhari-hari perih sesal
Mengumpal dalam nurani
Kabut mendung jumantara pecah
Kata maafpun kembali jadi kisah
Bernuansa senyum purnama
Nisfu sya’ban
Telah kuterima salam semesta
Tak lagi ada kerutan belantara
Yang kusut menatap sang pengembara
Kesempatan itu sudah ada
Bagiku yang menanti kidung rindu
Oleh batari yang menjelma cucu hawa
Kini, tiada kuhirup aroma darah
Memar dan bercak air mata
Semuanya enyah
Tak tersisa dalam gundah
Aku telah lalui do’a
Dengan sisa-sisa air mataku yang lemah
Kaupun tak akan tau
Tentang bagaimana banyangmu singgah mengusung pilu
Sanggup, aku menyanggupi janji
Pada setiap rindu dan peluh kesejatian
Kumaknai dalam sekian hening sunyi
Malam
Adalah bait untuk kusampaikan pada puisi
kaulah penyembuh luka sebenarnya
Tidak jua mereka yang berpura-pura
Karena inilah hakikat rintangan
Tak jauh oleh hiruk pikuk tangisan
Untuk kita yang tengah rindu
Dalam pilu setakar bayang semu
Inilah hati muda kita
Kembali melukis indah lautan kasih
Sukorejo, 21 Mei 2016 02:44
BAHTERA
Hariku hanya beraroma nafas penyesalan
Senyum yang kuperkirakan
Tak cukup matang menaruh kesimpulan
Aku masih berdiri diatas gelombangmu
Belum tau kapan akan mendermagakan jiwa
Dipantai perdamaian yang indah
Bahtera masih menompangku penuh resah
Bukan karena tak bisa moksa
Terlalu sederhana melangkah
Dan hatikupun masih tanggal muda
Wahai wanitaku,
Hatiku masih baja berpindah kearah nirwana
Rasaku tetap menjadi suara
Yang tak kunjung kerdam
Terus beternak ronta
Sungguh aku masih mencintaimu
Tulus sayangku berstatus kamu
Begitupun rindu
Sukorejo, 05 Mei 2016
BANTU AKU DEK
Dan inilah yang sebenarnya terbayang
Pada sekian banyak mimpi panjang
Kata mempersilahkan rasa
Satu yang terbesit dalam do’a
Kaulah harapan yang nyata
Dek,
Sekarang wajahku telah kembang
Jiwa tak lagi gelombang
Lalu perahu yang nyaris tenggelam
Siap berlayar menuju bulan
Aku sampaikan salam rinduku
Dengan sebingkis harapan baru
Lembaran lalu, biarlah menjadi catatan tentang jalan kita
Untuk selanjutnya
Kuharap tak akan ada lagi yang menyingkap air mata
Bantu aku untuk sembuh ya dek,
Aku butuh kasihmu yang teduh
Jiwaku masih kerontang dan jalang
Mungkin juga binatang
Menurutmu
Inilah aku dek,
Belum sepenuhnya bisa berubah
Agar menjadi yang kau percaya
Sukorejo, 24 Mei 2016
ADA TAPI SUDAH SIRNA
"kamu masih ingat ini tanggal berapa?" Dua enam dendam!
Nafas rindu yang membusuk
Pilu mengantar amuk
Ah. Sederhana saja
Hatiku sudah ada yang punya
Jauh sebelum kabar angin ku terima
Aku sudah tersenyum lebih dulu
Membersikan air mata luka
- binasa
- sirna
- enyah
Sayang, kau lambat menabung rindumu untuk seseorang sebrang
Sedang aku.
Duduk bersilah menatap langit dengan senyum
- makin sengit
Tapi sangat legit
Wahai, yang tengah layu dalam anganku
inilah aku
Pengelana rasa yang sampai pada bukit rerimbun cahya purna
Ketahuilah...
Sampah masih beraroma
Tapi wujudnya telah berpaling kearah dewata
Wajahmu ada, tapi bagiku sirna bin asa
Senyummu tetap, tapi bagiku berkarat
Jiwamu bahagia, tapi bagiku luka
Rasakan...
Tak semata-mata pergi itu berlari
Namun bayangku masih tetap menggenggam api benci
Ceritamu belum tamat
Deritamu juga belum sesaat
Sampai hayat
Sampai senyumku membidik selat
Muncar, 26 Juni 2016 00:26
”JANGAN ADA LAGI DUGAAN, DIA HANYALAH JELMAAN”
Dia hanya mengantarku temuimu
Wujud benalu yang mengakar
Sekedar menjadi tanda istilah
Bahwasannya yang nyata
Ialah rupa kembang surga
Tak bersayap kumbang
Melalui arus air mata
Melewati bercak-bercak luka
Kuterjang bandang
Kucakar topan
Terlihat begitu semu
Sepanjang tebing penghadang
Di sebrang sana
Ada fajar berpijar terang
Aku tertegun nyaris berjemur linglung
Adakah bait-bait yang bersenandung?
Sekedar mengupas hatiku yang lama mendung
Tertikam derita
Jerit, Pekik suara mencapai jelaga
”Jangan ada lagi dugaan, dia hanyalah jelmaan”
Dia mengantarku temuimu
Rekatkan sebingkai senyum
Sukorejo, 01 Agustus 2015
KAU INI SEPERTI APA?
ATAU AKU HARUS SEPERTI APA?
Di jantung malam sepi ini
Wajahmu bertarung kalahkan mimpi
Berperisai senyum megah
Yang entah apalah aku harus menyebutnya
Gemulung hatiku gugur di jamahmu
Seakan-akan rasa angkuh itu perlu
Dan tiada aturan atau larangan
Sebab menurutmu hanya sekedar lumpur kehinaan
Berasal dari semacam wasiat lama
Sudah sering ku rasakan derita
Padahal sifatnya sementara
Tak ada unsur abadi
Karena dalam jeruji
Adalah burung-burung yang berkesiur
Bertengger di tangkai anggur
Aku mendengar gemuruh badai
Tak mau lagi damai dengan sansai
Kapas-kapas di aniaya
Menghambur kemari kesana
Tiada juga yang mengerti
Kalau kesulitan terberat ialah melupakan masalah hati
Sukorejo, 27 September 2015
SAJAK KECIL BUAT NANDA 1
---Faimz Ardiganz---
Sedikit yang ingin kukatakan
Ini tentang dugaanmu
Yang jauh dari pemahaman
Seringkali berkarang perselisihan
Aku sudah kenyang gersang
Tiada lagi dahaga gelombang
Sebab aku bukan lagi binatang jalang
Yang harus kau takuti dalam sejuk kedamaian
Aku sinting
Ditikam senyummu yang asing
Berguling-guling bening
Berbaring-baring kering
Sering
Sekarang, wahai ananda
Jangan lagi kau cipta resah dengan uru hara
Karena aku sudah mampu mencari senyum
Diantara rerimbun yang kau tunjukkan
Sukorejo, 10 Agustus 2015
SAJAK KECIL BUAT NANDA 2
---Faimz Ardiganz---
Hanya persoalan gurau dan bisu
Tidak lagi yang ku anggap rindu
Meski masih ada benalu
Ini tentang nurani
Dek, dengarlah gemericik mata air
Yang mengharap telaga maaf
Mampu membuatku kembali taat
Dihadapan sahabat
Siapapun pernah memiliki rasa
Mustahil bisa menentang
Keadaan yang tak seharusnya di tantang
Kalau saja kau mampu mengeja rasa
Sebingkai sunyi yang menikamku dalam masa
Mungkin kau juga akan berkata
Bahwa akulah raja derita dari zamannya
Namun nyatanya?
Kau masih menabur jerami
Membalik kompas nurani
Lalu membuatku terluka kembali
Sukorejo, 10 Agustus 2015
SERINAI AIR MATA
---Faimz Ardiganz---
Otakmu yang bijih padi
Sudah mampu menyayat
Sungguh perih,
Terasa nikmat, penuh biadab
Menghilang dari hadapanmu
Ialah caraku temukan tenang dalam kesementaraan waktu
Dengan seperti ini
Kau juga akan mengerti
Kalau aku juga punya hati
Hingga detik ini juga
Sekuat baja aku menunda air mata tumpah melimpah
Meski katamu yang menyepi
Senyummu yang sunyi
Telah ku jadikan tasbih puisi
Aku sebatas hatimu yang resah
Liarku yang kau duga buas
Sebenarnya hanya tradisi budaya
Sukorejo, 08 Agustus 2015
MALAM INI ADALAH AIR MATA SEJARAH
---untuku dan habibi dalam siksa kumbang
Karena carut marut onak duri
Kita kembali menjadi betina yang kalah
Dalam persekutuan malam
Yang menghempas sekujur tubuh kita dengan tangisan
Memang benar kita ada kesulitan melawan
Namun bagaimana lagi kawan?
Akupun tak terlalu jantan menghentak kahendak
Lantaran jiwa-jiwa berontak kita
Kalah dengan mulut setan
Satu yang kupinta hanya ingin mencengkeramnya
Biar tak ada nganga dan ronta
Kau menangis
Lalu kusambut jua dengan sangat kritis
Entah kemana langkah kita mengais sisa-sisa telaga?
Walau sepercik mata air yang sebegitu melimpah
Cukuplah sekedar hapuskan hati yang dahaga
Mata yang kerontang
Atau tubuh yang kesakitan
Ya, hanya ada kesakitan
Hanya ada kemarahan
Kabar yang ku terima dari salah seorang kawan
Berita yang kau dapat dari teman
Nyata hadirnya
Dan bukan sebatas opini belaka
Menghadapi
Tentu harus tau diri
Siapa kita?
Apa maksudnya?
Apakah ada tindakan yang lebih arif dan bijak?
Ketika kata merubah sepenuhnya jadi jumawa
Sebetulnya,
Kita sama-sama bodoh
Mereka hanya kumbang turun harga
Bukan kembang tujuh rupa
Apa juga nilai lebih dari air mata yang masih berderai
Mampukah mencipta permai?
Tidak!
Sekali lagi tidak!
Itu hanya budaya
Tanpa harus memperdalam rasa
Susah payah menderita
“Bila anda ingin melihat dunia sementara ini,
Bila anda ingin beralih dari ketiadaan kepada keberadaan,
Bertahanlah!
Jangan mudah anda lenyap seperti kilatan cahaya sekejap!
Pupuk keberanian bersusah payah
agar berhasil meraih lumbung penuh melimpah
Bila anda memiliki sinar matahari
Beranilah menjelajah langit lazuardi!”. Allamah Sir Muhammad Iqbal
Hanya wasiat itu saudara
Jangan lagi ada derita
Walau hidup sedikit demi sedikit membunuh kita
Meretas senyum dan tawa
Tapi,
Selama masih singgah jiwa ksatria
Hati bakal mampu menunggu tahta
Dari hamparan do’a-do’a
Biarlah malam ini menjadi air mata sejarah
Bahwa bagaimanapun luka mendera
Kita tetaplah singa
Sukorejo, 31 Agustus 2015
KARMA
Kau berlalu menatapku maupun tidak
Terserah saja
Jelas suatu saat
Betapa kau akan lihat
Bagaimana luka dan air mata
Kau bakal tau karma
Tanpa harus ku baca mantra
Tunggu saja
Sukorejo, 06 September 2015
DUPLIKAT SENJA
:kuncup di mata mekar di jiwa, Faimz Ardiganz barangkali hanya opera belaka
Wajahmu
Karena ada rinai bisu yang tiba-tiba malu
Matahari yang kupetik di tangkai senja
Mengubah geming menjerat hening
Luntur di jamah mata
Tak sampai usai mencengkeram luka
Mungkin pada duplikatmu saja
Kusemai air mata do’a
Biar warna merah dijantungku, lenyap jadi peneduh
Sepenuh usiaku
Sukorejo, 16 Oktober 2015
DENDAM AGUNG
Puisi esai: pahit yang menyesap dalam jemawa
Jangan ada suara kalau dendamku sedang berkelana, sebab dendam milikku akan memecah warna langit dan cakrawala, makin kusam dan menyimpan aroma sengit yang jatuh hingga tulang belulang kering di rerumputan, selama masih kuhirup udara seribu kebencian tak akan enyah dikutuk pepatah. Oh, dunia akan kucengkram belerang panas matahari itu. Oh, akan kupangkas belantara dan airmata ini akan tetap tersurat dalam kegelapan, membanjiri dendam agung yang tak ada banding memenjarakan senyum. Berkata perihal rasa, resah yang bagaimana hendak kupenjarakan dalam tabir cahaya, aku mengaung melolongkan amarah. Namun disisi yang tak jauh berbeda, langkah dan suara yang sunyi sepi menantang seekor singa yang nyenyak dalam ketengan tahta. Lebih perih bisu dari sayatan tombak rindu, oh..lara yang tak lagi menjamin batas manusia, jalan manakah yang harus kutelaah dalam peta-peta sejarah? Murkaku makin tak mau ditolong para pendahulu, wahai dendam yang abadi. Perkenankanlah setiap airmata, luka, derita, nestapa, dan segala wujud kegelapan ini menuntut balas tanpa batas yang akan tebarkan dalam peraduan rimba, menutup segala yang indah, senyum maupun tawa.
Gelembung senyap taat merawat luka hatiku, serupa dentuman guntur yang merobek hening, kilatan petir jiwaku tak akan berpaling menyingkap keselain pandangan. Belum habis kulunturkan magma mahameru sebelum bukit raung yang kuantar menjahit mulut didasar keangkuhan terbesar. Jarak sejengkal kian memberontak kepalan pengharapan yang tak sampai memenuhi sebuah kebahagian. Disinilah akan kau amati bagaimana buih-buih gelombang mengajariku tentang ketenangan, walau seratus kalinya hening memimpinku dalam segenggam kegelisahan.
Tak ada keabadian di muka bumi ini, semua lenyap tak tersisih. Melainkan hanya dendam yang terus membakar dahaga, tambah waktu makin kerontang menghabisi raga dan raga, selagi bara api amarahku mengaum keseluruh jagat raya siang yang menghardik embun, malam yang mengutuk kemarau, menjadi beku tertimbun gemulung. Dan pada hari pembaharuan kelak kita akan sama-sama bertepuk senyum, melupakan prahara yang tercium baubau dendam. Pelarung sunyi ini adalah titisan leluhur dengan katana yang setia menanti darah berteduh. Siapa yang mampu meredam dendam ia adalah sebagian dari wasiat suci yang segan menyadarkan dalam keruh warna kegamangan.
Dendam ini agung terpelihara bukan semata-mata ada, alasan terkuat adalah airmata adalah nestapa, adalah siksa yang tak kunjung berkenan membimbingku tenang. Duhai para pengikut kegelapan mulia, mulailah kesejatian hati teguh dalam menompang amarah, biarkan luka itu makin membara, merajai seluruh alam raya ini, taklukan senja bibit keberanian dengan angka melangkah. Mari kita junjung dendam kepada para penabur derita. Oh, batarakalakepada siapa kita mampu menelanjangi belati, sebenarnya mereka yang ingin dihujat dalam kematian murni. Oh, perih...angin yang akan memberi petunjuk kegelapan itu adalah udara yang memanas terpanggang api benci. Sepanjang penantian yang makin sepi dihari-hari, aku mengutuk kata prakata jadi hati. Dendamku kepada Faimz Ardiganz tetap abadi yang tak akan terganti senyum-senyum, walau keberdaan dan tingkah si pengagum lekas musnah kembali temui arus bandang yang bergemuruh.
Keagungan adalah kepunyaan terbesar dalam jiwa, dan kepada air mata yang telah melimpah, demikian pula meresap kepori-pori luka, Besar berkuasa.
Sukorejo, 09-10 November 2015
SELAMAT PAGI GERHANA YANG MELINTAS DALAM SEGENAP PENGANDAIANKU
Selamat pagi gerhana yang melintas dalam segenap pengandaianku
Matahari mentah kupelihara di malam hening
Mengandung segulung nestapa, dadaku sesak
Terjerat luka yang berhari-hari ngilu
Kepadamu juga, mataku buram
Jiwa yang geram
Garang dimatamu
Duhai, paduka mungil yang mengutuk senyumku makin kecil
Ciut di wajah malam
Luntur keperaduan
Sebenarnya akulah darah yang kau curi dari desiran raga
Sesekali meronta rindu peluh, airmata
Kini jarakmu kian renta kujamah
Tiada lagi babak yang berkisah dengan tawa
Karena senja pelupuk matamu segera gulita
Dan bisu
Lumpuh dalam reruntuhan pendar cahaya
Yang tak sampai menjadi kawan
Selamat pagi gerhana yang melintas dalam segenap pengandaian
Diantara hati yang morat marit
Tempat manakah untuk kita setarakan makna
Apakah ada?
Lapisan rasa dari petitisan warna
Hitam menurutku adalah jatidiri
Dalam sorak riak suara
Penuh kegelapan, namun bukan ketersesatan
Lewat tulisan ini aku menitipkan pesan
Ya, sebuah wasiat yang melekat
Menyekap jiwa sampai berkarat
Selamat pagi gerhana yang melintas dalam segenap pengandaian
Hatimu yang samar teraba
Sebenarnya dikte apa yang bersuara?
Tak sewajar bara dan api padam tenggelam
Keyakinan milikkupun terkapar hampar
Lantaran dijantungku, tak lain halnya rudal para pemburu
Siap bunuh gugusan camar-camar
Diujung langit biru
Sebatas menunggu harapan itutiba membawa semiliar kasih kembali
Karena raut malam dan pagi
Acap menyaksikanku sunyi tanpa warna warni
Sukorejo, 10 November 2015
DIDALAM MIMPI KALI INI
Ada salammu yang menyapa
Sejenak mengajak diskusi dipagi hari
Lalu jiwaku mendadak getir tergelincir dalam air mata
Kau tiba lagi sayang, mengundang senyumku larut
Melintas dijagat raya
Bagaimana keadaanmu juga?
Lama tak bersua, walau tak ada kata dan sapa
Siang gersang retakkan ladang-ladang jadi kerontang
Sungguh masihkah kesempatan itu tertelan laut merah amarahmu
Aku rindu pada senda gurau waktu lalu
Tiada rasa rupanya sudah angka tiga yang merambah-rambah luka
Akupun masih mencari letak lemah
Agar mampu taklukkan batu-batu dijiwamu
Kalau buih samudra mampu kau hujamkan
Aku lebih memilih pedang ditanganmu
Biar tengadah maaf tak lagi semu dimata
Tetap nyata dijiwa
Sukorejo, 24 November 2016
SAJAK PEMBUKA
Mengawali apapun yang terlintas
Atau apa saja yang tengah retas dimataku
Dibawah matahari
Sebuah arti terpendam
Menabur saksi atas ketidakpuasan
Ufuk pertemuan sederhana
Tujuh tahun lalu kita bersua dalam sunyi
Tak saling bertukar nama
Bahkan kata-kata
Sebatas rasa keingintahuan
Mencoba memarkir rindu
Dalam sebuah angan-angan
Aku dan rubaiyat bisu itu
Mencipta semacam simfoni
Setiap kali mata menatap cakrawala
Assalamualaikum ilusi semuku
Apa kabar?
Masihkah ingat dengan bulan sabit dipematang bibirku
Ketika itu disetiap pagi
Kau menimang senyum
Mengantar rinai kagum
Atas sunyi yang bertadarus diladang tandus tanpa penghuni
Disinilah aku luapkan peta rasa
Sebongkah mimpi-mimpi resah
Mulai kembali kutelaah
Sukorejo, 10 November 2016
SANGKAR PUJANGGA
Yang sunyi, tanpa kata-kata
Mengunggah penasaran mendalam
Sepanjang jalan bersenandung kenangan
Sedu-sedan kusimpan pertanyaan
Berkarat keruang pengandaian
Oh, tabiat rindu tak wujud menjelma silam
Wahai, engkau
Akulah yang selama ini berteduh dalam penantian
Para punjangga mengurung
Mendidik dengan syair-syair gelap dan padam
Kemanakah arus semu yang kau tunjukkan?
Sementara waktu itu
Ah, entahlah
Kau menggodaku ketika rasa telah tangguh
Tak enggan menyimpang pada janji berbuah dua kali
Selama ini.
Saat matahari mulai runtuh terbuai kelam
Dan telah hilang diperadaban
Sukorejo, 10 November 2016
TERLALU MALAM SENYUMMU MENYAPA
Cukup ku syiarkan pada senja
Dalam sebuah ruang sunyi
Kau yang datang barusan
Telah terpahat dalam bentuk duplikat
Yang senantiasa melekat
:mendadak kau tiba tanpa aba-aba
Apa ada?
Atau sekedar menggoda jelaga
Perkiraan sementara
Barangkali ada rindu yang singgah
Lalu langkahmu menjajah angin
Meminta ingin
Kau masih sama mengatur suasa
Padahal langit sekitar kita pisah
Sudah terlalu malam senyummu menyapa
Kalau untuk berbicara
Aku katakan sudah ada yang punya
Terima kasih atas kesediaanmu
Melukis kerinduan senja
Pada seuntai senyum yang tak sengaja
Bila kutelaah jejak yang kau sisakan diatas tanah
Apakah ada, ada apakah?
Gerutu di jiwaku menembus prakira
Mungkin turut kau rasa pula
Bahwa masih terkenang
Ikrar kita yang sempat hilang
Kau itu
Menjadi serumpun pertanyaan baru
Sukorejo, 10 November 2016
PUALAM MUSIM TERPENDAM
Keluar dalam barisan para penyimpang
Terhindar dari banjir bandang
Terus bertadarus tentang janji yang berdendang
Ini rubaiyat musim tentang kalian
Sejajar rintik denting mengandung mendung
Ku katakan, Batara dijiwaku telah enyah
Tinggal dendam membara tapi jeda sementara
Nyalanya berkobar namun masih sabar
Air mata beku menembus kutukan pualam
Hari ini juga ku bicarakan
Kalau sejarah patut diperbincangan
Pertimbangan angan, sebatas pengandaian
Kalian adalah batu-batu terjal menghampar
Sedang jalanku tak hirau kiasan senyum kenistaan
Selalu menghindar
Demi satu hal yang tergambar diatas catatan terang
Dia lah yang menjadi masa depan
Maafku saja berdengung, takut ada garis singgung
Menghujam degub jantung
Sukorejo, 10 November 2016
Malam menjadi saatku meminang sajak
Sebuah peristiwa sore menjelang malam
Tak lagi ku katakan “apa kabar kesayangan”
Lantaran status mantan tengah jelas membentang
Sering seiring rinai gerimis di pematang anganku
Mejelma bayang kelabu batu-batu
Siluet dendang bersemayam gurindam
Puisi
Gazal
Pantun
Haiku
Ahai semacam masalalu
Bersetubuh pilu-pilu
Asu
Aku telah tanggalkan kenangan
Tertata, tersimpan dalam batas mimpi busuk
Tak enggan memblusuk
Mencaci Jan
Memaki Cuk
Mencerca apa saja
Menghina jancuk yang nyata
Sukorejo, 10 November 2016
KITA TANTANG SEMUA
Adaptasi karya peterpan
/I/
Semua tentang kita
Kita tantang semua
Bahu-membahu kenangan meminta hujan bertasbih
Setiap kali kesunyian menyelinap dalam mimpi
Teringat ketika pagi menepikan matahari
Selendang bianglala mencipta romansa pedih kepiluan
Kita pernah sama-sama tantang
Tapi malangnya kau menghilang
Mengangkat babak akhir episod #sekian
/II/
Karena kita sebatas pertemuan pelangi dan hujan
Ilusi yang tiba#Setelah
#Sesudah
#selesai
#Seusai
Dalam pengasingan sunyi yang kadaluarsa
Semua itu cerita
Aku menganggap semu
Lantaran memang berlalu
Pada sajak aku berbicara
Mengenai perisai batin tangguh
Tak rapuh terkerak runtuh berdebu
Lantas bagaimana denganmu?
Ada istilah, hanya sekelebat dalam dimensi
Menuai mata air dan peristiwa
Akulah pemuja dari balik kabut awan gemawan tak terpandang
Sebagian rinduku kadang terpangkas
Di penggal rubaiyat nyata
Setiap mimpilah yang memberi arti
Warna dalam warni masa
Lalu akupun menjelma kealpaan nurani
Ketika lalu lalang bayangmu menepi ke ruas-ruas
Ke sudut semu kesendirian
Kau adalah wacana bisu
Tatkala rindu mulai menjamur, berjemur dibawah terik guntur yang bergemuruh nestapa
Sukorejo, 11 November 2016
SAJAKKU KEMBALI CACI, KEMBALI MAKI, KEMBALI HINA
Mataku terbata-bata
Nafas simpang lima, tersesat pekat bah ronta dalam setiap hikayat
Peristiwa kemarin aku tulis hari ini
Harus berapa puisi menimang imaji kedaulatan kisah
Padahal kuduga itu tak sengaja ada
Aku menutup dalam kabut tebal di sepanjang malam
Aku mengatup senyum dan kilauan-kilauan
Aku menginggau parau suara lelap kedamaian
Aku menulis, menggapai, mengoyak subuh
Aku mencaci su
Mengundang a
Jadi asu
Aku mencerca jan
Menghina cuk
Menanggalkan kata
Berbuah jancuk
Untuk kalian hari ini
Puisiku kembali mencerca#menghina#memaki#chuihk%#
Sukorejo, 11 November 2016
SETELAH HABIS
Belum sampai pada punuk-punuk yang menyimpan intan
Baru separuh perjalanan saja, rindumu telah habis terjajakan luka
Onak dan duri menyelinap menyusun air mata
Agar kembali tercecer apa yang dikatakan nestapa
“sebuah alam yang tak pasti bermuram kenyataan. Sekelebat mimpi kau tiba membawa ilusi rindu yang sampai kini masih kumaknai semu. Berserta kealpaan senyum berubah tangkai randu.”
:aku merindukanmu mas, tapi sayang kau bukan lagi milikku. Mendadak air mata lama yang tersimpan rapi dijagat matahati, runtuh menjadi rinai.
Sungguh jelas
Nyata hadirmu menentang haru
Ditengah badai laut cemara itu
Kau kucari dalam dahaga matahari
Disudut-sudut yang tak kukenali
Rasa berat berkarat menerkam kuat
Tak jua kufahami
Apa makna pertemuan singkat
Yang turut meminang mimpiku tadi pagi
Sekali ini, nyaris ingin kujumpaimu dalam lorong sepi
Biar tak lagi penasaran
Menyeka alam bawah sadarku
Sukorejo, 12 November 2016
SELUSIN INGATAN ITU
Kalau serangkaian angan mampu menembus mimpi
Di hari yang tersuguhkan tuhan kepada hamba
Dalam diam yang tak berarti mati
Pelan-pelan jejak menabur aroma kerinduan
Pada setiap sisa senyummu yang layu sembilu
Dimensi semu sebagian berjemur diatas lumpur bisu
Lalu tentang apapun aku mengenangmu?
Mengenang penyesalan yang berbukit gegunung
Mengenang badai dalam pedih yang linglung
Mengenang genangan rinai-rinai yang dihadirkan langit
Mengenang perdebatan sengit
Mengenang jiwa yang alit
Terbesit
Terhimpit
Aku dan selusin ingatan itu
Kau berserta kekecewaan pada sang raja
Wanita itu, apakah masih ada babak dalam naskah para pujangga?
Hening dalam sekian pengandaian menukar rupa menjadi sketsa prahara
Di jantung yang degub tak detak rindu semula
Masih saja kupilah-pilah simfoni resah
Sehampar air telaga, bersenandungkan gemericik tangis di medan kekalahan
Kau yang sekarang rintih dalam peluh gelombang
Batukah hatimu untuk sekedar datarkan amarah?
Beramah tamah menjalin maaf tak berkira
Sukorejo, 13 November 2016
RAHASIA ILUSI SEMU
Dalam hati saja bicara
Ingin kumenguak tabir di sela-sela rindu
Dahulu, permulaan matahari mendaki langit
Dengan tongkat yang mulai rapuh
Tanpa kekuatan penuh
Bintang-bintang berselendang pelangi
Menanggalkan senyum
Agar selalu terbelai dalam pengandaian dan ilusi
Menenteng kerinduan mendalam
Kuduga telah tersemai dalam angan
Ya, bayangan itu terus malang melintang
Sampai pada titik kehancuran
Terang menjelma kelam
Dibawah naungan resah
Atas riwayat yang menjadi sejarah
Kini hadirnya menjadi layar maya
Meyimpan rapi tanda tanya
sovia...
Sejumlah angka tujuh yang mengganda ditengah almanak
Penantian tak terhitung sejenak
Mengukir gamang yang tak jua beranjak
Entah gejolak apa?
Kurasa sebatas rahasia lama
Yang tak terkuak oleh siapa saja
Terkecuali masa depan yang nyata
Sukorejo, 23 November 2016
AKU DAN AIR MATAKU ITU
Berapakah jumlah yang kuantarkan kepadamu dulu?
Hitungan luas air lautan
Sehampar jumantara atas kayangan
Lantas kearah mana ia sekarang
Jiwamu dan janji yang pernah dihardik keputusan
Tanpa penimbang
Suara simfoni dalam kalbu berwarna kelabu
Aku yang air mata tumpah di atas sajadah
Lenyap di peraduan para pengembara
Sebenarnya kau siapa?
Mengapa langkahku acap kali tergelincir tanpa fikir
Ah, butakkah
-tulikah
Simpang siur jiwaku tumbang gelombang
Tak sempat kupinang jiwamu
Selembar luka melayang berguguran
Aku dan air mataku itu adalah cerita
Dan sampai kapanpun mengingatmu menjadi nestapa
Sukorejo, 24 November 2016
MENJELANG HUJAN MALAM
Mendiami malam tanpa bintang
Rembulan yang hampa dipelataran
Langit kental hitam
Menjelang hujan datang
Masih setia bayangmu itu
Tersusun lembaran ilusi
Kutulis puisi
Sekedar menerjemah maksud hati
Tentangmu tentang kalian yang semu
“selamat dicumbui dingin disekujur badan
Jangan pernah menghardik malam
Karena keadan masih tak sefaham”
Jiwa ini belum sepenuhnya teduh
Selembar narasi terkadang menuang mimpi
Seperti nyata wajah bersua
Lalu lenyap seketika
Semacam catatan kecil
Dari yang terdalam tak terselami
Sukorejo, 24 November 2016
SEBATAS JASAD
Sesal itu
Sangat terasa dibibir kalbu yang kelabu
Tiada henti peristiwa lama menyuguhi senyum dengan prahara
Bahkan perihnya, kata-kata menjelang retasnya air mata yang menguning
Menghujatku sampai terpelanting rerintih
Aku bisa apa?
Hanya lembaran-lembaran penuh amarah
Merah darah menjelma hening luka
Dua puluh enam dan air matamu itu
Kemana lagi harus kucari dan kucuri
Sementara matahatipun tak akan pernah menyepakati
Tiada terganti siapapun yang menghimpun senyum
Lantaran jiwa yang tertegun
Seolah-olah hanya angin bisu
Dihalaman-halaman rindu
Sebatas jasad
Bayang-bayang melekat
Masih menghujat
Sukorejo, 25 November 2016
SAJAK HUJAN
Faimz Ardiganz
Disekututi hujan
Pertemuan tanah dan air
Wajah kita adalah kebisuan sapa
Tanpa tatapan mata
Harapan sirna
Tiada lagi
Sekedar puisi dan ilusi
Menjelang malam
Senyumku kelam tak berbilangan
Hanya banyak linangan
Jatuhdiatas tangan
“seberapa besar kekecewaanmu?
Mampukah menakar jumlah lukaku?”
Penantian panjang
Penuh sedusedan
Ngilu bukan kepalang
Menjamur disekian peradaban
Sukorejo, 25 November 2016
KEMBANG HUJAN DISELATAN
---Faimz Ardiganz---
Kulihat guguran hujan sejenak bersemayam
Menyapa ilalang pada angin
Mengantar air sampai genangan
Ke arah selatan pinggir jalan
Rupanya mendung tak benar-benar menyapa
Sampai rintik-rintik enggan berkumandang
Kembang mengatup penuh kebisuan
Apakah masih salah memahami
Maksud putih
Yang kuantar mewakili hati
Berteman puluhan arti
Menjadi puisi hingga narasi
Menjelang kuarcakan jejak
Sekedar menghentikan pijak rangkaian ilusi
Teruntukmu
Kembang berbinar yang tak sampai hati
Sukorejo, 25 November 2016
NYANYIAN RIMA, REPETISI ANG
Masih di tengah pertanyaan
Tentang terngiang atau diam tenggelam
Kehidupan penuh bayangan # setiap malam tersisih pada tulisan
Kau yang terkenang # jiwaku hujan masih menggenang
Sebatas lirik dan nyanyian # masihkah kau beri jawaban
Ketahuilah, tentangmu belum sepenuhnya menghilang
Senantiasa senyummu berlalu lalang
Diatas awang-awang
Kemudian menghilang
Sukorejo, 25 November 2016
ILUSI SEMU
---Faimz Ardiganz---
Andai kamu
Meniti sekian malam yang tersimpan
Jerih payah teguhkan kesetiaan
Di dinding yang merindukan senyum suci
Akulah yang selalu mengenang dalam narasi
Membaktikan janji padu
Pada setiap keindahan
Siapakah pemilikmu sebenarnya?
Teduhkan geram kerlingan halilintar
Dan disuatu pagi, seribu sapaan singgah
Menyambut hari penuh mesrah
Andai kamu
Melengkapi cerita tentang belantara suci
Tengah tertulis dibanyaknya puisi
Rindu nyata tak sekedar ilusi semu
Memang kamu adanya
Kerap kali kumengigau
Mengharap butiran kasihmu tiba diatas singgah sana
Menggapai maaf yang tak kunjung menyesap
Malam mulai tiba
Lalu bintang-bintang berkesip
Rembulan bicara menata lembaran seterusnya
Andai kamu
Nyatanya ilusi semu
Dari balik resah ini barangkali
Kuucap selamat tinggal sejarah
Air mata hening itu telah terbayar seribu senyum permata
Sukorejo, 03 Desember 2016
LAGU PENGHABISAN DALAM SYAIR AKHIR
Bagaimana caranya untuk melupakanmu
Bayang-bayangmu selalu ada di dalam hariku
Ku tak bisa begitu saja menghilangkanmu
Sebab janji-janji yang kau ingkari kepadaku
Selalu teringat selalu terbayang saat bersama
Jalani kasih jalani cinta masih berdua
Namun parah aku rasakan saat kau mulai
Berubah...berubah...berubah
Andai kau sakitnya aku
Hidup dengan janji-janji palsumu
Andai kau tau sakitnya aku
Saat kau bohong...bohongi aku
Ku yakin tuhan dengar apa yang kau janjikan
Ku yakin tuhan lihat apa yang kau lakukan
Padaku disaat kita masih bersama
Semoga dirimu akan lebih bahagia dengan bersama dia
Ku kan terus berdo’a semoga ini yang terakhir untukku
.........Kim Judge
Lalu larungkan pula syair
Perlahan sampai kalimat akhir
Katika kata mulai penuh
Bersumbu dari tatap hingga langkahku
Seribu waktu
Tanpa kau sadar kau berhasil menyiksa
Menganiaya masa
Tanpa kau sadar kau berhasil meluka
Mengurung jiwaku dalam gulita
Tanpa kau sadar kau taklukan senyum
Menerkam mimpi-mimpi jadi misteri
Lantas dalam sajak akhir penghabisan ini
Aku berkata sebuah air mata
Dari sisa siksa yang memuncak tiap waktu
Sungguh parah jiwaku
Hanyut dalam sebuah ilusi semu
Dan kaupun tak akan tau
Tenangku selalu terancam,
Mencekam
Ronta tak redam
Memeram tangis berlinangan
Terajam
Kejam
Dendam
Terbayang
Oh, entalah...
Malam masih tak memberi jawaban
Jejak luntur tergerus tak menentu
Sampai kapan kau arungkan penyesalan itu
Lewat sampan-sampan kertas yang kau isyaratkan
Dahulu ketika raut-raut gelombang
Memenggal kebahagiaan
Atas warna langkahku yang keruh
Singgah sejenak dalam paruh waktu
Jalan begitu berliku tertiti
Syair ini, adalah akhir ketika resahku
Yang berselimut bayang-bayang buram
Mulai menerjemah maksud yang tuhan antarkan
Dalam sebuah jawaban sederhana
Rupanya aku telah temukan sosok sejati
Dari janji yang benar-benar mampu menjadi bukti
Sebagai masa depan nati
Sampai pula pada lembar keseratus duapuluh enam
Saat tentangmu mulai terbenam
Dan masa-masa itu hanyut tenggelam
Sekedarnya saja
Aku mengingatmu sebatas sejarah
Walau sulit terasa
Terlupa
Bahkan enyah.
Sukorejo, 09 Maret 2017
Komentar
antologi yang terbit kelima
antologi yang terbit kelima
Tulis komentar baru