Menelan Diri
Semua hampir mati
Membunuh diri sendiri
Tidak lagi kita temukan tangga menuju impian
Malam datang dengan banyak kegelisahan
Bayi menangis, buyung menggiris;
Dan tidak banyak sisa yang bisa kita temukan
Di meja-meja makan
Di kamar ini pun—hanya tinggal amarah kita
Desah suaramu yang merdu, berubah jadi gerutu
Semua kian sempit dan mengimpit
Menelan diri yang kian alit
Namun barangkali—di album tua ini
Kita masih bisa memungut kebahagiaan
Yang kita sebar di berbagai zaman
Ranting-ranting ingatan dan gugur dedaunan
Yang tentu masih bisa kita raba
Dengan sedikit rindu kita
Cianjur, 19 Rabiulawal 1442 H
Mari Kita Berhenti
Mari kita berhenti saling mencintai
Dan hidup saling membelakangi diri
Dalam ketahanan; dan keangkuhan
Mungkin kita bisa lebih menghargai perbedaan
Mari kita berhenti saling mencintai
Berperai dan saling mengasingkan diri
Dalam kesepian; dan ketiadaan
Barangkali kita bisa menemukan makna persatuan
Mari kita berhenti saling mencintai
Barang kali;
Itulah yang kita perlukan saat ini
Cianjur, 16 Rabiulawal 1442 H
Imajinasi Suatu Ketika
“Hari ini tiba juga!”
Demikian; Pada suatu hari mulutku akan berkata
Hatiku akan gembira
Dan kita menikmati pesta
Orang-orang di sekitar menunggu
Pesanannya datang mengetuk pintu rumahnya
Kita mengantarnya dengan gembira
Kita hangat dalam suasana
“Hari ini tiba juga!”
Kemudian aku mengingat segalanya
Usaha keras kita yang penuh uji coba
Bagai memuncak; memeras dahaga
Tapi pada akhirnya;
“Hari ini tiba juga!”
Cianjur, 18 Rabiulawal 1442 H
Hari ke 1469 Pernikahan
Seperti tak bahagia. Rembulan redup di pangkuannya. Malam jauh lebih bisu dari waktu-waktu lalu. Dan aroma duka—lebih kentara tercium baunya. Seorang perempuan yang saban hari di jelajahi berahi. Kini lebih sering menampakkan muka masam. Berandanya di penuhi tanda-tanda masalah. Ia mungkin coba isyaratkan, barangkali ada yang memperhatikan. Ia melihat lampu-lampu yang dulu dimiliki kunang-kunang, kini dimiliki jalur pejalan kaki. Yang hijau senantiasa, ketika seseorang hendak menyeberanginya. Dan di seberang, ada sebuah rumah. Rumput dan pemiliknya, sama-sama menggoda. Ombak pun pasang seketika. Badai tiba di rumahnya tepat sebelum sebuah senja tiada. Seorang anak biologisnya menangis memeka. Mereka berdua, memasang bengis di muka. Cinta mereka memerah bagaikan bendera sebuah partai di sebuah negeri, yang kita akui milik kita. Tidak ada lagi lilin peringatan ulang tahun pernikahan. Tidak ada lagi kecupan di pagi yang melelahkan. Tidak ada lagi—tidak sama sekali. Kecuali sepi dan tangis puisi.
Cianjur, 14 Rabiulawal 1442 H
Komentar
Tulis komentar baru