Selalu saja mereka menyerangmu di pelupuk mereka, meski kautelah mengikuti petunjuk mata
mereka agar bermukim di sawang rawa, dimana kaulebih leluasa mencercap mala demi
mensucikan jisimmu dan mengaji setiap lapis luka, agar mereka lebih bahagia.
Ketika mereka meneropong lempungmu yang legam, kaulumuri dadamu dengan lenyah lintah
dan berharap mereka segera berbenah dari darah yang berkisah. Namun mereka teramat
berhasrat menyulut rucing sinar ke celah porimu agar kantung darahmu segera buncah, tapi
yang sampai hanya lolong tolong dari mulut mereka yang gegas berlari pulang ketika kau
mengucap sapa.
Ah, kalian yang beriman masih saja tidur. Masih saja. Dan madah kusembahkan pada laku
yang begitu mencemaskan itu; agar aku berlupa pada jemaah yang lalu-lalang tak terbilang
hitung, meski butir tasbih yang mereka putar berpeluh di mata mereka yang sembab. Tak ada
yang mengusik, pun menganiaya, Kalian. Namun kebencian pun menjadi sekutu yang
sempurna demi lidah yang lugas dan pedas. Dan betapa kuimani lempung jisim ini sebagai
padang kurusetra dimana airnya akan terbit saat senjakala. Saat duniawi beranjak tidur,
bisikmu sambil memegangi dada dan berbalik ke sawang rawa.
Padang, 280612
Komentar
Tulis komentar baru