Penyair
Puisi-puisi pembentukan
Pengakuan
Jika waktu memutar keadaan ketika memulang kembali
Ku ingin hubungan yang memisah antara kelam,
Dan Merta kisah yang merajut membelam
Penuh yang salah dan tersalahkan, mempercaya di
Penghujung. Dan cinta adalah bahaya kepasrahan.
Ada yang ingin ku buka, di hadapan kau!
Ini mulut melucut kabut membuka suara
Hai cintaku, alasan di pangkalan Sukma telah lusuh
Meriak sih anak miskin memicing duka
Hidup membeda suatu merintang
Ku ambil peduli, dan kau jauh tak mempeduli?
Pintu yang membuka telah siap jauh menyelam langit
Jauh mengabur pergi mepermaut luka sendiri
Dan kau tak mau tau-
Malam di antara pohonan manis,
Ku bertanya;
“adakah sedikit rasa yang jatuh terbasah bujuk rayuan?”
Jalur menempuh terletak ranjau yang rumit
Cukup! Ku ingin merdeka, juga dengan Nesda
Mesti ajal memisah-ku kan' berada sunyi
Ria di jalur dunia yang kau bentuk dan selamat jalan.
Bungaku yang gugur
Dialah, bungaku (T.P.sari) mereka ria sebagai kekasih
Memeluk pelangi dan menari-menari gelisah
Nanap menatap lama tubuhnya bersinar rembulan malam
Di rumah pandang tajam cinta kita bagikan berdua
Waktu malam yang kelam
Hujan membasahi kulit, berwangi doa
Agar cepat. Bibir beradu ke angkasa, ke langit
Yang berbunga. Kita meminta sekali lagi
Adakah mesra menanti ajal
Ketika semua selesai secara murni,
Dan keindahan yang ku tanam-
Ku tanam, menabur segala tiba
“paksa dunia dengan kegagalan”
Tidak! Di lorong yang gelap bungaku
Tetap tumbuh. Musti keadaan ku tagih
Deras membelam. Bisa katakan!
Dia yang jauh kini, tiup nyawa
Tiup jiwa, bagaimana putus benang ibuku?
Masa rendah kekalahan itu,
Raba dada kita kan sampai
Menemui luka. Bungaku berjarak mati
Terbang kering berguguran
Juni, 2021
Penentuan
Tinggal kesepian yang menerjang rumah ini
Ini ruang penuh harap, penuh cinta?
Berapa waktu harus di nanti
Tiap jalan menghantam nyawa,
Hidup tak mengenal siapa kau!
Siapa yang mengada kemurnian jiwa?
Bahkan sedikit laju terhenti
Menghidupkan yang tak pasti,
Sedikit malam mempersiangku
Sedikit pula kita berbicara
Geming dunia, yang terbakar lagi
Sudah!
Hembus tubuh tak peduli,
Sekilap pandangan serupa meliat rendah
Keras membatu itu muka?
Menyerah enggan di sapa,
Dan aku-
Dalam Hitam mendera sunyi.
Juni, 2021
Sia-sia menerima
Tidak perempuan! Yang hidup dalam diri
Masih bergelincing lincah ganas memeluk gelap,
Kau keras tajam memaling mata, memicing dunia!
Lagu-lagu tipuan meninggi, tanpa makna di mengerti
Langit-langit di daerah perkotaan tidak mengajarkan
Apa-apa padaku! Bahkan segala cinta minta tak ria
Orna sunyi germelap keputusan-keputusan
Orna sepi pada perempuan yang penuh permata
Segala telah tiba
Datang menyambut
Sia-sia menerima
Badan menyelam dingin
Mata-mata yang kosong perih
Darah membiru asin
Pahit!
Pahit!
Mengaum di udara
Mati
Duka
Hati
Terluka
29, Mei 2021
Yang kini tidak berumah
Tak sempat ria terpancar di muka
Ada sedikit waktu?
Mari isi sepi yang kering
Hitam di sekujur tubuh
Tapi!
Aku tak ikut pada alasan
-dendam
Api membara di kepala!
-tak terjaga
Kehilangan tempat menyendiri,
Anak-anak bercita-cita;
“kebebasan bukanlah kekuasaan”
Tak terima segala bentuk permata
Tenaga mencurah mengalah
Kenali burung-burung di persinggahan
Berenang tak tau arah!
Kehilangan rumah sendiri
Menjadi gugur tak menama
Mei, 2021
Buat pelukis alfitac
Antara
Malam menderu, ini mulut kelu membeku
Hujan menyinari muram
-terasa dingin
Air tajam kering, di mata berdoa
Dia yang datang sendiri Berlari-lari
Jauh bangunkan cinta?
Itu muka!
Penuh warna. Di atas langit bertahta!
Beri nafas, sekali ruang ku kenali
Maka ku kan' mengabur
Dan Cintaku, kita terapit
-kau terlahir Gana
Dan aku mengecil diri
Di daerah kosong! Mimpi mentanduskan
Mari kita lepas, lepas segalanya
Sekarang!
Biarku terbang jauh serupa gipsy
Hari ketemu, hari mendarat
Cengkaman mata, ketemu batas!
Mengenal tiba, kan' mati tak bergerak.
Mei, 2021
Di bawah bulan
Malam yang bertanya mengapa kesepian berada kembali
Di langit yang merah, bulan yang merah
Kau memberai suatu dunia!
Pernah dulu kita di buru, dan bibir beradu ke arah surga
Pecah terbenah di bawah kaki sepasang gagak
Berteriak di kelopak mata bulan yang memerah
Dan sedikit hitam mengalir air mata itu,
Rasa cemas luas pandang segala arah.
Bagaimana bisa ?
Kau sungguh menggila untuk bercium
Gigitan merasai luka, dan terasai
Sungguh pun lebar kepuasan. o, kekasih
Apalah bulan memandang tajam
Hai! manusia ku menyinari Cinta dan bayang-bayang
Hai! Manusia ku menyinari cinta dan bayang-bayang
O, kekasih sekali hari itu mengulang lagi
Lagi kepada kisah yang baru, mata-mata
AKu dan kau. Begitu erat di malam yang sepi
Bayang-bayang sendiri akan meminta suatu kini
Jika hanya malam mengarungi kisah yang baru
Ku terbuka segala pintu, segala yang dulu pernah membentuk. Akulah yang tak pernah membagi,
Diantara kisah yang melupa dan mati di bulan sepi
, Juni 2021
Cintaku jauh di luas samudera
Gadis manis, cintaku berada jauh di luas samuderaTak mengira tujuh tahun sudah!Masih sama, api yang mengobar di jiwaMemancar malam, memancar tubuhPerasaan kusut terlucut debuKentara tak sampai tuk berciumSuara sengau lautDi bawah bulan sepiAda suatu buat cintakuSegala adalah kepuasan birahiSendiri! Telah ku bawak luka ini!Bertahun-tahun bersama 'kan merapuh!Mengapa cepat benar kau berlabuhSebelum cinta kita benahi kembali?Gadis manisku, jauh di luas samuderaKalau ku terluka mengembara, kau bahagia menyendiri25, Mei 2021Willy shayudanaGadis manis, cintaku berada jauh di luas samuderaTak mengira tujuh tahun sudah!
Masih sama, api yang mengobar di jiwa
Memancar malam, memancar tubuh
Perasaan kusut terlucut debu
Kentara tak sampai tuk bercium
Suara sengau laut
Di bawah bulan sepi
Ada suatu buat cintaku
Segala adalah kepuasan birahi
Sendiri! Telah ku bawak luka ini
Bertahun-tahun bersama 'kan merapuh
Mengapa cepat benar kau berlabu
Sebelum cinta kita benahi kembali
Gadis manisku, jauh di luas samudera
Kalau ku terluka mengembara, kau bahagia menyendiri
25, Mei 2021
Willy shayudana
Malam Minggu
Lagu-lagu yang mengiringi kelamnya malam
kita bertemu bagai sepi yang tak kunjung selesai
melaju kereta, pilih segala kemesraan mendalam
merada hari ke hari menerima sendiri,
dekat di persimpangan
hati merasa cemas
menatap mata yang beku dan kosong
masih terpendam menelusuri lorong-lorong berhadapan hilang bentuk, yang tiada arti
bagaimana kita bercerita?
Sedangkan waktu menikam kesunyian ini
terbawa roh ke ujung penyesalan, yang harus dan tetap di kunyah
hanya sedikit ria bercampur tangan
berupa wajah berkaca-kaca dengan bibir terjahit
jalan terluang harap dan mati
begini juga bedil yang melacur doa?
Malam yang panjang dan dingin
pada keramaian yang mengabur
di kaki malam yang sepi dan kabut angin
tertiup suara, dan kisah cerita terlesu melebur.
Medan, April 2021
Willy shayudana
Abooi
Di dalam rumah tua bercerita kisah
Walau sebentar, kalbu merada dosa
Debu suci memanggil, berapa waktu lagi beradah
Siap yang segala tiba - terberi pasrah duka
O, raut wajah melamun diri
Nanak darah perlahan tak mengalir
Sudah tau, dan ajal menanti
Makam terbuka mendalam tak berarti
Lemas badan+pahit luka penyakit tua
Sungguh dupa berbaris?
Sedekah ikhlas! Tak sadar geriah nyawa
Tertidur abadi di kepala yang panas tinggi
Nafas selehai perlahan tak menghirup udara
rubuh tubuh yang dingin seperti es Serbia
Bagaimana begitu mudah untuk berpulang ?
O, hidup siapa yang tau!
Menentu hari semakin rendah,
Sedangkan takdir datang menjemput.
Roh terlahan tercabut dari kerongkongan,
Jauh terbang ke alam sorga, berselimut susu.
22, Juni 2021
Willy shayudana
Tempat jalan pulang
Bukan ajal yang benar tertikam terali
Di atas mengubur suatu tiba
Beri suatu hidup menyebur sorga sendiri
Bunda! Bunda!
Tak ku tau setinggi duka Maria
Mdn, Juni 2021
Willy shayudana
Aku telah melupakanmu
Ketika malam tiba hanya ada sedikit cahaya
Berkelabu sunyi meredum telinga yang membatu
Ketika kesakitan tiba aku selalu berdoa tinggi dan berharap
Segalanya. O tuhan, Ampunilah seluruh tubuh yang mulai palsu ini
Banyak yang ku minta bahkan kau tak meminta apapun dariku
Aku telah melupakanmu. o tuhan, Ampunilah jiwa yang bersalah ini
Ketika tangan-tangan berkeliaran dan berdusta kau menantangku dengan
cinta, ketika kerapuhan merusuk segala ruang, kau mengobati segalanya.
Bagaimana aku bisa mengeluh?
Sedangkan kau maha bersyukur
Bagaimana aku bisa benar ?
Sedangkan kau maha pembenar
Bagaimana aku mencintaimu?
Sedangkan kau maha pencinta
Bagaimana aku sayang padamu?
Sedangkan kau maha penyayang
Bagaimana aku meminta padamu?
Sedangkan kau maha pemberi
Aku adalah umatmu
Lahir dari tanah yang tandus dan seongok daging rahim ibuku
Bagaimana jika tubuhku terbawa arus air yang tajam
Bahkan kematian saja bisa setiap waktu tiba
Aku telah melupakanmu, panggilan itu datang setiap detik, menit dan jam.
Tapi aku tak mengenal sujudmu, o tuhan Ampunilah diriku
Aku yang merasa kuat tapi,
Tak berdaya dan merangkak ketika lemah
Aku termenung di kesepian
Berderai suara-suara penyesalan
Doaku hilang dan tenggelam
Pada kepalsuan yang hina
O tuhan, ampunilah diriku
Racun-racun dunia memalingkan ragaku
Dari nikmatnya yang sementara
Ku terjerat kedalamnya
O tuhan, ampunilah diriku
Sungguh aku telah melupakanmu
19 September, 2021
Willy shayudana
Sajak Se'ekor gagak dan iblis
Di kota tua wajah berhias lampu malam
Bersinar telanjang menanti pergi
Se'ekor gagak bertengger di ranting bulan purnama
Hitam tubuh menari tanpa hujan dan kepakan sayapnya
Tak ada mendung juga-
Tak ada mendung di sekujur bulunya,
Paruh nya seperti puisi
Ada dendam
Ada luka-
Di jalan yang penuh darah
Telah lenyap tak bersisa
Sajak tak memerah seperti arus sungai
Yang mulai menghitam
Se'ekor gagak terbang mengitari cakrawala
Lalu, Seperti peluru merasuk tubuh bocah lelaki
Bagai takdir pembunuh iblis, raja iblis
Se'ekor gagak menanti ajal-
Suara muram berkicau ketakutan
Akan kebatilan yang akan musnah
Seperti kaum nabi Luth yang berdusta
Bercinta, seakan tak ada sorga di muka umum
Hai wahai iblis, kematianmu di akhir jaman bukan ?
Se'ekor gagak menanti ajalmu
Menanti dirimu terlebur dan terbakar
Kesunyian dan terasing membawa seluruh umat manusia
Kedalam kebijaksanaan
Se'ekor gagak seperti pisau yang berdoa
Menuntun ajal semakin dekat-
Dekat...
Tertutup segala yang suci
Se'ekor gagak mati
Air mata sunyi dan samodera berkabung
Duka..
Sepi..
Segala menyatu
Pada kematian iblis
Yang terlaknat.
17 September, 2020
Willy shayudana
Sendiri
Aku tau kecemasan yang terjadi
Sebuah penghiatan dan ku tau segala menjauh
Tidak kawan! Disini kita tak lagi sama
Kau dan aku menertawakan dunia
Seperti dulu, permainan kaki dan bola
Dunia telah hilang
Menguburkan jejaknya yang tak pasti
Antara kecewa yang kita miliki
Tidak lah ada ikatan apa-apa
Cukuplah!
Apa yang padaku, segala ku tak perduli!
Oktober, 2021
Willy shayudana
22 tahun!
Kepada Leiden
Inilah aku, leiden!
aku lahir di malam hitam 1999
Ketika aku lahir seluruh langit berdoa turun ke bumi
Dengan airnya, dengan airnya yang hitam, dan airnya yang menghitam!
Tahun dan sebelum kelahiranku, Leiden!
Ketika aku lahir, bedil-bedil di atas langit jatuh menghantam
Jatuh menghantam, jatuh menghantam,
dan jatuh mengoyak tangisan ibuku.
Kau adalah saksi, Leiden!
Kau adalah saksi oleh kesaksianmu sendiri
Yang katanya sungai susu ada di sorga sana
Mengapa dan mengapa Adam di buang karena iblis
Menggodanya ?
Wahai, Allah!
Bocah kecil terusir oleh matahari yang menyengat matanya
Matanya yang tak ada lagi hujan,
matanya yang tak ada lagi taman-taman kasih sayang
Leiden! Kau tumbuh dan tumbuh menakuti matanya
Kemiskanan apa ini, Leiden!
tiada pernah mereka membuka suara
Suara mereka hilang oleh prasangka manusia,
manusia-Manusia yang membentuk sorganya di bumi.
Inilah aku, Leiden!
Tidak ada apapun yang bisa menentukan nasib kita
Yang tinggi akan semakin tinggi,
yang kecil semakin kecil.
Leiden! Hanya merata hidup hukum manusia
Yang akan mati. Mati. Mati.
Percayalah, Kitakan menang!
28, September 2021
Willy shayudana
Di balik malam
Aku percaya segalanya tiba
Tak'kan bertolak ajakan - seperti ribuan burung-burung berpulang.
Dari Saban sore. Menuju malam.
Aku percaya segalanya tiba
Nyanyian suara kendaraan menyala hidup dari rumahku
-Terbawa muram juga kita yang di sangsikan.
Dua wajah tercerai terbelam. Jauh Menekan!
Menekan malam jua menikam sepi.
Tawa bergeliat mengudara
Cerita lama yang menjadi baru
Kenang saja - juga kan hilang!
Dan malam mempercepat larinya petang.
Lampu-lampu tua menari berdampingan
Ada di matamu dan mataku
Sekira darah mengalir dan menyatu
Aku percaya segalanya tiba
Yang tak mesti menjadi terjadi
Jauh cinta hanya terpura-pura
Malam bertukar nyawa
Nyesak sendiri - nyata kita kan memilih
Pelarian takut terulang
Yang berakhir- mimpi terjadi!
Oktober, 2021
Willy shayudana
Subuh
Aku berkaca pada dunia
Lautan pasar di tengah kota
Memutar roda - bikin suatu kehidupan ?
Anak muda dan yang tua berdamping berjalan.
Seluruh muka terpancar doa
Harapan. Mendengar sekecil kaki
Melangkah, pelan merayap mimpi
Menderu suara bikin menyala jiwa
Kini!
Aku berkaca pada dunia
Sekililing bertukar hari menantang maut
Tuhan, berapa banyak pendusta bangun dari tidurnya ?
Jika, manusia memiliki kedudukan!
Antara tinggi rendahnya moral dan martabat
Juga Hakikat adalah bahan masa ke masa
Kehidupan ?
Ohh, menari matahari terbit di sangkar mataku
Menyelam pandangan ke dinding langit
Habis hilang mereda. Habis menelan subuh.
November, 2021
Willy Shayudana
Perempuan muda
Ia perempuan muda
Menajam Bulan di atas mata telanjang
Menegak mata. Mengucur luka
Ia perempuan muda
Caya purnama-menyayat mulut dan muka
Malamnya membusuk tiba
Di dada.
Ia perempuan muda
Tentang berani. terpukul mati.
Ruang penghidupan, mengosong hari.
Ia perempuan muda punya nama
Suaranya lantang penuh tenaga!?
Darah mengurat membara!
Ia tak bisa tidur.
Jika nyawa kau
mengubur
Dan Mengoyak suara...
Ia perempuan muda
Berdetak- menyentak
Tindak. Jiwanya menyala!
Mengucur darah.. mengucur luka
Mei, 2021
Willy shayudana
DALAM HATINYA
dalam hatinya
cinta;
masa---ke---masa
rubah jiwa sendiri
ciuman matahari
hutan indah menari
dan, Padang luas masyuri
rasakan di jiwa
kenang segala yang dulu
kenanglah segala yang memburu arti
o, berapa waktu lusa
--ajal menanti!
laut bawakannya derita,
desir berdengu ombak
muram, detumkan seluruh muka
ia bertanya;
apalagi yang bikin keras di dada
kalau sudah terbagi?
tunggu saja!
tunggu saja!
datang juga malam
beleidigt! beleidigt!
terasing---ruang---mengapung
ia mati, pacar kau cinta?
dalam hatinya
kenanglah segala yang dulu
“pada siapa akan cemas di hadapan tuhan?"
2022
willy shayudana
Gerbang laut penyair
Di depan pintu pelabuhan seluruh tubuh menyeru
Menyeru kepada matahari
Matahari hijau berlumur jeru
Badai berunding vasikan ombak di dada
Rasa jiwa yang cemas
Di meja pertama kertas terbakar
Hitam menjadi abu mengalir pada arus
Sungai memerah,
Sungai memerah,
“Mengalirkan”
Bara jadi beku sama!
Tiba sekalian beranjak kecewa
Wahai penyair,
Bertanya;
“Sajakku menjadi laut yang dingin,
Biru bermata mutiara bacakan arti tenggelamkan
Gaya bahasa yang mati seperti mayat
Dan apakah menjadi perenungan?”
Pemuda mengeraskan hatinya
Menulis kepada burung yang bertengger
Di bulan ungu ia memejam kan matanya
Berharap Tuhan memujinya!
Wahai penyair gerbang laut terbuka
Jalan sama umur dan kebebasan
---pada kertas
Gersang, basahkan sajak itu!
Wahai penyair!
Tidak ku sebutkan kau penyair.
Atau kau hanya menulis?
Mereka membaca kebodohan
Gerbang laut terbuka sekarang!
Pembacamu kebingungan
Behati-hatilah!
Atau kau adalah seorang improvisator?
Membunuh para pembacamu, memuji
Tuhanku,
pengikut mu berkata;
“penulisku yang agung."
Pujian bahasa yang menari kekal?
Metafora-metafora cengeng!
Penuh pujian!
O, juranglah kau wahai penulis
Hantam bahasa pelawak kemudi
Kapal di hutan senja
Improvisator dan pembaca kolot
Berenang di pegunungan ungu
Enyahlah!
Neraka bahasa hancur melebur
Binasa!
Gerbang terkunci
Laut bebas angkat beruba
Tenggelam ke masa
Zaman dan bangkit
Percaya ia hidup kembali!
Meja pertama, dan laut para
Penyair!
Tenggelam sepi
Ia tercebar sepi, tambah lagiBukakan diri. Tambah nyalikan jiwa.Dan malam kau juga tau sendiriBersebelah anjing sebagai kawannyaIa membenci. Apalagi perempuanDalam hitungan -- Cerai dunia di dadanya.Minta malam dari segala bahayaMenanti hampa, dari persinggahan dermagaDalam takutnya usang lautan di matanyaIa berseru: “jauhkan cinta dari suara yang mati!”Ia tercampung. Dalam gulita malam.Bujuk Rayu bintang behias diri ?Ia Meringgis sunyi, laut mau apa?Tak kuasa jadi Kelam! jadi larut ia tak perduli.27 Mei, 2022Willy shayudana
Dimana kah jalan untuk kembali?
Dan, disini aku bertanya
Di tanah gambus tubuh kampung halaman
Kali suatu masalah tiba
Antara harum bunga yang gersang
Dimanakah jalan untuk kembali?
Gadis cantik belokkan wajah
Tau bedil sudah berhadap kepadanya
Kau khawatir! Kau khawatir!
Masa depan tau juga mencakram dadanya
Masa depan mengancam masa mudanya
Usia dan cita menyatu bagai bencana
Tak menahan suara, terhempas sendiri
Dimanakah jalan untuk kembali?
Gadis muda
Membatu -- membeku
Kau di buru pada kesakitan
Kehidupan.
lalu kau bertanya;
“dimanakah jalan untuk kembali?”
Dalam duka pesakitan
kau Melihat tinggi burung di udara
Nyanyiannya, kicaukan biru samodra
Kau Menatap bebas
Melayang!
Terbang!
Menembus!
Jauh, melepas!
Sebagai perempuan.
Lampung, 2022
Willy shayudana
Apa jadinya
Apa jadinya bicaraKalau orang-orang menggongongDan menipu.Kau bilang segala padaku?Biarlah larat jadikan aku gelandangPulau Menyisir lintas timur ku pegangPandai mereka bersilah--lidahKarena kita di perah tenaga!Pemuda berlincah--pecah akibat!Tau gaya melabuh ketololanSatu persatu di rayu, jadi binatangBela penindas, saling menindas.Apa jadinya pendidikan?Kalau pulang jadi anjing politik!Beri hotel dan mobil AlphardJaminan muda dan hari tua ?Lampung, 2022Willy shayudana
Perbatasan muara Enim
Bumi kelam di perbatasan muara enim
Dalam waktu terasing
Malam mulai membisikkan suatu hutan yang rimbun
--- everia kami berbaris dalam satu bus
Kaca lampu hitam terangkan wajah bayi tiga Minggu
Mencium bau angin tua, dingin dan sendiri
Oleh apo kami menjual ?
Kesusahan dari kelaparan pagi!
Matahari meninggi tinggi
Tidak jauh dari kami
Laut di badan dan cabang-cabang
Ranting tenaga saling menyatu
Ku kira ajal mendekat tiba
Mencoba mati, tak menyadar
“Udara di sisi Bangunkanku
Bersama”
Kami selamat!
Palembang, 2022
Willy shayudana
Menjelang malam
Hancur dunia di badanku
Ingatkan ku badai di jiwa yang lalu
Suara buntu
Jadi harus ku tau ?
Damai bikin pecah di dada
Tak reda
Ini kali diam
Jua mati saja
Bagaimana remuk bertenggang jiwa!
--bahwa ketenangan menebal debu dan nafsu
Api menyala berkaca rupa
Kau tau bukan ini lagi yang di tunggu
“Barangkali disini sudah ada derita!”
Seperti samodra pecah kedalamannya
Atau mungkin
Segala melebur dosa!
Dan sekali duka menghadapnya
Ya Allah, aku menyeru derita
Tubuhku terbakar, menjadi-jadi
Seluruh Menyamar dan hancur
Menghampiri?
Sayatan keras terus di dada!
2022
Willy shayudana
Ana, jangan kau sangsi!
Bertena, ana!
Perempuan muda memerdu kembali
Kalau Apa Menyiksa diri atau menyiksa hati?
Ah, aku tanya pula di hadapan kau
“salut didih menyulut api"
Di muka, dan di tangan tampak abu berbaris
Tunggu sebentar, jagal ambil tegak berdiri
Ana, jangan kau sangsi!
Dalam sunyi kau hitungkan saja;
Caya nyinar satu nyanyikan pelita
Menyeru dan mengoyak sepi
Bikin kau berani melepas diri
Ana, jangan kau sangsi!
Benar belum pula terjaga sunyi
Sekarang Pintu terbentak terbuka
Menguba jalan kedepan tau perlahan
Di nanti Cemas juga kan tiba
Tidak merintang, jangkaran juga terbuntu, menekan!
Juli, 2022
Willy shayudana
Sendiri
Mulut menyeruPucat suara berkakuan buntuTapi, keinginan bikin menebang yang duluHilang sama jalan dalam membayangaku sendiri dalam jiwa mengenangMenindakMengalir darah. Lari Terbujuk mimpiTenaga menguras nyawa,Yang mengira ajal menantiSegala berganti menghadap dunia matiMengeras hidupku menanti, menanti! Segala arti?Berpijakaku jerat hentak tersedusendiri menembus pagiTercekik dada, mengelus satuSendiri Memanggil satu nama, Tuhanku, Tuhanku!Agustus, 2022Willy shayudana
Komentar
Keren
Keren
Willy shayudana
Tulis komentar baru