Diantara tangis yang belum reda, kita duduk berhadapan dan membuka percakapan tentang angan – angan malam. Seperti penjudi yang tak pernah lengah mengawasi kartu dimeja taruhan, engkau dan aku saling menatap lawan berbicara dengan sorot mata yang penuh pengharapan. Sebuah kobar api yang mendidihkan kepercayaan dan kejujuran dalam tungku pembakaran rasa. Menguap dan berbaur dengan udara yang berhembus dari pintu nafas yang disesaki isak.
Kita meresapi setiap sensasi dari perbincangan itu bagai seorang pecandu menghisap sebatang rokok ketengan. Hingga mampu mengutarakan kalimat yang benar – benar ingin di ungkapkan. Menembus gelapnya misteri yang terselubung dan gulitanya tabir yang membatasi. Berteriak memekik dan tak perlu lagi berpura – pura mencintai hidup.
Tetapi, kita sadar, bahwa kenyataan akan menjejalkan kembali kemulut kita yang tak pernah memahami arti dari sebuah senyuman. Aku dan kamu pun lenyapkan segala suara seperti terjaga lindapkan mimpi. Untuk apa berbicara banyak bila semua akan berakhir dalam kecupan hambar. Dan ketika kalimat telah menjadi sebentuk kubur, kematian pun menjadi satu keinginan.
Bandung, 2010
Komentar
Tulis komentar baru