di ambang jendela, aku berdiam lama-lama,
dalam detik-detik hening, dari waktu yang
tak tahu ke mana lagi akan sampai.
jam terus berputar bimbang. akankah tiba
pada saat ketika Tuhan berhenti mengawasi?
hingga aku tak perlu lagi berdoa, lalu
mengutuki segala sepi.
*
sebenarnya hari begitu cerah; jendela rumahku
tak luput dari sejuk udara pagi, dan tirainya
tersingkap untuk permai cahaya matahari.
hingga aku terlibat dalam kesan yang panjang,
lalu jiwa di ajari sejatinya sebuah perasaan.
namun kehidupan di luar, dengan wajah penuh
kemunafikan, yang kutengok melalui kaca jendela,
seperti masam ekspresi iblis dalam mimpi setiap
nubuat.
sayang, mungkin aku bisa bersembunyi dari dunia,
tapi tak bisa menghindar untuk melihatnya.
*
mungkin, karena kopi secangkir, membuat aku pungkir
: apa arti tetap berdiri di ambang jendela,
jika kehidupan kepadamu slalu memanggil
untuk memberi pengalaman seru, atau kesempatan lain?
dan aku tetap menunggu akan datangnya malam
ketika jendela harus kututup, dan khayalan kuteruskan
dengan mata terkatup, hingga dunia begitu damai
kelewat damai.
Bandung, juni 2011
Komentar
padat memikat
nice poem...
baris-baris yg cukup liat, Bang
salam .... :)
bolehkah engkau berbagi akan
bolehkah engkau berbagi akan kopi secangkir...
sebelum malam menggerakkan tangan menutup jendela?
lalu kuikuti kemana engkau bersama damaimu?.....
ex
wah...mati kelewatan damai
nitip baca ini
http://www.jendelasastra.com/karya/puisi/matahari-dan-bulan-sampaikan-pesan-ini/
Tulis komentar baru