Esensi puisi
Satu huruf dalam bait ini
Adalah sebungkus nasi
Untuk mengganjal perut saat dini hari.
Satu kata dalam bait ini
Adalah sebungkus nasi dan satu lumbung padi
Yang dipersiapkan menuju senja nanti.
Satu baris kalimat dalam bait ini
Adalah segala vitamin bagi kehidupan ini
Menuju kesegaran diri yang tak mati.
Satu bait sepanjang bait ini
Adalah mahkota dan perhiasan suci
Yang berkilauan sepanjang hari.
Satu buah puisi
Adalah segudang harapan hati
Agar segalanya tak sia-sia pergi.
Maka, puisikan nafasmu agar tak basi.
17 Juli 2018
Sehangat kopi, bibirmu.
Segelas kopi terseduh malam ini, tepat
Di lereng kesepian
Asap tipis bergetar dan menari dengan lentiknya
Menandai bahwa kopi ini masih hangat dan siap diminum.
Bibirku diletakkan tepat di ujung bibirmu, aku
Meminumnya sedikit dan sesebentar saja. Sungguh nikmat.
Seduhan yang sangat sempurna menurutku.
Di ujung bibirmu yang telah basah, ku letakkan
Bibirku sekali lagi, aku meminumnya dan terdiam sebentar
Mencoba membandingkannya dengan rasa kopi-kopi yang pernah
Ku minum sebelumnya dan itu, aku
Tidak menemukan rasa yang sama dengan kopi malam ini
Kopi yang tak pernah aku minum sebelumnya, namun
Aku telah lama menghafalnya.
Aku letakkan Bibirku berulang-ulang dan
Meminumnya berkali-kali hingga aroma subuh
Benar-benar bersih dari gelas ini, dari bibirmu.
Dan tahukah? Rasa kopi itu sungguh telah menjadi
Misteri bagiku dan tidak basi dalam ingatanku, membuat
Aku ingin mengulangi sekali lagi.
29 Oktober 2018
Terumbu karang 'pun menjadi hujan
Hidup tercipta karena keniscayaan
Keniscayaan hidup adalah cinta
Cinta menjadi pelita kala malam bertandang
Menjadi setetes oase kala gersang dan
Seringkali cinta menyulam dirinya menjadi
Matahari untuk meretas kebekuan.
Maka, adakah dirimu menyelimuti diri
Dari belaian cinta yang kerap kali hadir
Mendampingi derap langkah kita?
Kalau saja di antara kita ada yang
Memagari hatinya dengan kawat-kawat tajam
Dan pecahan beling, agar cinta tak berani mendekat
Sungguh jiwanya tiada.
Atau barangkali ada yang menyembunyikan hatinya
Dalam dekapan mantra, agar cinta luluh tak berdaya
Dan sungguh mantra itu akan binasa.
Ketahuilah, bahwa cinta adalah dirimu
Semakin dirimu berusaha membuangnya,
Semakin ia melekat
Semakin dirimu membencinya, semakin ia mencintai
Dirimu berusaha membunuhnya, dan ketahuilah bahwa
Ia semakin hidup.
Cinta menjadi pelengkap dalam setiap sisi yang kita miliki
Tersenyumlah bersamanya
Bungakan hatimu karenanya
Dan pelangikan hidupmu dengan aneka warnanya
Karena sekeras apapun dirimu dan hatimu
Menolak kedatangan cinta, hatimu meleleh dan menites.
20 Oktober 2018
Awan di keningmu
Aku kembali mendapati matamu mendung
Dengan beribu awan kekecewaan yang mengatung.
Petir-petir menggelegar dari air matamu
Menghantam segala senyum yang menjadi sejarah.
Namun tak ada badai, sehingga rasaku tetap utuh
Utuh menjadi mutiara yang keruh.
Adakah yang lebih menghanyutkan ketimbang air matamu?
Sejauh matamu memandang
Pusara badai tak henti bergemuruh
Segala hal berlompatan dari mulutmu
Dari tubuhmu daun-daun berhamburan.
14 Agustus 2018
Laut negeriku
"ketika kau hendak kepesisir, Mestilah menghafalkan lirik-lirik lagu"
Hujan berpesan.
Sebab, angin selalu menari, mengajak siapa saja yang ia temui.
Dari birunya laut ia menyanyi, menyuarakan merpati
Ombak bergulung tersusun melodi
Musik-musik melengking dari terumbu karang dan jipratan gelombang.
Ompai melambai, pepohonan berderai, rerambut berdawai.
Nyanyian tak asing lagi bagi nelayan dan macam ikan
Karena setiap laut harus bergelombang dan riak nyanyian.
Pasirnya berdesir melilis nadiku, nafas berhembus bagai pelangi,
Melengkung lalu berbisik pada kepak sayap burung-burung.
Maka, jantung bergelombang, laut aku diamkan
Dan aku temukan bahwa aku adalah lautan dalam,
Laut di negeriku sendiri, negeri yang terbentuk dari aroma bahari.
Laut dan negeriku adalah malam dan rembulan, diriku adalah cahayanya.
Dan bahari adalah laut, aku dan negeriku.
26 Desember 2017
Komentar
Tulis komentar baru