di rahang sunyi ini aku sadari
dirimu bagai gerimis
meski hanya berupa goresan
yang kadang tak tampak
namun semakin lama engkau mengendap
di detak jantungku
membasahi jiwaku yang kering
kini tanpa hadirmu
ku kehilangan seutas senyum
yang dulu kubiarkan menghangatkan jiwaku
ku kehilangan tatapan mata teduh
yang selama ini kubiarkan menelusup
sebagai perasaan cinta
entah di rahang apa lagi aku berada saat ini
entahkah di rahang sepi
entahkah di rahang rindu
yang pasti aku semakin ingin menangis
tapi air mata tak kunjung menetes
atau mungkin aku malu
pada detak jantungku sendiri
pada deburan ombak di pantai
pada bintang
pada sunyi senyapnya rindu
sebab sekian lama
dari semua kebersamaan kita
aku hanya bisa membiarkan wajahmu
mengembara dalam khayalku
bertahta dalam ingatanku
bersemedi dalam jiwaku
bersileweran dalam benakku
tak tentu tepi
bagai corat moret
tak pernah bisa mengatakan apapun
kini apa yang bisa ku perbuat
selain membiarkan semua berlalu
sebab rahang sepi mana lagi
yang kini dihuni makhluk manis sepertimu
yang mampu melesatkan anganku
mengembara ke dasar samudera
ke atas junjungan langit
hingga aku terbius
dalam pesona surga loka cintamu
(Mengenang sebuah keabadian di panggung kehidupan. Di sebuah penghujung waktu di tepi kenangan. Keabadian sebuah nama yang tidak akan pernah lenyap dari lubuk sanubariku. Tentang sepenggal kisah kehidupan yang terlewati dengan sejuta kenangan, sejuta asa, sejuta canda tawa semua berlalu dengan sebuah akhir yang mengesankan...)
2008
Komentar
Tulis komentar baru