Skip to Content

Batu Pijak

Foto chambali

Batu Pijak

 

 

 

 

 

 

Peliknya masih sama

Derajatnya masih sama

Guratnya mulai menyemu

Dalam jejal kami tersandung

Dalam dekap lembutmu

Kami terkesima

Mengubur gelap

Semburat cahaya

Melintas batas alam sadarku

………………………………………………………………

 

Sejengkal telah terlewatkan dalam perjalanan, hingga kami pulang dalam sekap, pengap, bau kamar. Pesing dan kecut setelah lama kami tanggalkan beberapa waktu lalu.

Kini kami hinggap kembali diatas genting yang mulai melumut. Sarung buntut masih tergantung digantungan. Balai kayu tetap sama, berdecit dan bergoyang mengantar kami lelap dalam tidur. Melintas batas pada peradaban para manusia meluncur kesimakan mata. Akan teduh cahyamu yang mengkristal.

Malam itu kami terlalu capek, mengharap dan terus bermimpi akan takdir yang bersemayam. Keramain kota gedhe dan sunyinya makam mataram hantarkan alunan lembut berbisik menghantam dahsyat lapisan sodium.

Kerat-kerat tergores pada batang kayu gambarkan para abdi yang khusuk panjatkan do’a - do’a, pada malam sunyi akan sombong manusia jalang. Keringat dingin mengalir dari pelipis kiri, detak jantung berdegup kencang meresahkan harapan mimpi.

Sinar-sinar itu datang bagai meteor membelalakkan mata kami yang juling. Gambar-gambar porno aksi mulai tersaji dengan berbagai gaya kamasutra, menyibak wajah kami yang dengan getol menyaksikan kemaksiatan.

 

**************************

Jalang Tetap Lah Jalang

**************************

Membelalak tanpa kedip menyaksikan iblis berdansa hip-hop tawarkan molek gairah dalam layar TV. Menjilat, mengerang dan berdesah mengalirkan syahwat pada para manusia.

Jejaka atau perawan mengendus berdekap dalam sigap erat badan meronta menahan konak yang tak tertahan. Belaian lembut mulai menjalar sentuhan-sentuhan ringan mulai menepis dinding-dinding keimanan.

Mereka saling erat, bercumbu mesra dalam remang lampu lima watt. Sekejap dosa datang merangkul kita. Juara kelas wahid para iblis menari lebih riang dan bersorak. Kami menang…! Kami menang….! Tawa mereka semakin keras.

Rajam dosa besar telah mengutuk insan malang. Jalang tetaplah jalang, menunduk terhanyut dalam derai cucur air mata ratapi endusan dan cumbuan. Rona ayu dan tampan paras wajah mu yang lugu telah tercatat dalam bara api yang menganga.

Tak kusangka kekhusukan dan kefasihan mu mengucap indah kalimah-kalimah illahi yang berderet dalam suci. Tak dapat selamatkan kau manusia. Kerudung penutup aurat mu telah tersibak hanyutkan kau dalam lumpur dunia.

Masyaallah…indah tapi tak indah, sekarat tapi tak mati, hitam tapi tak hitam. Beringas insang jalang benturkan jidat pada dinding kokoh, cucur darah mengalir, sirine ambulance tak mampu mengejar waktu. Ruang ICU tak mampu memberikan jawab, lampu UGD tetap tak menyala. Para dokter semua geleng-geleng kepala. Manusia setengah hidup, hanya mampu terbengong dalam kursi dan balai-balai.

…………………………

Saat kami terbangun

…………………………

Yang aku kenal hanya tanda baca, tak mampu aku eja huruf-huruf yang berjajar membentuk kaosa. Terdampar dalam ruang kosong, entah dimana aku berada, langit-langit yang aku tatap semuanya putih, disekeliling ku yang terlihat hanya hamparan hijau yang luas, betulkah! ini surga firdaus.

Datang wajah cantik dengan senyum menawan, berjalan menghampiri. Baju putih bersih dan harum minyak kasturi membuat pori-poriku berdiri, ubun-bun terasa terpaku menancap tepat didasar bumi, persendian ku tiba-tiba saja menjadi kaku. Kaki ku bagai beton yang kokoh. Wajah ku memucat, bibir ku kering, keringat dingin mengalir, darah segar keluar dari sela lubang hidung ku.

Tawa yang halus membawa terbang keluas angkasa, sempat aku berpijak pada tanah berbatu. Selembut dan sedingin inikah udara di sini. Cahaya benerang yang aku tatap dari bumi di bawah sana yang tampak kuning keemasan itu, hanya ruang kosong hanya dihuni batu-batu besar pancarkan magmanya. Tidak sehangat yang aku pikir.

Perempuan itu berhenti di atas batu besar yang ada di tanah berbatu. Ia menarik tangan kuat-kuat, ingin rasanya menolak tapi dia tetap saja menarik hingga aku pun terjatuh dalam dekapnya. Harum dan memang cantik, alisnya yang tebal dilentikkan seakan merayu.

Mata ku tak mampu melihat tatapnya, hasrat ku tergoda..oh… tidak! ini dosa. Aku berusaha melawan dan melepaskan tubuh dari dekap perempuan itu. Semakin erat dia mendekap ku, dadaku semakin sesak deru nafas ku makin bergemuruh. Aku bukan yusuf yang tak tergoda oleh kecantikan. Aku ingat! aku hanya manusia biasa, yang memiliki angan-angan, nafsu dan harapan untuk dapat terbang dan tambatkan kaki di atas batu pijak.

……………………………………

Keras menggelegar teriak ku

……………………………………

Batu besar tempat berpijak tergurat nama. Memancar tinggi kelangit menyentuh awan, aku terkesima takjub atas indah batu pijak. Perempuan itu tertawa keras pecahkan genderang telinga.

Tubuh semakin ringan, aku tak lagi berpijak pada batu yang tersusun huruf atas nama, membawa aku terbang kelangit. Batu bukan sekedar batu, dia adalah nisan atas tulisan insan jalang yang tergurat.

Mungkinkah! Apakah aku sudah mati?. Kenapa aku merasa di luar batas tak sadar, terus saja terbang tinggalkan dingin batu pijak. Perempuan ayu tadi melebur jadi asap.

Aku masih bersyukur atas teguh hasrat yang sempat berontak. Atas dekap rayu perempuan yang tak rupa manusia. Karena memang bukan manusia. Aku terus terbang bersama huruf-huruf nama yang terpahat pada batu, aku coba untuk mengeja susunan huruf.

Yang hanya bertulis insan jalang dari kumpulan orang-orang binal. Tercatat atas lembar takdir di bumi basah tanah berbatu, mengalirkan hangatnya air atas perih keringat bercampur dingin udara, jadi hangat penuh cinta.

Aku pergi dengan tinggalkan harapan atas gurat pena yang terus temani atau canggih komputer yang siap ajari aku untuk susun kalimat-kalimat yang tak dapat kami eja. Ingin rasanya berlari dan terus lari agar aku dapat peluk kembali angan-angan di atas ilalang,

Di sebuah rumah beratap madani. Bukan langit-langit kosong yang berisi taburan bintang. Bersejadahkan beludru rerumputan berwarna hijau sejukkan hati. Tiba-tiba tubuh terguncang. Hanya mampu aku tulis dalam angan, kata-kata yang kelak tak tereja dan jangan ada multi tafsir yang timbulkan gelap di atas tanah lelumpur yang pernah kita pijak dalam untainya, tertulis segar darah pengabdian atas indah tanah batu pijak.

 

Merintih aku mengeja

Atas susunan kalimat yang tak bertuan

Harapan tetaplah harapan

Semua akan datang

 Walau hanya dalam hitungan hari

Kata-kata

Tak harus tereja

Biar ia jadi kalimat

Yang tak bermakna

Yang hanya timbulkan multi tafsir

Biar-biar aku terbang

Akan aku gapai bulan sebagai tanda

Atas pijak di atas batu pijak

Tercatat dalam hitungan waktu

Komentar

Foto jufri naldi

oke

oke

juf

Foto Pejalan kaki

BATU

Salam kenal batu pijak..

Foto chambali

Pejalan

salam juga...

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler