Sore hari ketika Ali mati dihadapannya, Maria sedang membenarkan letak kerah baju kemejanya. Sekitar 20 detik yang lalu, sambil memoleskan gincu pada bibirnya yang agak basah, Maria memandangi Ali yang sedang sekarat dengan tatapan yang biasa-biasa saja, di atas kasur pada kamar hotel yang baru ia dan Ali singgahi kira-kira 25 menit sebelumnya.
Maria memasukan racun ke gelas Ali saat Ali ke toilet, tidak lama setelah mereka tiba di kamar. Tadinya Maria mengira, dengan jumlah racun yang masukannya hanya perlu waktu tidak sampai 10 menit untuk membuat Ali kehilangaan nyawanya.
"Sialan," umpat Maria pelan hampir tak bersuara, saat ia harus melepas baju sambil melihat ke arah jam dinding. Saat itu sudah15 menit sejak Ali menghabiskan minumannya.
Maria sangat membenci orang yang menjadi pelanggannya kali ini. Alih-alih berhubungan badan, disentuhpun Maria merasa jijik sebenarnya. Maria ingin lekas menunaikan dendamnya hingga tuntas. Meski demikian, Maria ingat bahwa dia harus sangat berhati-hati untuk itu.
Pada 10 menit pertama Maria sempat gugup, kalau-kalau Ali mencium aroma racun itu saat minum dan bercakap-cakap . Keringat dingin menetes dari dahi dan jatuh di pelipis kiri mata Maria. Telapak tangannya pun sedikit basah karena ikut berkeringat.
Ketika Ali mulai menggerayangi tubuh Maria pada lima menit selanjutnya, kegugupannya semakin menjadi. Ia sempat berpikir apakah racun itu tidak bekerja dengan semestinya, atau jangan-jangan penjual racun itu telah menipunya. Kegugupan itu pelan-pelan hilang saat Ali mulai kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan busa , beberapa detik setelah Ali meminta Maria melepas celananya.
Akan tetapi, kegugupan itu sama sekali tak muncul saat Maria berkenalan dengan Ali beberapa jam lalu. Maria bertingkah sewajarnya seperti biasa ia melayani calon pelanggannya. Ngobrol-ngobrol dan minum sebentar, lalu keluar mencari hotel. Semua mengalir begitu saja. Mereka bertemu berkat perantara Mak Ani, mucikari yang punya banyak kenalan dikalangan aparat pemerintah daerah.
Ali tidak mengtahui, jika sebenarnya pertemuan mereka itu sudah direncanakan Maria dengan matang sebelumnya. Maria sudah menyusun rencananya itu sejak beberapa minggu lalu. Tepatnya setelah Maria mendengar cerita dari Dewi, pada sebuah pertemuan yang tidak disengaja.
***
“Marni! Kamu Marni?” Dewi mengguncang-guncangkan bahu dan menatap wajah perempuan yang ada dihadapannya dalam-dalam. “Benar. Kau pasti Marni. Bukan aku tak salah?”
“Dewi, kau masih hidup? Bukankah kau ditangkap dan dibawa oleh mereka?” Jawab Maria.
“Benar, kau Marni. Puji Tuhan, kita bisa bertemu kembali. Tadinya aku kira nasibmu lebih buruk dariku, sebab aku tak melihatmu di kamp-kamp penahanan dan penjara-penjara yang aku kunjungi. Kukira mereka membunuhmu pada penangkapan itu. Syukurlah, Marni, kau masih hidup.”
“Kau sendiri?”
“Aku dibebaskan pada pemeriksaan di kamp penahanan. Bapakku kenal dengan seorang dari Tim Pemeriksa Cabang (Teperca) yang menginterogasi kami. Orang itupun tahu aku bukan berasal dari keluarga partai, hanya keanggotaanku di organisasi kampus yang dianggap bermasalah. Tapi perkara itu selesai ketika bapakku memberikan sejumlah uang. Bagaimana denganmu, Marni?”
Saat keduanya menemukan pelataran toko yang sedang tak buka, atau barangkali tak pernah buka, mereka duduk disana. Maka mulailah Maria bercerita.
***
Kamis 21 Oktober 1965, sepulang sekolah Maria tak langsung ke rumah. Memang demikian, setiap hari Kamis pada jam dua siang hingga jam lima sore, Maria latihan koor di gereja. Semua berjalan seperti biasa, setidaknya sampai ia pulang dari gereja dan berjalan menuju rumahnya.
Saat tiba di belokan terakhir, kira-kira 40 meter dari rumahnya, Maria menghentikan langkahnya. Ia diam dan menatap tajam ke sepanjang jalan yang melintasi rumahnya dan rumah-rumah tetangganya itu. Ada kejadian yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Dua truk terparkir tidak berjauhan di jalan itu, dan satu truk terparkir persis di halaman rumah Maria.
Maria perlu beberapa kali meyakinkan dirinya, sebelum ia benar-benar percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya sendiri. Dari bagian belakang bak truk yang dibiarkan terbuka, Maria dapat melihat orang-orang berjongkok dengan tangan dan leher terikat satu sama lain. Sementara, orang-orang yang tidak terikat, mereka berdiri sambil menggenggam kayu dan bambu. Kayu dan bambu itu berulangkali dipukulkan ke orang-orang yang terikat tangan dan lehernya.
Maria juga melihat Burhan, teman sekelas sekaligus tetangganya sedang diseret oleh dua orang.Salah seorang menggenggam kayu di tangannya. Dalam keadaan demikian, terlihat Burhan masih memberikan perlawanan. Tidak lama, kedua orang tua Burhan menyusul. Mereka berjalan beriringan, dikawal seorang yang menggenggam senjata bambu membuntuti mereka, menuju salah satu truk yang diparkir berdekatan. Padahal, saat jam belajar di sekolah berakhir pada siang harinya, Maria dan Burhan sempat berjalan bersama, sebelum berpisah tepat di depan gerbang masuk gereja.
Burhan dimasukan ke dalam bak truk itu. Ia sempat dipukuli dengan kayu karena meronta dan terus melawan. Saat burhan sudah tampak begitu kesakitan, barulah ia terdiam dan lebih sibuk menahan rasa sakitnya. Bapak dan Ibunya juga diangkut dengan truk itu, mereka berdua sedari awal tidak melakukan perlawanan.
Saat itulah tampak dari kejauhan Yunanto, bapak Maria, keluar dari rumahnya. Lehernya terikat oleh tali. Pangkal tali itu ada di punggung Yunanto dimana terdapat kedua tangannya yang juga terikat rapi. Tanpa melakukan perlawanan, Yunanto berjalan dikawal oleh dua orang pada samping kiri-kanannya menuju truk yang di parkir di depan rumahnya. Pada saat itulah jantung Maria seakan hendak copot dari tempatnya. Rasa takut maria kini mencapai puncaknya,rasa takut pada kejadian yang sama sekali tidak ia tahu penyebabnya.
Maria bergegas menjauh dari jalan itu. Ia tidak punya tujuan. Tapi, yang pasti ia harus menghindari orang-orang seperti yang ia lihat di sekitar rumahnya tadi. Ia juga menghindari tentara, sebab mobil truk yang mengangkut bapak dan tetangganya tadi adalah mobil tentara. Di dalam hatinya, Maria terus menerus berdoa.
“Terpujilah Maria, rahmat Tuhan meliputimu. Terpujilah engkau di antara para wanita dan terpujilah buah rahimmu, Yesus. Maria yang suci, bunda Yesus, berkatilah kami para pendosa. Sekarang dan pada saat kami mati. Amin.”
Maria berjalan menyusuri gang berkelok tak jauh dari jalan utama. Ia menhindari jalan utama karena takut ada yang mengenalinya. Tapi akhirnya gang berkelok itu berkahir di jalan utama juga. Tak ada pilihan lain, sebab jika berbalik arah, maka itu hanya akan membawanya kembali ke tempat semula.
Jika Maria berjalan kearah utara, ia akan tiba di pasar. Disana tentu akan banyak orang yang bisa ditemui dan menemuinya. Jika ke selatan, diujung jalan Maria akan menemui jalan bercabang. Satu jalan akan membawanya ke pusat kota, satunya jalan yang biasa ia lewati saat pulang sekolah menuju rumahnya. Maria ke utara..
Saat ia menyusuri jalan utama itu, langit sudah gelap. Senja tak begitu nampak dari gang berkelok yang Maria lewati sebelumnya. Sebelum tiba di pasar, setidaknya Maria harus berjalan 2 kilometer. Artinya, Maria harus melewati puluhan rumah dan sekitar tujuh gang. Maria hafal jalan itu, sebab sejak ibunya meninggal duatahun lalu, ia lah yang menggantikan ibunya berbelanja, juga memasak. Maria adalah anak satu-satunya di keluarganya.
Celakanya, didepan gang keempat yang ia akan lewati, ada sekitar 5 orang sedang berjaga-jaga. Mereka membawa kayu dan bambu, persis seperti yang ia lihat di sekitar rumahnya dari kejauhan sore tadi. Untungnya, mereka belum sempat melihat Maria. Ia lompat ke dalam parit, seketika badannya berlumuran lumpur basah.
Dengan badan yang sepenuhnya dibungkukkan, nyaris merangkak di tanah, Maria terus berjalan. Orang-orang yang berjaga di depan gang itu tak bisa melihat Maria didalam parit. Dalam keadaan seperti ini, Maria tetap berdoa didalam hatinya.
“Terpujilah Maria, rahmat Tuhan meliputimu. Terpujilah engkau di antara para wanita dan terpujilah buah rahimmu, Yesus. Maria yang suci, bunda Yesus, berkatilah kami para pendosa. Sekarang dan pada saat kami mati. Amin.”
Saat tiba di pasar dengan baju dan badan berlumuran lumpur, Maria lebih mirip seorang gelandangan ketimbang seorang pelajar kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA). Karena menyulitkan langkahnya, tas sekolah berisi buku dan seragam ia tinggalkan di parit tadi. Sekolah tak dibutuhkan saat banyak orang sedang memburunya, pikir Maria.
Maria sempat bingung, apa yang bisa ia lakukan seorang diri dengan badan berlepotan lumpur begini. Terlebih perutnya mulai lapar. Tenggorokannya kering, dan perutnya sebentar-sebentar mengeluarkan bunyi. Tapi untuk mencari makanan tubuhnya terlalu lelah. Ia ingin beristirahat. Teror yang datang beruntun sore tadi disekitar rumahnya adalah penyumbang terbesar kelelahan yang ia alami saat ini.
Maria berjalan ke salah satu sudut pasar yang menjadi lahan parkir kendaraan, disana agak sepi. Maria ingin istirahat atau tidur barangkali.
Ia bersandar pada ban mobil pada bagian depan sebuah truk yang terparkir disana. Matanya dipejamkan, tapi hatinya terus berdoa. “Terpujilah Maria, rahmat Tuhan meliputimu. Terpujilah engkau di antara para wanita dan terpujilah buah rahimmu, Yesus. Maria yang suci, bunda Yesus, berkatilah kami para pendosa. Sekarang dan pada saat kami mati. Amin.”
“Siapa kau?” Seorang laki-laki paruh baya menegurnya.
“Maria.” Lantaran kaget, ia tak sengaja menyebut Maria sebagai jawaban. Sebab hatinya memang tak henti-henti mengucapkan doa salam Maria sejak sore tadi. Mulai saat itu, Marni berganti nama menjadi Maria.
“Maria, apa yang kau lakukan di mobilku?”
Maria tak menjawab. Didalam hatinya ia berdoa. “Tuhanku, Jehovah Jireh. Tunjukanlah jalan keluar sebagaimana kau menyediakan jalan keluar kepada Abraham dan anaknya Ishak di gunung Moria. Tuhanku, tuhan yang maha menyediakan.”
“Apa yang kau lakukan?” Orang itu mengulangi pertanyaannya.
“Aku baru saja kabur dari rumah karena menolak dikawinkan paksa oleh bapak, sekarang berniat untuk kembali pulang. Perutku lapar. Bisakah memberi tumpangan?” Mudah-mudahan ini jawaban yang masuk akal, pikir Maria.
“Dimana rumahmu?”
“Akan kuberitahu nanti. Boleh menumpang?”
Maria diberi tumpangan. Karena sopir itu hanya sendirian, Maria bisa duduk tepat disamping pintu sebelah kiri. Dari arah jalan yang diambilnya, mobil itu nampaknya akan menuju batas kota, atau bisa lebih jauh ke luar kota. Maria terus menebak-nebak tujuan mobil itu sebisanya.
Hingga 20 menit perjalanan, Maria belum memberitahu dimana letak rumahnya. Sopir itu sudah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Maria sempat berpikir, apakah Tuhan juga kebingungan, seperti halnya Maria, sehingga ia belum juga memberikan wahyu kepadanya. Sementara itu, rasa lapar yang ia tahan sepulang sekolah sudah tak tertahankan.
“Boleh minta makan?”
Sekarang giliran sopir itu yang tak menjawab pertanyaan Maria. Tapi mobil itu berhenti disebuah warung nasi yang cukup besar dengan parkiran yang jauh lebih besar. Sepertinya itu warung tempat istirahat sopir truk dari luar kota. Sopir itu sendiri kenal dengan pemilik warung, seorang perempuan yang belum terlalu tua dengan perhiasan emas yang terlalu mencolok.
Maria makan. Sopir itu tidak, ia hanya minum kopi sambil mengobrol dengan perempuan pemilik warung nasi. Sopir itu bercerita tentang Maria. Tidak banyak, sebab mereka memang hanya bicara beberapa patah kata sejak perjumpannya. Perempuan pemilik warung itu minta izin bicara dengan Maria.
Sejak pembicaraannya dengan perempuan pemilik warung pada malam itu, Maria tinggal di warung nasi untuk beberapa bulan sebagai pelayan. Di warung inilah Maria mendengar cerita-cerita tentang pembantaian warga kotanya. Kebanyakan petani dan pemuda. Tidak jarang cerita itu muncul dari pelaku pembantaian yang sedang makan.
Ada cerita tentang petani-petani yang disuruh berjejer diatas jembatan lalu ditembaki, kemudian mayatnya dilemparkan ke kali. Karena hal itu, air sungai memerah. Ada juga yang bercerita tentang rumah-rumah warga yang dibakar. Petani yang tewas dipukuli beramai-ramai oleh warga pun banyak.Sejumlah besar lainnya hilang tanpa meninggalkan jejak maupun nisan.
Sementara yang paling sering Maria dengar adalah tentang orang-orang yang ditangkap lalu dibawa ke tengah hutan. Mereka disuruh menggali lubang sedalam 1,5 meter. Setelah selesai menggali, mereka diminta duduk dipinggir lubang dengan setengah kakinya menjuntai ke lubang. Lalu mereka ditembaki berkali-kali hingga robohdari belakang. Tubuh yang roboh itu dengan sendirinya masuk ke dalam lubang.
Maria menyimpan pertanyaan dalam benaknya: apakah kematian jenderal-jenderal yang tidak ia kenal di Jakarta itu harus ditebus dengan nyawa orang sebanyak ini di kotanya?
Cerita-cerita itu bukan tidak memiliki dampak bagi Maria. Semakin ia mendengar atau mengingat cerita tentang pembantaian itu, semakin ia merasa dekat dengan kematian. Sebab, ia juga merasa sebagai buruan para jagal itu. Bukankah Burhan, temannya, yang ikut diciduk juga tak terlibat organisasi apapun sama halnya dengan Maria?
Di bulan kelima menjadi pelayan di warung nasi, Maria akhirnya luluh dengan bujukan perempuan pemilik warung. Maria menerima tawaran menjadi PSK untuk melayani lelaki hidung belang yang makan di warungnya. Tapi, sebenarnya tawaran itu Maria ambil karena ia semakin ketakutan pada cerita-cerita penangkapan dan pembunuhan mereka yang dianggap komunis. Dengan pekerjaan barunya, Maria berharap identitas aslinya semakin sulit dikenali.
Maria punya segala untuk membuatnya jadi pusat perhatian. Badannya tinggi dan berisi. Wajahnya bersih, dan giginya berderet rapi. Diatas segalanya, ia memiliki senyum yang bisa memikat siapa saja laki-laki hidung belang diseluruh pelosok pulau Jawa. Karenanya, pamor Maria sebagai PSK dengan cepat melonjak. Pelanggannya pun berubah dari yang tadinya sopir truk, kini ia biasa melayani pengusaha dan aparat pemerintah daerah.
***
“Maria, demi Tuhan, apa yang kau lakukan?” Dewi memotong cerita Maria.
“Aku berusaha agar tetap hidup.”
“Tapi mengapa harus membuat dirimu jadi wanita hina, Maria?”
“Moral dan perilaku saleh saja bisa jadi tak cukup untuk bertahan hidup dibawah tirani. Bahkan jika penguasa mau, kepala kita bisa dilubangi peluru mereka saat menghadap tuhan ketika beribadah.” Maria cepat-cepat menimpali.
“Tapi pelacuran itu dosa dimata tuhan, Maria.”
“Dewi, ditengah keputusasaanku pada malam itu, aku berdoa agar Tuhan menyediakan jalan keluar agar aku selamat. Bukankah tuhan yang maha menyediakan? Maka lihatlah, aku masih hidup. Aku kira, Tuhan terlibat pada apa terjadi padaku sekarang. Lagipula kita tidak mungkin menggugat Tuhan bukan?”
Dewi terdiam, ingatannya mundur beberpa tahun ke belakang. Sebelum peristiwa itu terjadi, Dewi dan Maria adalah jemaat gereja yang sama. Mereka juga sama-sama aktif di koor gereja. Maria memiliki semua kategori moral dan perilaku yang cukup untuk menyebutnya sebagai anak saleh. Tapi kehidupan pasca peristiwa itu benar-benar telah merubah Maria. Dalam hatinya, Dewi belum bisa menerima.
“Ayo ikut denganku, Maria. Tinggalkan pekerjaan hina itu. Jadi biarawati di gereja bersamaku.”
“Aku tidak akan meninggalkan apa yang telah memberi dan menyelamatkan hidupku, Dewi. Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka, jika nanti salah seorang atau lebih jemaat di gereja ternyata adalah pelanggan jasaku”
Dewi kembali terdiam. Ia mengalihkan pembicaraan.
“Maaf, Maria. Tapi aku harus menyampaikan kabar buruk ini. Tentang bapakmu.”
“Aku sudah mengetahuinya. Bagaimana dengan Ridwan? Aku sama sekali kehilangan jejaknya. Dimana dia sekarang?”
“Ridwan ditangkap pada Jumat siang, saat menuju rumah sepulang solat jum’at. Kami bertemu di kamp penahanan untuk diperiksa oleh Teperca. Ridwan di interogasi oleh Ali, pemuda yang satu kampus dengan aku dan Ridwan. Hanya saja kami berseberangan dalam organisasi. Rupanya Ridwan masuk kedalam Tim Pemeriksa Pembantu (Timperban) dari perwakilan Resimen Mahasiswa Surakarta (Mahasura). Ali memperlakukan Ridwan dengan sangat buruk dalam interogasi itu.”
“Ali?” Tanya Maria
“Iya. Kami bertiga sekelas ketika SMA.”
“Aku mengenalnya. Lantas ada dimana Ridwan sekarang?”
“Pada tengah malam hari itu juga, Ridwan dibawa keluar menggunakan truk bersama dengan yang lain. Jumlahnya mencapai puluhan. Sejak tengah malam itu, Ridwan tak pernah kembali. Ketika sudah bebas, aku tak kunjung menemukannya. Belakangan aku baru tahu, jika Ridwan ternyata berada satu lubang dengan bapakmu ketika mereka ditembaki dari belakang. Belakangan aku juga baru tahu jika ternyata Ali yang melabeli Ridwan sebagai tahanan dengan status berbahaya, yang membuatnya tak berlama-lama untuk dieksekusi.” Jelas Dewi.
Maria tak bereaksi apa-apa. Pencarian diam-diam Maria telah selesai. Sebuah pekerjaan baru muncul dibenaknya.
Banyak hal memang telah berubah. Dulu, ketika semuanya masih baik-baik saja, Maria dan Ridwan memang memiliki hubungan khusus. Ridwan adalah orang yang membuat hati Maria yang selama itu hampa jadi terisi. Demikian juga Ridwan. Tapi kini Maria hanya seorang perempuan hina, bahkan dimata Dewi, teman dekatnya dulu.
Maria juga bukan lagi umat Katolik yang taat seperti dulu. Mulut dan hatinya tak pernah lagi merapal doa selama tiga-empat tahun belakangan. Lantas apakah dia perlu menjadi pemaaf sebagaimana sabda Tuhan dalam alkitab? Apakah Maria harus memberikan pipi kanan dan kirinya untuk ditampar oleh mereka yang telah membunuh orang banyak termasuk bapak dan kekasihnya? Menurut Maria tidak. Ia bukan Tuhan yang maha pemaaf, ia hanya manusia yang kadang bukan pemaaf-pemaaf amat. Sejak saat itu, Maria merawat dendamnya dengan sabar untuk ditunaikan.
Komentar
Tulis komentar baru