DONO DAN DENI
PADA zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang tampak seperti orang bodoh, tetapi ia pintar. Dono demikian nama laki-laki itu biasa dipanggil sehari-hari. Di samping tampak seperti orang bodoh, maka pemalas adalah sifat lain yang melekat pada diri Dono. Ia tidak mau bekerja keras. Segala sesuatu mau gampangnya saja. Begitulah riwayat hidupnya.
Banyak sudah korban menjadi sasaran tipu dayanya. Meskipun begitu sifat dan tabiatnya, Dono sering kali membuat orang takjub. Padahal sesungguhnya, di balik semua itu terdapat maksud yang tersembunyi. Demikianlah cara Dono memanfaatkan kebodohannya untuk memperdayai orang lain.
Meski telah berusia lanjut dan di kepalanya telah mulai ditumbuhi banyak uban, namun sifat dan perilakunya tak juga kunjung berubah. Dono semakin tak tahu diri saja. Tua-tua keladi, kata peribahasa untuk menggambarkan tabiatnya itu. Semakin tua Dono semakin menjadi-jadi pula akalnya.
Demikian pada suatu siang. Matahari bersinar sangat terik hingga menimbulkan rasa haus di tenggorokan. Di tengah jalan Dono bertemu Deni, yang baru pulang dari kebunnya. Ia memikul empat butir kelapa muda. Nah, ini dia, pikir Dono. Deni adalah seorang yang juga bodoh, tapi sangat jujur hatinya. Telah beberapa kali Deni ditipu oleh Dono. Tapi, Deni tak pernah merasa ditipu oleh Dono.
Seketika terbitlah air liur Dono melihat kelapa muda di atas pikul Deni. Jakun Dono tampaklah naik turun. Terbayang nikmatnya minum air kepala muda itu di siang hari yang terik itu. Pasti menyegarkan tenggorokan.
“Deni. Hendak kemana kaubawa kelapa muda itu?” tanya Dono senang.
“Istriku ingin minum air kelapa muda,” jawab Deni jujur. Sudah lama Deni ingin menimang seorang anak sebagai penerus keturunannya kelak. Umur Deni telah pula sepantar umur dengan Dono. Gelisah hati Deni menanti hadirnya seorang buah hati yang tak kunjung-kunjung itu. Siang pun malam mereka tak pernah lelah berdoa pada Tuhan, memohon agar segera diberi anak.
Ketika pada waktunya, istri Deni tiba-tiba menginformasikan diri tengah mengidam. Pada layaknya perempuan ngidam pasti banyak keinginannya. Begitupun dengan istri Deni. Ia ingin meminum air kelapa muda.
Berbunga-bungalah hati Deni mendengar berita istrinya itu tengah mengidam. Ia sangat menginginkan seorang anak laki-laki. Maka, segala permintaan istrinya pun segera dikabulkannya.
Tak ambil waktu lama, Deni bergegas ke kebunnya demi memenuhi permintaan istrinya. Ia memetik beberapa butir kelapa muda. Dan, di tengah jalan, sepulangnya dari kebun itulah Deni bertemu Dono.
“Jadi istrimu mengidam?” tanya Dono takjub. “Sungguh sebuah berita gembira. Tapi, tak berkecil hatikah kau jika kuramal jenis kelamin si jabang bayi dalam rahim istrimu itu?”
Deni kena jerat muslihat Dono. Kontan ia mengangguk setuju. Perasaannya senang. “Tentu saja boleh, Dono!” katanya.
Donosenyum. Tengoklah dia ke kiri dan ke kanan. Tampaklah hidung Dono kembang kempis; nges nges…
“Kaulihatkah di sana ada pohon rindang? Marilah kita ke sana, Deni. Aku akan bersemadi sejenak di sana untuk mengetahui jenis kelamin jabang bayimu,” ajak Dono.
Tanpa pikir panjang Deni segera menyetujui usul Dono. Rasa senangnya membuncah seketika. Deni inginlah segera mengetahui jenis kelamin si jabang bayi. Semoga laki-laki, harap Deni di dalam hati. Kepada Dono ia melempar senyum. Mereka lalu menuju ke bawah rindang pohon dengan langkah gegas, akhirnya.
Deni segera menurunkan kelapa yang dipikulnya. Kedebrak suara kelapa muda itu menyentuh tanah. Dono pasang muka kaget.
“Janganlah kaubanting kelapa muda itu,” Dono melotot pada Deni. “Bukankah kelapa itu kauperuntukkan istrimu?”
Deni mengangguk. Wajahnya tiba-tiba murung. Tanpa kata-kata ia menyesali perbuatannya.
“Wahai sahabatku, Deni,” Dono menepuk-nepuk pundak Deni. “Seharusnya kauperlakukan kelapa muda itu dengan lembut. Jangan kaukasari begitu.” Sorot mata Dono menatap Deni. Alamak!
Deni tambah murung.
“Perlakukan kelapa muda itu layaknya kauperlakukan anakmu sendiri, Deni. Sesungguhnya si jabang bayimu yang menginginkan air kelapa muda itu. Bukan istrimu,” lanjut Dono penuh hikmah.
Deni trenyuh. Sudut matanya menyimpan bening air mata.
“Baiklah aku akan bersemadi sejenak untuk mengetahui jenis kelamin si jabang bayimu. Janganlah kaupotong kata-kataku. Lakukan saja apa yang kuperintahkan. Mengertikah kau itu?” Dono lalu duduk bersila sembari memejamkan mata. Bersemadi layaknya.
Semangat Deni meletup kembali. Bercahaya wajahnya. Akan tetapi, diam-diam Deni menyusut titik-titik air mata yang mengambang di sudut matanya.
Sejurus lamanya ke depan, Deni menunggu apa yang diperintahkan Dono dalam semadinya itu. Dua menit berlalu. Ketap-ketip kelopak mata Dono. Deni menunggu isyarat itu dengan perasaan harap-harap cemas. Keringat mengucuri pelipisnya.
“Aih,…!” kata Dono.
Deni terkesiap.
“Auh, aih…!” lajut Dono
Deni melonjak. Sontak pasang kuda-kuda seperti pemain pencak silat siap menahan serangan lawan.
“Siapkan dua butir kelapa itu. Pilih yang paling muda. Ingat yang paling muda. Ini perintah!” kata Dono dalam semedinya.
Disiapkannya dua butir kelapa seperti yang diperintahkan Dono.
“Ambil parang lalu potong dan lubangi kelapa itu. Aih, lucu sekali si jabang bayimu. Aih, geli sekali, aiiiihhh!” Dono menggelinjang seperti terserang rasa geli yang hebat. Laksana kerasukan roh halus Dono menari-nari. Beringkrak-jingkrak sambil mulutnya bernyanyi; nang ning nung …
Deni berdebar-debar melihat tingkah Dono. Bertanya-tanya di dalam hati; mengapa Dono berkelakuan seperti itu? Tapi, jangan dulu. Ia tak hendak pula bertanya karena hal itu dianggapnya dosa. Deni menelan ludah. Gemetar tangannya memegang parang. Dua butir kelapa muda itu akhirnya dilubanginya dengan tangan gemetar.
“Aih, menarilah bersamaku. Ayolah hibur si jabang bayimu. Aih, aih,” Dono semakin berapi-api.
Deni bingung.
“Cepat!” kata Dono.
Deni gelagapan.
“Pegang tanganku,” Dono menjulurkan tangannya.
Deni kikuk. Tak ada pilihan lain. Deni menurut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Dari kejauhan tampaklah dua orang laki-laki itu menari-nari amatlah lucunya. Aih!
Selang beberapa saat lamanya…
“Stop!” Dono tiba-tiba memberi komando. Sontak ia menghentikan gerakannya. Demikian pula dengan Deni.
“Aih, Sahabatku,” ujar Dono melanjutkan, “Dalam semadiku itu aku melihat si jabang bayimu itu. Aih, lucunya. Menggemaskan sekali!”
Deni bahagia.
“Untuk mengetahui jenis kelamin si jabang bayimu itu,” Dono tarik napas. “Aih, kita diperintahkan untuk meminum air kelapa muda itu, Deni. Jika air kelapa muda itu terasa manis, berarti si jabang bayi berjenis kelamin perempuan,” ujar Dono. Kembali ia menarik napas dalam-dalam.
“Namun...,” Dono melanjutkan kata-katanya, “Kalau air kelapa itu terasa tidaklah begitu manis berarti bakal calon anakmu itu seorang laki-laki. Aih, pahamkah kau, Deni?!”
Deni mengangguk. Ditatapnya dua butir kelapa muda yang telah ia lubangi itu dengan perasaan berdebar. Deni ingin anak laki-laki.
Jeda yang sangat mendebarkan sekaligus menjengkelkan.
“Janganlah kauberkecil hati, Sahabatku,” Dono menyentuh pundak Deni. “Untuk mengetahui jenis kelamin si jabang bayimu, marilah kita cicipi air kelapa muda itu. Ingat teguk pelan-pelan. Nikmati rasanya!”
Deni menarik napas. ia menurut. Dicicipinya air kelapa muda itu seteguk. Cuma seteguk!
“Maniskah?” tanya Dono menahan rasa haus.
Deni mengangguk. “Perempuan!” katanya sambil menahan napas.
“Belum tentu,” kata Dono.
“Rasalah!” Deni memberikan kelapa itu.
Dono meraihnya. Diminumnya air kelapa itu dengan penuh selera, hingga habis airnya. Lalu…
“Laki-laki!” Dono berteriak penuh kemenangan.
Deni mengangkat alisnya. Dipasangnya telinga baik-baik: “Apa katamu, Dono? Laki-lakikah!?” Deni menginginkan seorang anak laki-laki tumbuh dan lahir dari rahim istrinya. Terbaca semburat kegembiraan itu pada air mukanya.
“Laki-laki,” tegas Dono.
Deni melonjak-lonjak sambil bernyanyi; nang ning nung …
“Masih ada satu kelapa muda lagi yang belum kaucicipi airnya. Aih,” Dono mengambil kelapa itu dan diberikannya pada Deni.
Deni menghentikan aksinya. Mulutnya pun terdiam. Diliriknya Dono. Diteguknya air kelapa muda itu seteguk seperti yang dilakukannya pada kelapa pertama. Hanya seteguk. Ia cicip rasa airnya. Sorot mata Deni menyala. “Laki-laki,” teriaknya.
“Belum tentu,” kata Dono pura-pura tak percaya.
“Laki-laki, Dono.” kata Deni
Dono menggeleng, “Belum tentu!”
“Rasalah air kelapa ini. Terasa tak manis,” kata Deni.
Dono tak ambil waktu lama. Disambarnya kelapa muda masih penuh air itu dari tangan Deni. Rasa hausnya belum benar-benar hilang. Secepat kilat ia minum air kelapa itu sampai habis. Puas rasanya.
Dono bersendawa. Rasa hausnya terobati sudah. Telah ia habiskan air kelapa segar dua butir. Kenyang perutnya tak terkira-kira.
“Laki-laki, bukan?” Deni menunggu komentar Dono.
Dono menarik napas dan tersenyum
“Bagaimana? Laki-lakikah anakku itu, Dono?” tanya Deni disertai sorot mata lugunya.
Dono mengangguk; “Ya, laki-laki!”
Deni berteriak senang. “Marilah sejenak kita rayakan kehadirannya, Dono!”
Sorot mata Dono menyatakan setuju. Maka, tanpa dikomando, Deni menyambar parangnya. Melubangi dua butir kelapa sisanya. Ditebasnya satu persatu kelapa muda yang sudah tak berair itu hingga terbelah dua. Mereka memakan isi kelapa muda itu sambil bercerita bahwa sudah lama sebenarnya Deni menginginkan seorang anak laki-laki. Istrinya pasti gembira mendengar si jabang bayi dalam rahimnya itu berjenis kelamin laki-laki. Aih, senangnya.
“Puas hatiku, Dono. Anakku laki-laki. Lama sekali kami menunggu kehadirannya!” kata Deni dengan sinar mata takjub menatap Dono.
Dono diam sambil menelan ludah. Seperti tengah memecahkan suatu masalah berat, ia menatap juga ke arah Deni dengan sorot mata iba. Aih, Sahabatku. Dasar engkau lebih bodoh dariku. Tidak pula engkau mau belajar dari pengalamanmu. Begitu mudahnya engkau percaya padaku. Padahal telah berkali-kali aku menipumu. Dasar bodoh, umpat Dono dalam hati lalu tersenyum lirih menatap Deni berangkat pulang sambil bersiul-siul riang tanpa membawa kelapa sebutir pun. Kasihan Deni kena tipu lagi.
Komentar
Tulis komentar baru