Lintang Surtan
Pertiwi memang tak lagi ayu, kedua bola matanya menonjol keluar seiring memudarnya pesona karena pemerkosaan. Seharusnya untuk seusia enam puluhan tahun ia masih belia, masih menikmati udara yang melewati rambut-rambut di kepalanya.
Pagi itu perahu bersandar di tepi pantainya. Orang-orangnya nampak aneh, mereka memelihara kumis yang begitu panjang dan inginnya dipanggil Meener. Membawa bedil dan mengancam manusia pribumi, dengan seketika mengambil alih kekuasaan atas Pertiwi, tapi apalah daya Pertiwi, tanpa malu-malu pun ia harus mau digarap oleh bule yang meminati tubuhnya.
“Oooh….shit!! apa lagi yang kau lakukan hai rambut pirang?, tak jemukah kau mencambuki anak cucuku yang baik hati?” Keluhnya.
“Diamlah kau orang udik, atau kupertajam tusukanku ini!” Ancamnya
Mereka mengacung-acungkan senjata pada manusia-manusia lemah dan memberikan ancaman untuk menuruti kehendaknya, menyadap darah di tubuh Pertiwi. Namun saat itu rasa sakitnya terobati oleh semangat dari anak mudanya yang melawan orang-orang bule tersebut. Dengan penanya atau bambu pun membuat hati pertiwi meneteskan air mata haru pada perjuangannya.
Lama sudah kisah itu terjadi, masih terasa bekas luka fisik dan batinnya dalam mengarung bahtera bersama sang suami. Kini ancamannya jauh berlipat bahayanya, orang-orang bule itu datang membawa ancaman pada anak cucu Pertiwi, senjatanya lebih canggih dari laras panjang yang dipanggulnya jaman dulu, sasarannya pun bukan sekedar badan kami, tapi otak. Doktrin yang mereka ciptakan seolah merusak pagar yang benar-benar dijaga Budaya, sementara Pertiwi waspada menyiapkan mental karena memiliki firasat kalah.
Lama sekali meereka mengawasi pagar ini, ditembaki dikepung dan akhirnya ambruk. Sudah ditebak, dengan mudah virus-virus yang sengaja mereka cipta masuk kedalam otak manusia pribumi, menjangkit dan kecanduan. Cerminnya adalah apa yang kita lihat, dengar dan rasakan saat ini.
Anak cucunya memang tak lagi peduli dengan nasibnya, mungkin itulah polahnya anak hasil pemerkosaan. Tubuh tuanya tak lagi berbusana sedang kulit keringnya dikelupasi Sekuat tenaga dikerahkannya untuk bertahan dibawah perihnya sinar matahari. Doanya ketika bertemu matahari adalah mega menghalangi untuk bertemu dengannya. Dia takut.
Sering sekali air matanya keluar karena rambutnya dicabuti cucunya yang menginjak dewasa dan angkuh. Maklum saja mereka angkuh karena Suaminya, Budaya telah mati diinjak-injaknya. Setiap jengkal kepalanya kini tampak lebih indah. Namun, ini membuat Pertiwi seringkali sakit-sakitan karena rambut yang telah dicabuti oleh cucunya tersebut ditempeli besi dan beton yang juga dikeruk oleh cucunya dari dalam perut Pertiwi.
Cobalah kalian rasakan sendiri jika rambut-rambutmu dicabuti hingga botak, sinar matahari langsung bertemu kepala pelontosmu dan air hujan kurang senang dengan keadaanmu itu. Kekejaman dirasa manis olehnya, mahkotanya dijadikan berjuta lembar triplek, kertas bahkan dijadikan istana diatas kepalanya. Marilah ber empati kawan!!! Ini tugas kita semua, lakukan sesuai bidangmu untuk menyelamatkan pertiwi yang mengandung anak dan cucu kita!!.
Sering Pertiwi menangis dan mengeluh, dengan sekuat tenaga diguncang-guncang kepalanya yang terasa berat itu. Maka robohlah besi dan beton yang ditanam dikepalanya, menyatu bersama air tangisan Pertiwi. Sering sekali tubuhnya merasa mual dan mengeluarkan lahar panas, itu berarti sedikit dendamnya terbayar.
“Ooookhhh, aku tak tahan lagi…….” Keluhnya dalam tangisan.
Tapi siapa hendak mendengarnya? Karena manusia-manusia itu masih saja menanami lagi kepala Pertiwi, ia pasrah. Diletakkannya kepala itu di tanah karena tangannya tak kuat lagi menyangga.
“Kuwalat!!! Mati sajalah kalian semua!
Kalian akan mati saat aku mati, saat itu juga!!!”.
Pertiwi sungguh murka, ia mencium bau petir dan mendung akan segera datang yang berarti air akan segera tumpah dan mengakhiri segala jenis kehidupan.
Lalu manusia-manusia yang mengerti itu bisa melakukan apa untuk menyelamatkan Ibu Pertiwinya? Sekarang kepada perutnya, sudah beberapa tahun pertiwi tidak menstruasi. Perutnya dijajah hingga menembus punggung. Buah dadanya diremas-remas lalu digigit dan diludahi. Harga dirinya sudah tak dapat dinilai lagi. Jikapun ia harus membangun harga dirinya ia harus memulai dari nol puthul layaknya bayi yang baru lahir telah membawa bekas cambuk disekujur tubuhnya.
“Aku sudah kalah, hari ini. Berarti aku tak boleh kalah lain kali.” Ia berusaha memotivasi dirinya.
Sementara Pertiwi bersusah payah menahan gempuran fisik, sang Budaya ternyata masih hidup, harus merintih diinjak-injak. Kaum pengerat berdasi telah hanyut dibawa pemikiran modern yang sama sekali sangat membencinya sebagai pribumi asli.
Awalnya Borjuis itu datang dan menghampir Budaya. Bahkan bersalaman dan mencium tangannya. Datang dengan tiba-tiba berkaca mata dan jas necis diselipi dasi di dalamnya. Mengajaknya berbicara. Nampaknya serius.
Terjadi perbincangan lama antara bos dan budaya, basa basi dan menjurus kearah serius. Raut wajah sang bos seketika berubah setelah budaya berbicara, entah apa yang terjadi.
“Door!!!” seketika keluar darah segar dari kaki Budaya yang nampaknya agak marah setelah diajak berbicara.
“Lakukan saja yang kau mau, hai domba. Bahkan pistolmu tak mampu menembus kulit ari ku” Budaya masih saja memaki.
Dan “Dooor” sekali ini mengenai bahunya. Namun ia tetap kukuh seolah tak merasa sakit apapun.
Pergilah rombongan itu setelah yakin Budaya tak kan bertahan hidup.
Bagi Budaya sendiri ini tidak lebih baik daripada mati seketika, mereka memang pandai memainkan kartunya.
Ini bukan hal yang kecil baginya namun, bertahan adalah upaya terakhir dalam perang. Ia bangga sekaligus duka. Bangga karena dapat mempertahankan harga dirinya. Namun kecewa berat pada anak-anaknya yang terdiam melihat budaya ditembaki. Budaya terus saja berjalan dengan sisa peluru di kaki dan bahunya. Mencari Pertiwa, ingin sekali ia mati dihadapan Pertiwi dan dikuburkannya dalam pelukan Pertiwi.
Budaya memang mati.
Satu kesenangan yang dibawanya adalah mati dalam pelukan pertiwi. Sekalipun mati dalam kekalahan telak. “Biarkan Pertiwi langsung memberi hadiah atas keegoan mereka. Apapun yang dilakukan anak kecil itu tanpa aku adalah sama saja. Sekalipun baik mereka akan berakhir di dalam perut pertiwi karena yang baik tak mampu mengendalikan yang buruk lagi. Karena berbuat baik semakin diketawai saja”. Hendak mati Budaya mengungkapkan kekesalannya kepada pertiwi.
Namun, Pertiwi tak lagi ber-air mata. Ia menyimpannya untuk membalas kelakuan sang cucu yang senewen. Hidupnya sebatang kara kini, harus berkelahi melawan panasnya matahari selain menahan tikaman-tikaman yang sengaja ia biarkan. Harus menahan dinginnya ombak lautan bersama perihnya luka tusukan berbasuh air laut. Mengenaskan!!!
Komentar
Tulis komentar baru