Tulisan ini dimuat dalam rengka mengenang perjuangan para santri, sekaligus untuk menangkis pendapat atau opini, bahwa kesufian identik dengan keterbelakangan, anti pembangunan, dan sikap apatis ......
Oleh: Agus Muhammad
Pesantren merupakan salah satu unsur penting dalam dinamika historis bangsa Indonesia. Secara historis, pesantren telah “mendokumentasikan” berbagai peristiwa penting bangsa Indonesia, baik sejarah sosial, budaya, ekonomi maupun politik bangsa Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan, peran utama pesantren tentu saja menyelenggarakan pendidikan keislaman kepada para santri. Namun, dari masa ke masa, pesantren tidak hanya berperan dalam soal pendidikan, tetapi juga peran-peran sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini adalah keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Bambu Runcing yang terkenal sebagai senjata para pejuang kemerdekaan adalah inisiatif dari Kiai Subeki atau Mbah Subki yang kemudian diabadikan sebagai nama pesantren, yakni Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren (Gunung Agung, 1984), mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman –yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial. Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.
Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh.
Peristiwa 10 November
Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak semua negara di dunia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita bahwa Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya. Pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui pertempuran sengit.
Menghadapi kenyataan ini, kalangan kiai pesantren segera merencanakan pertemuan diantara para pimpinan pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’arif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan teriakan Allahu Akbar sehingga berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan penjajah.
Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah.
Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang dari berbagai kalangan untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan senjata-senjata berat mereka.
Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta, 2005), seruan jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.
Refleksi Keindonesiaan
Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut menjadi refleksi bagi kita semua. Refleksi ini penting karena di tengah gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, kiprah pesantren bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan kalangan pesantren terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia tidak hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di masa-masa kemudian.
Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan dukungan meskipun yang pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok Pesantren Cipasung misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok dengan kelompok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan pemberontak tersebut. Padahal DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan Pesantren Cipasung. Sebagai organisasi yang memayungi kalangan pesantren, NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena NKRI sudah dianggap final.
Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena kalangan pesantren sangat kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman, memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini.
Pasca reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan modal sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap, pesantren melalui para kiai, santri dan alumninya di masa-masa mendatang dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.[]
Agus Muhammad, Alumnus PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren (Gunung Agung, 1984), mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman –yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial. Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.
Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh.
Peristiwa 10 November
Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak semua negara di dunia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita bahwa Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya. Pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui pertempuran sengit.
Menghadapi kenyataan ini, kalangan kiai pesantren segera merencanakan pertemuan diantara para pimpinan pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’arif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan teriakan Allahu Akbar sehingga berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan penjajah.
Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah.
Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang dari berbagai kalangan untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan senjata-senjata berat mereka.
Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta, 2005), seruan jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.
Refleksi Keindonesiaan
Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut menjadi refleksi bagi kita semua. Refleksi ini penting karena di tengah gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, kiprah pesantren bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan kalangan pesantren terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia tidak hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di masa-masa kemudian.
Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan dukungan meskipun yang pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok Pesantren Cipasung misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok dengan kelompok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan pemberontak tersebut. Padahal DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan Pesantren Cipasung. Sebagai organisasi yang memayungi kalangan pesantren, NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena NKRI sudah dianggap final.
Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena kalangan pesantren sangat kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman, memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini.
Pasca reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan modal sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap, pesantren melalui para kiai, santri dan alumninya di masa-masa mendatang dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.[]
Agus Muhammad, Alumnus PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur
Komentar
Tulis komentar baru