Skip to Content

Ti

Foto ugi yasmin sastrais

Sekelompok orang tak kukenal mengejar  tanpa sebab. Aku berlari menyusuri lorong-lorong kota, entah sedang di mana posisiku. Tak ada petunjuk. Tempat ini begitu sempit untuk gerakku, mereka semakin dekat. Benar-benar tak dapat kubaca tempat ini. Tak paham aku akan medan, bangunannya juga masih baru. Semacam perkotaan yang belum jadi dan tak berpenghuni. Sempat kulirik makhluk berjarum di tangan kananku, 02.45. hampir jam tiga. Hanya lampu warna warni yang menerangi langkah tunggang langgangku. Napasku kian terengah-engah. Sebentar lagi mungkin tubuhku tersungkur. Aku semakin terhuyung, Kuloncatkan kakiku dan kurentangkan kedua tanganku ke atas. Ups.. ahg, yup! Aku bisa terbang  dan melarikan diri dari cengkeraman mereka.

Tidak mungkin! kenapa mereka juga bisa terbang. Kubelokkan badanku, ke kanan. Aku menyeberang jalan dan kunaiki gendung di sebelahnya. Kupacu kekuatanku. Aku kerahkan seluruh tenagaku. Mereka sudah tidak terlihat. Tak habis pikir kenapa mereka mengejarku, siapa mereka? Dari mana mereka muncul, wajah mereka menyeringai persis srigala, punya taring.. Aku membalikkan tubuhku dan lebih baik loncat. Aagh!

 

***

Aku terbangun. Dadaku turun naik, nafas seolah berlomba keluar masuk ke rongga mulut dan hidungku. Kucoba merangkai kembali mimpi yang baru kualami. Selalu dan selalu mimpi semacam ini yang kualami. Mereka memburu, menyeramkan, menakutkan, tubuhku berhujan keringat. Suara adzan sayup-sayup terdengar dari masjid Kampus. Lebih baik aku sembahyang subuh dulu. Kuhabiskan zikirku di surat Al-Mu’minun. Ketenangan menerangi kalbuku. Masih kuingat kata-kata ayah bila selesai mengaji. Membaca Al-Qur’an itu obat bagi hati yang gusar, dan gelisah. Ayah, andai ayah masih disampingku pasti putrimu ini tak akan segelisah ini. Batinku bergetar, sosok ayah melintas dalam alam khayalku. Air mataku jatuh satu-satu.

Hari ini aku ada janji dengan Ti. Ah… Ti, kau bagai daun yang bersemi di lubuk hatiku. Meski  tiada pupuk, engkau pun  tak  layu  apalagi gugur.

Kuajak Riu berlari kencang. Motor setiaku ini tak ragu melaju secepat kilat. Tiba-tiba aku ingat pesan Ti, agar aku tak kebut-kebutan. Okey! Sorot matanya selalu mengingatkanku kepada keluargaku yang lain, sayang Ti yang berat badannya 39 itu tak mampu tersenyum, semakin menambah dukaku. Tetapi, bagaimanapun juga aku tak boleh terlihat sedih di depannya.

***

Riu tak punya nyali bila berhadapan dengan si merah di kawasan bangjo. Riu menunggu. Beberapa mobil melaju setelah si mata hijau menampakkan dirinya, Riu melesat. Ia tahu ke mana harus melaju dan sebarapa kencang. Aku sampai di depan RSUD Giriwono. Kukerlingkan mata kanan Riu dan di depan gerbang berwarna biru aku berhenti.

Assalamu’alaikum,” kutahu Ti sudah sejak tadi menungguku di balik jendela.

Kucium pipinya. Meski tak bisa senyum, aku tahu pasti ia sangat bahagia melihat aku datang. Ti hanya bisa menggeleng, mengangguk dan mengedipkan matanya. Seluruh urat sarafnya telah mati dan hanya sebagian yang berfungsi. Ia juga enggan berbicara. Hanya sekali waktu, bila ia ingin. Hanya keajaiban Tuhan yang membuatnya tetap bertahan.

Ti dan aku sama-sama menemui tragedi mengenaskan di Sampit. Setengah tahun aku menetap di sana bersama keluargaku. Ayah, ibu, Ti, dan Imang, kedua adikku. Hidup kami memang tak pernah rukun sebelumnya dengan orang-orang suku asli di tempat kami tinggal. Tetapi, sebagai keluarga muslim kami selalu menginginkan kedamaian. Hingga tragedi itu benar-benar terjadi padahal pemicunya hanya masalah sepele. Seorang guru yang meminta orang tua murid untuk menghadap ke Kepala Sekolah, namun ia telah salah tafsir bahwa mereka dianggap telah direndahkan martabatnya. Sepele sekali. Hanya karena merasa terhina oleh orang-orang pendatang. Mereka terlalu sombong hingga tidak pernah mengakui kelemahan diri sedikitpun. April yang mengerikan bagiku. 

Hari itu benar-benar hari yang memilukan bagi kami,  Bila kuingat pembantaian masal itu, sungguh diriku pun tak kuasa menahan amarah. Apalagi Ti, dia begitu tertekan.

Kami satu desa hanya beberapa yang selamat, ayah dan beberapa kepala keluarga lainnya terbunuh dalam pembantaian itu. Pembantaian berdarah. Bahkan, korbannya nyaris bukan seperti manusia dan pembunuhnya pun bukan manusia. Ibu dan adikku juga tewas dalam pembantaian itu. Betapa kejam, leher bagian belakang adikku robek dan hampir putus. Imang tewas seketika, ibu perutnya terburai oleh clurit yang mereka gunakan untuk menebas leher adikku. Ti waktu itu mau menyusul ibu, terpaksa aku seret, kugendong dan kubawa lari sebisaku.

Ti teriak-teriak seperti orang gila. Aku masih bisa menguasai diri. Aku berlari, kencang. Aku mencari mobil-mobil aparat, aku ingin berlindung tetapi tidak bisa. Mereka sungguh membabi buta. Aku lari menghindar sebisa mungkin. Tapi aku tak bisa bila tidak melihat mereka, meski seluruh urat sarafku menegang. Menyaksikan ayah dan keluargaku dibantai sedemikian kejam.

Ti terus berteriak tiada henti. Ia panggil ayah, ibu dan Imang berkali-kali. Tercabik-cabik jiwaku. Pemandangan jahanam tak terelakkan. Aku tutup mata Ti, aku dekap Ti erat-erat. 

Satu jam kemudian pembantaian itu baru bisa diredakan oleh aparat, itu karena sudah tidak ada lagi pemuda dan lelaki yang dibantai, tinggal orang-orang tua dan ibu-ibu juga beberapa anak termasuk diriku dan Ti. Aku justru berpikir kenapa aku tidak dibantai sekalian biar aku tidak menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini.

Kami digiring dan diamankan ke salah satu masjid besar. Aku masih menutup mata Ti dan mendekapnya erat. Aku tak ingin ia melihat kengerian ini. Tapi, Ti sudah terlanjur melihat sepotong kejadian yang tidak manusiawi itu menimpa ayah, ibu dan adikku. Apalagi ia masih terlalu kecil untuk menyaksikan sebuah kejadian yang merenggut orang-orang kesayangannya. Yah! Aku gagal menyelamatkan Ti dari pemandangan paling mengerikan itu. Pantas ia kini tak memiliki kekuatan hidup karena kekuatan hidup itu sudah terambil saat menyaksikan pembantaian orang tuaku sendiri, mereka yang kami cintai dibunuh dengan biadab di depan mata kami.

Satu malam kami dan penduduk lainnya mengungsi di masjid itu, meski bau anyir tetapi lebih aman dibanding dengan tinggal di rumah masing-masing. Ternyata benar dugaan para aparat, tepat pukul lima pagi mereka membakar rumah-rumah kami. Kami semakin menjerit. Luka yang belum sembuh itu sudah tersiram dengan bahan bakar lalu mereka memanggang kami mentah-mentah. Kami memang pendatang, tetapi kami juga memiliki kebebasan di tanah mana pun itu, kami berhak hidup. Akhirnya, kami semua dinaikkan kapal untuk di selamatkan dari orang-orang yang otakknya sudah mendidih oleh dendam.      

***

Aku ingin menepati janjiku hari ini dengan Ti, kemarin aku janji kalau ujianku sudah selesai akan mengajaknya ke pantai. Dia tiga tahun lebih muda dariku. Sebenarnya aku takut mengajaknya ke pantai, takut kalau trauma panjangnya akan datang lagi. Sejak tragedi tujuh tahun yang lalu kami tak pernah ke pantai. Dulu pantai adalah tempat paling menyenangkan. Tetapi setelah tragedi terakhir yang menimpa kami, tepian laut itu malu kepadaku, kepada Ti. Karena ia tak mampu berbuat sesuatu.

Sepantasnya ia memakai seragam putih abu-abu seperti anak sebayanya, tapi ia tak sanggup untuk itu. Ti senang aku ajak jalan-jalan. Riu memang gesit. Dalam hitungan menit kami sudah sampai di gerbang pantai. Kuparkir  Riu ditempat yang aman dari ultra violet.

“Ayo, kita main di sana.” kubimbing Ti sambil kutunjukkan tempat yang nyaman bagi kami dari terjangan ombak.

Aku berlari kecil. Ti berusaha mengikutiku. Tuhan, sampai kapan bidadari kecilku ini tak bisa tersenyum. Aku tersiksa melihatnya. Dari bibirku selalu kuberikan senyum terbaikku untuknya, dan sekali lagi ia mampu tersenyum lewat matanya. Hanya aku seorang yang memahami. Ti.

“Hah! Hahh...!” 

Tiba-tiba Ti berteriak sambil menunjuk-nunjuk jalan utama masuk pantai.

“Truk...truk..”

Masya Allah. Ia pasti sedang terganggu lagi. Pemandangan mengerikan itu datang dan menyerang alam bawah sadarnya. Meneror jiwanya yang masih perawan. Pikiran Ti terasuki orang-orang berjiwa iblis itu. Orang-orang biadab itu mengejar, melukai, menyerang, dan membunuh tanpa ampun. Hatinya mati dan tergantikan hati srigala. Clurit, parang, dan tombak selalu basah oleh darah orang-orang tak berdosa bahkan tak tahu mengapa mereka diserang.

Kepala tak lagi dianggap kepala. Batoknya terkelupas dan masih dikejar bila ia berusaha lari untuk menghindari senjata mereka yang benar-benar haus darah. Leher ditebas layaknya ia menebang pepohonan. Perut-perut terobek hingga memburai.  

“Ayah…Ibu….Imang!”

Ti meneriakkan keluargaku yang tewas dalam pembataian massal di Sampit beberapa tahun lalu.

“Tenanglah Ti, tenang! Lihat, kamu lihat mereka. Kamu lihat ayah?”

tanyaku untuk memancing, melihat apa saja yang ia rasakan.

“Ayah…Ibu….Imang!”

“Ti, tenanglah. Jangan takut, kakak di sini.”

“Tatap mata Kakak! Kamu lihat Ayah di depan sana?” kupancing pikirannya. Ia menggangguk dengan cepat penuh ketakutan.

“Sekarang lihat mata kakak. Ti, harus percaya bahwa kita bisa mengalahkan mereka.”

“Kak, ayah, ibu, Imang….” teriak Ti sekuat  tenaganya.

“Tenang Ti, tenang.” Aku berusaha menenangkan lagi.

“Ya Allah, Ya Tuhan hamba. Jagalah Ti.

Bibirku reflek memohon kekuatan kepada-Nya dengan dzikir.

“Ti, mereka sudah pergi. Tenanglah”

Ti tetap memberontak dari pegangan tanganku. Ia ingin berlari, tapi aku masih memegangnya kuat. Mungkin Ti melihat mereka turun sambil menggelandang beberapa orang dari truk. Pemandangan pembantaian di depan truk-truk itu dan sebagian yang lain menuju tempat kami berdiri. Ti perlu aku tenangkan.

“Ya, Allah. Ya Rabbku!”

Mereka sadis sekali, parang mereka tak pernah puas dengan darah. Ti, kembali histeris. Aku mendekapnya lebih erat.

Kucoba menghentikan teriakannya yang semakin menjadi.

“Ti, kamu harus yakin mereka akan lenyap selamanya dari hidup kita. Lihat, kita memberontak. Lihat ayah, ia tak berlari, bahkan ayah punya bedil. Lihat itu siapa yang membawa senjata lebih besar. Ia usir jahannam-jahannam itu. Lihat Ti, mereka lari ketakutan ke atas truk.” Aku berusaha memutarbalikkan imaji Ti.

“Ayah…ayah…Imang…Imang….ibuuuu!” Ti terkulai lemas di atas pasir yang basah.

“Ya, Rabb!”

Kenapa bayangan itu selalu muncul. Kenapa harus Ti, kenapa tidak aku saja. Berkali-kali aku mencoba mengenalkan Ti dengan dunia luar, pasti bayangan mengerikan itu menghalangi kami. Saat menonton TV, membaca koran, mendengarkan radio, semua yang berkaitan dengan kekerasan, apa yang dilihat, didengar Ti pasti akan menambah traumanya dan ia akan berteriak histeris ketakutan. Ya Allah, bagaimana aku  mampu  menjaganya setiap waktu.

Bayangan itu selalu menghantui, lebih-lebih kematian keluargaku. Tragedi pembunuhan ayah, ibu, dan Imang sering melintas dalam benakku. Bagaimanapun juga manusia yang membunuh manusia lain tidak dapat dibenarkan. Jangankan mereka membantai berpuluh-puluh manusia, membunuh satu orang saja tanpa alasan yang jelas dan dapat dibenarkan alasan itu sama saja membunuh manusia seluruhnya di muka bumi ini. Betapa kejamnya mereka sampai melakukan pembantaian.

Aku dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Ti. Ilusi mengerikan itu sepertinya tidak akan menghilang sebelum Ti terpuaskan dengan akhir pembantaian. Mayat-mayat bergelimpangan, leher-leher yang hampir putus, tak sedikit pula tubuh yang terkoyak tanpa kepala, luka-luka menganga persis tempat penyembelihan sapi. Persis kejadian yang kami rasakan sepuluh tahun lalu.

Mereka begitu garang, menyerang membabibuta. Tak segan-segan memukul, menendang, menghujamkan parangnya, clurit ia arahkan ke mana saja. Mereka tak peduli apakah itu dada, punggung, tangan, kaki, bahkan leher dan batok kepala, muka, tak bisa luput dari sasaran senjata apapun yang mereka bawa.  

***

“Ti,” kudekap ia dari belakang.

Tubuhnya tetap dingin, sedingin hatinya.

“Ti, sholat dulu yuk!” ajakku lembut.

Aku selalu menyertakan Ti setiap aku sholat meski sholatnya belum sempurna.

Sehabis sholat aku biasa mengaji dengan qur’an mungilku. Ti sering memandang barang kecil itu bergantian dengan melihat ke arah mataku.

“Iya kakak tahu, dulu ayah pernah mengajari kita membacanya."

“Al quran ini yang akan melindungi kita dari ketakutan, kesendirian, dan kegelapan. Kalau kita rajin membacanya maka Allah akan memberikan sesuatu yang kita inginkan tanpa kita memintanya. Allah maha tahu, Ti.”

Aku selalu berharap ia dapat memahami kata-kataku. Tak bosan-bosannya aku katakan kepadanya setiap hari untuk bisa memberikan sedikit kekuatan kepada batinnya.

Kudekatkan ia ke pelukanku dan ingin aku lupakan masa lalu. Semoga kami bisa berkumpul di telaga surga yang kejernihan airnya tiada tandingan. Dan di sini aku ingin hidup untuk Ti dan keistiqamahanku menggapai cinta-Nya. Tuhan menjanjikan bahwa dalam Al quran ada obat bagi orang-orang yang membaca dan memahaminya. Ternyata petuah ayah dulu benar adanya.

“Ti, lawan trauma panjangmu demi masa depan kita.”

Ada titik-titik embun yang jatuh membasahi pipinya setelah aku memeluknya.

"Ti, engkau menangis?" tanyaku heran.

Pasca kejadian itu Ti tak pernah menangis. Air matanya telah kering. Dan sekarang Ti menangis. Ya Rabb, inikah jawab-Mu. Terima kasih ya Allah, Allahu akbar. 

Mendung yang tadi menyelimuti lapisan langit terbawah kini menjelma menjadi gerimis yang turun susul menyusul. Aku yakin suatu saat nanti Ti akan kembali ceria seperti waktu kecil dulu. Ti temanku berlarian mengejar hujan, membentangkan tangan lebar-lebar menangkap tangis dari langit. Sesekali mandi di pancuran dalam lubang rumah sampai bibir kami biru kedinginan. Ti, kembalilah seperti matahari yang menyinari siangku dan rembulan yang menemani kegelapan malam dengan serbuan bintang-bintangnya yang kelap-kelip cantik sampai mampu menembus relung hatiku.

Kupenuhi jiwaku dengan banyak harapan kepada Ti. Kupandangi wajahnya yang masih polos di tidurnya. Semoga mimpi menjadi sahabatnya yang menghiasi tiap malamnya. Ya Rabb, izinkan Ti lahir kembali tanpa traumanya. Gerimis di luar jendela itu tak tampak lagi. Akupun luruh dalam kantuk yang memanjang.

 

dingin sisasisa hujan, tanah samawa 23.00 WITA

Lampiran

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler