Skip to Content

Dua Ratus Kalimat Cinta untuk Mey

Lantunan ayat-ayat cinta itu kembali hadir dalam kemarau hatiku yang kian gersang, dua ratus ayat cinta itu menggantikan sembilan puluh delapan harapan yang hanya menjadi kenangan yang kian menyesakkan. Kini seratus dua harapan baru telah menjemputku untuk menjadi wanita yang paling sempurna setelah jubah hitam sempat menyelimutiku saat aku merasa benar-benar rapuh.

Mungkin Aku Lupa

Aku mungkin lupa

dimana kusimpan aroma hujan

yang kauberi padaku waktu itu

Juga warna mata dan rona senyummu

 

KETIKA POLITISI BERPUISI

ketika politisi berpuisi

alih alih orasi

caci dan maki

Perempuan Jalang

PEREMPUAN JALANG, 1

 

Di perempatan kota, sepasang mata jalang menyala

senyum-senyum mungilnya hangus terbakar tanduk-tanduk kerisauan

Hidayatul KhomariaDua Ratus Kalimat Cinta ...Mega Dini SariMungkin Aku Lupa
ombiKETIKA POLITISI BERPUISIJoan UduPerempuan Jalang

Prosa

Hidupku Cukup Sehari Saja

SORE itu, karena merupakan bagian dari hari yang tak kuinginkan, kubenamkan saja hidupku pada detak jam di laptop. Kutatap jam itu, marah benar aku padanya; eih, engkau sengaja menyiksaku ya? Di luar sana, langit yang tadinya hitam sekarang menurunkan hujan. Deras. Kemarahanku mereda. Dan jam laptop lepas dari penjagaanku. Kulangkahkan kakiku ke jendela.

Sang Penggugah

Bertemu dengannya, pertama kali, ketika Aku mengunjungi kampusnya untuk sebuah urusan organisasi. Saat itu, Aku dan Maria masih berada di dua keranjang yang berbeda; Aku dengan dunia pergerakan, sementara Maria dengan dunianya, hedonisme.

Ketika itu, Aku mengenal Maria sebagai seorang perempuan dengan orientasi pendek; kuliah, pacaran, dan harapan mendapat pekerjaan setelah tamat.

Seorang Lelaki Dan Sangkar

Di kota ini ialah satu-satunya lelaki ilalang pembuat sangkar, yang masih bisa tersenyum manakala hari sudah beranjak petang dan tidak ada satu pun sangkar burung terjual.

Ini Kali AA Yang Pergi

Ini Kali AA Yang Pergi

 

 “APA masih ada yang lain di luar? Kalau tidak ada lagi, saya mau mohon izin….”desah AA pada pukul 20.20 WIB malam Jum’at, 25 Maret 2010 di ruang rawat Geurutee Kamar 14 Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh.

Igau-Igau Desember

Igau-igau sekali ini menceracau lagi pada Desember. Runut merunut pada ratusan ribu tahun yang terlampaui telah mengatupkan Desember di selingkar kelam kelabu sejarah kampung kami. Edar bulan dan gerak bintang kala masuk Desember telah memetakan pilu petaka yang mencelaka selingkup tanah kampung kami. Pendar-pendar segenap hari Desember bersuka ria mencibir-cibir kami, biar kami abadi dalam kenangan kecut terkurung takut.

Peri Biru

      Tak diragukan lagi ketika aku masih kecil, akulah yang kalian maksud sebagai… berbeda. Yah, itu aku El Sahbana. Bersama keluargaku, aku tumbuh dengan rasa kasih dan sayangnya. Ibuku tipe orang yang cintanya dapat membunuhmu jika kau tak berhati-hati. Kurasa dia menyalahkan dirinya ketika aku lahir tiga bulan premature.

Ziarah

“Bukan aku yang membunuh bapakmu. Tapi dia datang ke sini untuk mati!”

Suara itu masih ada di sini. Itu suaramu, emak. Jelas sekali aku mendengar itu keluar dari mulutmu. Kata-kata itu hinggap dalam ingatanku. Aku tak akan pernah mungkin melupakanya.

Sebelumnya, aku mendengar bapak berteriak keras sekali. Teriakan yang keluar memenuhi ruang hampa kamarku. Rumah yang sebelumnya sunyi, sekejap menjadi bising oleh keramaian orang-orang melayat. Mereka ingin melihat jenzah bapakku yang kau bunuh, emak. Aku sangka demikian. Hanya kau yang ada dalam ruangan itu. Sesaat setelah kalian bertengkar hebat. Tiba-tiba bapak berteriak dengan keras sekali. Bapak mati!

Dengan nafas beringas, kau keluar dari kamari itu. Wajahmu terlihat pucat basi. Seperti menyimpan ketakutan yang maha besar. Tapi kau tidak berbicara sedikitpun. Aku melihat raut wajah yang tidak mengenakkan. Aku terjebak di sana. Keringat yang sedikit-sedikit mengalir dari dalam rambutmu menenggalamkanku dalam satu cerita tentang pembunuhan yang kau susun rapi demikian.

 ***

Malam itu, bulan setengah mati. Aku dan bapak sedang asyik bercerita tentang nama-nama kampung di sini. Bapak suka menerka yang bukan-bukan. Ia ceritakan tentang sejarah nama-nama kampung. Tapi, semuanya tak ada yang benar. Kurasakan seperti itu. Aku dibikinnya tertawa lepas. Bapak orang yang sangat lucu. Ketika ia bercerita, wajahnya terlihat serius sekali. Sampai-sampai aku pernah yakin ketika dia bilang bisa berjalan di atas air. Tapi, setelah dia tertawa, akupun tak percaya kalau orang-orang bisa berjalan di atas air. Bapak juga demikian, dia tak percaya. Hanya saja, dia mau bercerita banyak agar aku tidak teringat pada emak yang selalu tak sempat menemani kami bercerita.

Sang Tak Beralamat

 

“Sempurnalah hidup mati orang-orang yang beralamat. Celakalah hidup mati orang-orang tanpa alamat!” Demikianlah bunyi prasasti batu kubur berhuruf Jawi Kuno. Prasasti batu kubur itu telah patah terbengkalai di sebuah komplek pekuburan kumuh tengah kampung.

Mati Hati

Alam kampung masih pagi sekali ketika terbetik kabar bahwa penguasa kampung telah mati hati. Terperangahlah kami orang-orang penghuni kampung. Tepatlah ramalan Si Nujum Tua tiga belas purnama lalu bahwa akan tiba masa mati hati bagi penguasa tanah kampung pusaka sisa akhir generasi anak negeri.

Satir Sukar Mati

 ”Janganlah engkau bernasib satir sebagaimana Satir yang selalu dirundung sukar dari sebermula hingga seberakhir hayatnya.

Sindikasi materi

Bookmark



Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler