untuk Ann.
Aku dan juga engkau
sama-sama menuliskan puisi
sebagai catatan sebagai renungan
di rentang jalan kehidupan kita yang panjang
kita menulisnya di hari-hari kencang berlari
meraba-raba ujungnya yang tak pasti
merenungkan kisahnya yang berjejak di masa silam
yang liku-likunya terasa tajam menyayat di hati
yang tanjakannya terasa terjal didaki
kisah-kisah yang tak lelah kita mencatatnya
dengan peluh dengan darah dan dengan air mata
kisah-kisah yang tak kunjung usai
Kadang aku bercermin merenungkan segalanya
melihat gores-goresnya di wajah
kata-kata itu, puisi-puisi yang kita tulis
gores-gores keriput di wajah yang makin kusut
digerus laju waktu, ditekuk-tekuk arus zaman
mengkikis tiang-tiang keyakinan kita
waktu, perubahan, dan peradaban
merubah segalanya
membuat kita tak berdaya
hanyut di arus derasnya
kehilangan jati diri
tak kenal lagi di mana negeri
tak kenal lagi bangsa
Akan ada masanya kita tak lagi mampu berlari
masa tua yang menjadikan kita rapuh
tubuh kurus yang semakin kurus
tinggal tulang-belulang rapuh berbalut kulit
dan kita menjadi pikun
bagai pesakitan
berada di dunia yang serba asing
kita merasa tersisih
merasa sunyi di tengah keramaian
berjalan tanpa arah tujuan
mencari nilai-nilai, mencari pegangan
mencari langit ketuhanan
yang semakin pudar
dan kita berjalan menuju ke akhir senja
malam yang berselimutkan rahasia waktu!
Ada masa kita tak lagi mampu berpuisi
hanya bisa mendengarkannya saja
ketika puisi-puisi itu dibacakan oleh para penyair
kita renungkan suara-suara dari balik dinding masa lalu
yang kisah-kisahnyanya membeku menjadi batu
dan bagai si buta
kita saling meraba, saling menebak
siapa diri kita masing-masing, siapa kita sesungguhnya
menduga-duga di mana letak kampung halaman kita
dan ketika senja itu telah tiba
masih adakah puisi-puisi kita di jalan itu
bagian dari diri kita yang tetap hidup dan berjalan
yang terus melangkah
yang terus mencari-cari tuannya
menemui takdirnya?
******
Batam, 2016.
Komentar
Tulis komentar baru