Tiga dasawarsa lebih,
Negri ini dinyanyikan kidung cinta yang penuh rintih,
rakyat tak gundah 'karna sembako begitu murah
bensin, solar seharga rokok sebatang yang terbakar
bila dibakar saat ini, zaman rerintihan
jalanan aman,
'karna tato-tato hijau ditembaki
diberangus oleh para petrus yang memang misterius hingga kini.
Nyaman,
aman,
perutpun kenyang
dan rakyat selalu tersenyum senang.
Namun semua itu,
hanyalah topeng kepalsuan
penutup wajah penguasa yang pongah,
arogan,
beringas,
penuh kebiadaban yang tak terbatas.
Topeng yang setelah tercopot
menjadikan rakyat terbenam dalam rerintihan
jauh lebih dalam,
namun jauh sebelum kidung rerintihan itu mulai dilantunkan,
topeng itu sudah coba dilepas, dicopot, dicongkel
dengan obrolan para sastrawan, hingga kelakar orang-orang di bengkel.
Dan para pewartapun bersiap
mengasah pena dan lensa kamera hingga mengkilap,
untuk memotret wajah aslinya, menggambarnya, dengan tulisan berita atau sekadar retorika.
Akan tetapi, mereka-mereka tak kuasa juga
melawan tangan pemerintah yang menutupi rapat topeng itu dengan kebiadaban.
Mereka-mereka diculik,
dibungkam,
diperam,
dikekang,
dan diberangus, dengan tajamnya pedang kekuasaan yang terhunus
lalu mereka dilarung ke laut atau dibenamkan ke bumi hingga terpendam dalam.
Mereka tak jadi lanjutkan obrolan,
mereka juga menahan diri mengasah pena dan lensa, 'karna rekan-rekan mereka 'tlah basah akan darah.
Mereka-mereka pasrah.
Dan akhirnya, topeng itu mampu bertahan, dari zaman PKI yang penuh pertanyaan hingga Mei Sembilan Delapan.
Lalu,
di bulan dan tahun itu,
wajah aslinya mulai terbuka dari topeng yang palsu
terbuka dengan serangkaian kejadian,
bakar-bakaran,
arak-arakan,
dan tembakan peluru yang dibalas dengan lemparan batu.
Dan kidung rerintihan mulai semakin dilantunkan...
"Enak jamanku to?!"
- 1189 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru