Aku ...
tak ingin berkawan akrab dengan kesedihan,
namun rupanya dia tak bosan untuk terus menghampiriku,
mengajakku untuk duduk di berandanya yang selalu saja terasa senja.
Seperti senja ini,
kesedihan membuaiku ke dalam sebuah kenyataan hidup.
Dia bercerita bahwa dia akan terus membawa teman-temannya,
lebih banyak lagi
untuk menjadi air mata yang siap mengalir kapan saja,
untuk menjadi isak yang akan terus mememuhi rongga dada,
dan untuk menjadi sebaris mata yang merah dan lelah oleh karyanya.
Dia juga berbisik di telingaku, bahwa hidupku akan lebih berarti kelak,
bila aku mampu menerimanya apa adanya ...
“Tentu, tentu aku akan menerimamu, apa adanya”
demikian jawaban yang kuberikan padanya,
dengan semangat yang menyala seperti rona orange matahari
yang membakar awan dengan tenangnya.
“Kamu akan menjadi bagian terkekal dalam hidupku,
walaupun ada saat,
aku akan mengabaikanmu pada akhirnya,
tapi tenanglah,
aku akan membutuhkanmu juga
pada akhir-akhir masa di mana tak ada yang lagi mampu mengatakan bahwa aku sangat bermakna”.
Bola mata kesedihan itu
semakin lama semakin menyala dan aku turut gembira karenanya.
Kini aku menemukan kegembiraan ketika aku tahu bahwa kesedihan mampu juga kuajak untuk bergembira.
Sampai kapan ...
Entahlah!
Bekasi, 13 Mei 2013
Komentar
Tulis komentar baru