#6
Setelah simbah kakung meminum air putih, dia menarik nafas dengan berat. Kami melangkah lagi. Gereja sudah dekat. Simbah putri tergopoh-gopoh mendapati kami berdua. Tempat nasi yang ada di atas kepalaku segera diambilnya, dia tidak menanyakan di mana kelapa muda yang kubawa. Setelah itu simbah putri berjalan sambal memegang pundak simbah kakung. Kami duduk di barisan paling belakang. Suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Itu artinya, kami berjalan sangat lama tadi, kami terlambat misa. Sesuatu yang juga baru terjadi kali ini.
Misa akhirnya selesai. Simbah kakung tahu apa yang kupikirkan. “Perjalanan tadi agak lama, tapi tidak akan selama kalau kau tempat bulikmu, Nduk. Kamu akan berada di dalam bus selama 24 jam penuh” kata simbah kakung seolah ingin mengalihkan perhatianku.
Ohh ya, aku akan menempuh perjalanan sejauh itu? Dan benar, tibalah hari yang dijanjikan. Aku akan ke rumah bulik. Meskipun senang namun aku agak berat meninggalkan simbah kakung yang sedang kurang sehat. Namun simbah kakung terus memberiku pengertian, agar aku ikut ke kota sekali-kali. “Siapa tahu di kota sana, kamu bisa menemukan Kitab Suci yang bergambar Nduk, sehingga tidak harus membaca punya simbah yang sudah hampir tak terbaca tulisannya itu” kata simbah kakung. Ya, aku akan mencarinya dan akan kubaca itu di depan kakek, begitulah aku berjanji.
Dan kini aku diajak ke kota oleh bulikku. Aku sangat menunggu bagaimana kami akan ke gereja di kota. Malam itu tidurku amat tidak nyenyak karena aku ingin hari segera pagi. Akhirnya tibalah matahari di bumi. Sinarnya agak berbeda dengan di kampong. Seperti berkabut-kabut begitu. Kami naik sebuah mobil bermoncong dan berwarna biru. Warna birunya seperti warna telur bebek kepunyaan pakdhe. Di dalam mobil ini musik diputar sangat keras, sampai telingaku terasa sangat sakit.
Wah, kalau begini keadaanya, bagaimana mungkin simbah kakung akan bisa bercerita? Untung dia tidak mau ikut saat bulikku mengajakku ke kota. Setelah itu kami naik sebuah mobil kecil berwarna merah. Penumpang di dalamnya sangat padat, sepadat bus yang kami naiki dari kampung ke sini. Aku saja harus dipangku bulik, kata bulik kalau tidak dipangku dan menunggu mobil yang lain, kami akan terlambat. Ahh bulikku berlebihan ternyata. Jarak kami naik mobil merah itu ternyata tidak jauh. Masih jauh jarak dari rumah di kampung menuju ke gereja. Kalau tahu begitu, tadi kuajak saja bulik jalan kaki. Ajakan itu kuurungkan karena ternyata kami sudah hampir sampai. Kami pun turun di sebuah jalan dengan gang yang tidak terlalu lebar. Tidak kutemukan apapun yang bertuliskan Gereja Kranji. Mungkinkah aku tersesat? (******bersambung)
***
Komentar
Tulis komentar baru