'Semua sudah siap?, tanyaku kepada Andi dan Firman. "Oke siip..!" jawab mereka. 'Ayo berangkat' ajakku. Dengan tas keril yang lumayan berat, ku langkahkan kakiku menyusuri jalan setapak di tengah hutan ini untuk menuju puncak. Pemberhentian kami di shelter tadi telah membuat tenagaku pulih untuk melanjutkan pendakian gunung Ciujung ini kembali.
Ditengah perjalanan hujanpun turun dengan derasnya, disertai dengan turunnya kabut yang menutupi keadaan sekeliling kami bertiga seakan memberi tanda bahwa gunung Ciujung ini enggan untuk dijamah dan didaki oleh kaki-kaki manusia. "Bagaimana Gun.. mau lanjut gak?", tegur Andi kepadaku. "lanjut aja lah.. tanggung!" potong Firman. 'Ok!, bener kata Firman.. siapin senter masing-masing aja.., sepertinya kabut akan terus menutupi perjalanan kita..', tegasku. Lalu kamipun mengambil senter yang ada di tas masing-masing. Dan dengan hanya bermodalkan sorot lampu senter, kami pun melanjutkan perjalanan kembali ditengah kegelapan kabut yang menyelimuti keadaan sekeliling kami.
"Gila kabutnya..!" celetuk Firman. "Kalau begini terus kabutnya, bisa-bisa tersesat nanti..!", balas Andi. 'Sssssttttt.., coba kalian lihat didepan kita'. kataku. Nampak dari kejauhan, dua sorot lampu senter dibalik keremangan kabut didepan kami. 'Sepertinya ada dua orang lain yang sedang menuruni gunung ini', gumanku. 'Huuyy....', teriakku, (sebuah teguran atau sapaan yang biasa dilakukan oleh para pendaki gunung bila akan saling berpapasan).
Dengan jarak pandang yang hanya berjarak kurang lebih 1/2 meter, tampak sorot lampu senter tersebut semakin mendekat. Tetapi tidak terdengar sedikitpun sahutan dari mereka. Kekawatiranpun sempat melanda hati kami bertiga, terlintas pikiran buruk terhadap kedua sorot lampu senter itu. 'Mungkinkah mereka adalah kawanan perampok atau cuma para pendaki yang sedang turun gunung?' tanyaku dalam hati.
Akhirnya kekawatiran kamipun terjawab, dengan terdengarnya sahutan dari mereka. "Huuyy...", Walaupun terdengar samar, karena bercampur dengan suara derasnya air hujan yang turun sejak keberangkatan kami tadi, tapi setidaknya sahutan mereka dapat sedikit menenangkan hati kami bertiga. Setelah beberapa saat, sorot lampu senter mereka perlahan tampak meredup dibalik kabut. Padahal jarak kami dengan mereka semakin mendekat.
Tiba-tiba sorot senter mereka menghilang sama sekali, yang membuat kami semua terkejut dan terheran-heran. Karena dimana saat kami kira akan berpapasan dengan mereka, tetapi disaat bersamaan pula kami tidak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Kami bertigapun saling berpandangan menyaksikan peristiwa ini. Firman yang selama ini kukenal sebagai seorang yang pemberanipun, terlihat pucat pasi dibuatnya. Sedangkan Andi hanya terdiam membisu dan nampak jelas raut muka ketakutan di wajahnya. Walaupun hatiku ciut juga dengan kejadian ini, tetapi aku tidak inigin menampakkan rasa ketakutanku dihadapan mereka. Hal ini aku lakukan, semata-mata untuk tidak menimbulkan kepanikan diantara Andi dan Firman. Lalu kuarahkan lampu senterku ke arah sekeliling untuk mencari tahu.
'Hey.. lihat! apa ini..?' tanyaku. Tampak seikat bunga tergeletak di tengah jalan yang basah dan becek ini, tepat ditempat kedua sorot lampu senter tadi menghilang. Dan juga sepertinya bunga tersebut telah sengaja diikat sedemikian rupa untuk mudah dibawa. "Seperti bunga Edelweis.." kata Firman sambil menyorotkan lampu senternya kearah bunga tersebut. "Lihat juga jejak sepatu ini.." kataku menunjuk kearah tanah basah, yang nampak jelas sebuah jejak sepatu seperti yang umum dipakai oleh para pendaki gunung. Andi yang sedari tadi hanya terdiampun turut berkata "tapi warnanya koq kehitaman yah..?", tanya Andi keheranan.
Bersambung..
Komentar
Tulis komentar baru