Dalam kepekatan kuburku yang pengap
dan sia-sia
Aku mengadu kepadamu, lelakiku
Aku semakin terpencil dan kalah
di saat cinta dan dendamku merah tua bagai saga
Kau tahu,
kekayaanku adalah gairah hidupku, bara api
kemiskinan dengan kesaksian bahwa mati
bukanlah suatu keisengan mempermainkan hidup
Tapi semata mempertaruhkan hak. Sedang kebenaran
dan kedoliman itu tak dapat diukur dengan jarak
antara Kertosono dan Mojokerto
Atau jarak Surabaya - Sidoarjo
Melainkan dapat terukur dengan jarak dekat
Sebab dan akibat
Sudah berulang kali aku menjerit
Agar keningku dijamah tangan-tangan keadilan
Tapi matahari tetap tak menawarkan teduh
Bagi luka rohaniku yang semakin menganga
Di mulut srigala yang menyimpan seribu rahasia
Aku mengadu kepadamu lelakiku
Karena cintaku tak sebatas fisik
buruh pabrik dengan setetes upah minimum
Tapi cintaku padamu adalah kesemestaan
Rohani yang tumbuh
jadi lumut kesumat: sampai langit runtuh
mengguncang bumi
aku masih cahaya dalam kegelapan waktu!
Tolong tulis pada buku harianmu, cintaku
Bahwa aku mengembara. Aku masih mengembara
dari pohon ke pohon keadilan
yang masih tetap batu. Masih tetap buta
1998
Komentar
Saluut
Salut Bung Dindin, selamat datang
Salam,
Puisi Yang Menarik
Walaupun saya kurang begitu mahir membuat puisi. Saya suka membaca Puisi yang dibuat Mas Dindin
TERHARU
selalu terharu membaca puisi tentang tragedi kemanusiaan
Tulis komentar baru