SINANDONG MENGGUGAT
lantunan sinandong ela-ela
melesas dari atas langit menikam perut bumi
tertancap menopang kursi budaya kita disini
wasiat itu bertebaran di ujung tanjung menelusuri arus samudera…
keegoisan kita jadi gemuruh ombak yang menggulung
sloka kepingtan tak bertepi
disebelah mana dari bumi ini
kau semayamkan sinandong kami
selain bumi semesta ini
tak ada kolong langit yang lain lagi
nasibmu sinandong…
orang – orang yang duduk dikursi itu
tidak sanggup memberimu kepastian
sebab mereka sendiri tidak pernah bersikap pasti
atas diri mereka sendiri
angin menyaput laut
didalam dadaku
hujan badai menyaput
menyempurnakan cemasku
aku berpegangan tangan sampai kecakrawala
kusatukan langkah hingga keufuk samudera
senandung ela…ela…
syairmu berjuta – juta
menyesali kota dan desa
matamu kosong mulutmu menganga
gedungku tertatih
bangsiku bersedih
rintihan gong sitawak – tawak menangis
sinandung terkapar dibalik gedung wallet dan pertokoan
jadi pajangan diempar-emparan
huh…pesona mambang laut tidak lagi berasap dupa
wasiat lautku koyak tak bermantra
hoi…panglima hitam ditali arus
hoi…pokok turunanku si siti unai
bangunlah… bangunlah dari tidur panjangmu
tolong koyakkan telinga mereka dan alam bawah sadarnya
kalau yang sunyi mereka anggap tiada
maka bersiaplah terbangun mendadak
dari tidurnya oleh ledakannya
dan kalau yang kerdil mereka sepelekan
bersiaplah menerima kekerdilannya
digenggaman kebesarannya
kalau kau menabuh
tabuhlah kepalaku
jangan tabuh sinandong
dengan hati kekuasaanmu
kalau mau memukul
pukullah badanku
jangan pukul gong sitawak-tawakku
dengan palu kecuranganmu
kalau hendak menghentakan suara hati
hentakkanlah suara gong kami
jangan hentakkan hati para pekerja seni
yang sampai sekian lama tak pernah disahuti
dan kalau engkau mengira
bahwa benarnya orang banyak di atas segalanya
dimana langit mimpi - mimpi bias engkau raih dengan itu
maka jangan sekali – kali menghalangiku
untuk mengendarai langit
dan kupetik kebenaran sejati
untuk aku taburkan kebumi
tanpa bias engkau halangi
masyarakat tak mengerti penyair
karena negara tak memberikan alamat baginya
ketika penyair tak kuat menyangga jaman
bagaimana berjualan kebimbangan
protes sekeras – kerasnya agar diberi kekuasaan
namun pasti ada satu dua
yang berani kesepian
hoi…………..
ela…..ela…..ela……
hoi… sitombak marsanji yang menunggang naduit
hoi… putri kumala yang bertapa dilubuk emas
sekarang kuangkat kau…
sebagai pengacara mewakili sinandong
untuk menggugat kota
karena seribu kamera
seribu lembaga swadaya masyarakat
keliru mengarahkan telunjuknya
seribu partai politi
seribu macam kumpulan
seribu warga permasyarakatan
luput mengamat kebudayaan
Jum’at Kliwon, 9 Maret 2007
Jam 13.30 wib Di Ujung Gading Kota Kita
Aku Menarikan Pena Memasuki Ruh Puisi
Syamsul Rizal
Komentar
Tulis komentar baru