Skip to Content

Desember dan kemarau basah

Foto Amelyah muza

 

…. Yang aku tau dari bulan desember adalah sebuah akhir untuk menjemput yang baru, disana Januari menunggu

….. yang aku tau tentang bulan Desember adalah bahwa aku sering kehujanan, dan kemudian aku lewat di samping rumahmu dengan sesekali berharap kau muncul dibalik jendela dan menawariku payung

….. yang aku tau dari bulan ini adalah, ketika rasa rindu menjadi bulir embun yang tak berwarna namun bermakna

….. yang aku tau tentang bulan ini adalah, ketika semua rasa yang ku sebut cinta berkumpul dalam satu warna namun berada di jalan yang bercabang

….. yang kemudian aku pahami secara pelan- pelan dari Desember adalah, aku tak pernah tau namun hatiku berkata yakin, tentang sebuah perasaan yang tak pernah kupendam lalu meluap tak tentu arah tapi memiliki tujuan

….. yang aku rasakan dari Desember adalah, ketika hati berusaha hati- hati untuk melangkah, namun ternyata aku malah terperosok bukan pada jurang yang dalam, melainkan pada lubang kecil di sudut hati yang tak bertuan, entah milik siapa

….. yang pada suatu titik aku tak bisa menarik garis dari semua titik rasa yang aku derita, sepatutnya kumpulan titik itu menjadi garis, namun ternyata tidak. Ini apa? Hatiku bertanya, jawabnya adalah lengkung dengan bentuk cembung dan cekung

….. yang perlahan kuyakini adalah, Desember adalah sebungkus bulan dalam daun pisang yang ditali rumput, dimana sehabis hujan ia akan muncul perlahan, malu- malu menampakkan wajahnya, sesekali tertunduk malu namun ia mau, dimana .. di ujung sana ada awan diam yang menunggunya bergandeng tangan

….. yang semakin aku rasakan adalah, adanya ikatan batin yang tak bernama namun indah rasanya, yang aku nikmati bersama secangkir teh hangat dan biscuit kelapa, sambil menatap hujan yang jatuh pelan membentuk uap di kaca, dimana.. disana dengan lugunya ku bentuk huruf dari namamu

Ini adalah hujan diakhir rasa yang pernah mati namun belum sempat di kebumikan, dimana dengan begitu plin plannya aku pungut kembali ia yang jauh dari rengkuh tanganku setelah gejolak rasa dari berbagai macam warna bertebaran di dada dan kepala,

Desember ini aku kembali pulang ke “kampung halamanku” karena aku tak ada arah dan tujuan, tak punya persinggahan yang teduh rindang, tak ada kaki pijakan menuju ke yang lain, tak ada selaksa rasa semanis secangkir gula atau pahit segelas jamu kecuali di ‘tempat” ini, dimana kemaraupun aku masih tetap tak kering malah ingin bertahan diam dalam basah.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler