Malam ini kucoba lagi mendaki pagar rumahnya. Kuharap tangga itu masih tergelatak disana, di samping pagar rumahnya. Kalau tidak, aku harus menemukan cara lain, untuk bisa bertemu dengannya. Tak lupa kupetikkan mawar putih kesukaannya, walaupun esok hari aku harus mendengar omelan ibu akibat mawar putihnya hilang satu. Sesampainya disana, bayangan dua hari yang lalu, tetang kejadian yang menimpa kami, teringat kembali.
“Alan? Ngapain disitu?”, gadis berambut sebahu di kamar itu nampak terkejut. Namun, kemudian ia beranjak dari tempat tidurnya, mendekati jendela kamarnya.
“Ayo masuk, mana jaketnya?”
“Ayah udah tidur kan?”
“Udah, tadi lewat mana?”
“Aku masih memakai jurus seperti biasanya”.
“Naik pohon, terus lompat ke pagar, turun pakai tangga? Besuk tangga di samping pagar mau aku buang, biar kamu nggak bisa kesini tiap malam”, ledeknya. Aku hanya tersenyum. Beginilah setiap malam yang terjadi di rumah kekasihku. Hanya dengan cara seperti ini kami bisa bertemu. Siang hari, kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Selama berpacaran, pertemuan kami seperti malam ini, selalu nyaris ketahuan oleh ayahnya. Namun, lagi-lagi aku berhasil masuk dan keluar dari kamarnya dengan selamat. Entah apa yang terjadi jika aku kepergok oleh ayahnya sedang bertamu di kamar putri semata wayangnya malam-malam hari.
“Kan sudah aku bilang, kalau kesini bawa jaket, lupa ya? Kalau kamu sakit lagi gimana? Nih, dipakai”, ia menyodorkan sweater yang telah diambilnya dari almari. Aku hanya tersenyum, sambil memakainya.
“Aku buatkan teh anget, sebentar ya, kamu disini aja!"
"Makasih ya bunganya, aku suka", lanjutnya, sambil meninggalkan kamar dan tak lupa menutup pintu kamarnya kembali. Aku hanya mengangguk.
Kulihat setumpuk kertas belum dibereskan dan masih berserakan di atas meja kerjanya. Pasti dia capek mengerjakan itu semua, pikirku. Beberapa foto keluarga dan teman-temannya terpampang di kaca tempat ia berias diri. Namun disana tak kutemukan fotoku, ya maklum, ayahnya tak menyetujui hubungan kami. Kurasa baginya, pasti sangat untuk menjalani hubungan kami sampai saat ini.
Kurebahkan diriku di tempat tidurnya, sambil menerawang ke langit-langit. Tak sengaja kedua mataku tertuju ke arah jendela kamarnya. Aku tercengang. Seseorang telah berdiri disana sambil membawa sapu. Kedua matanya melotot ke arahku hampir keluar.
“A aa aayaah”, aku nyaris tak bisa mengucapkannya. Dari samping Widya masuk, sambil memegang nampan berisi dua cangkir teh hangat di atasnya.
“Prang”. Teh hangat yang dibawanya jatuh. Kulihat ia berlari menuju jendela, dan menghadang ayahnya yang mencoba masuk.
“Ayah, ayah, maafkan Widya, ini cuma salah paham, maaf ayaaaah”.
“Iya Om, maafkan saya, saya tidak bermaksut apa-apa, saya hanya ingin bertemu dengan...”, belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, sapu yang dibawanya sudah melayang ke tubuhku secara bertubi-tubi. Widya mencoba menjauhkan ayahnya. Namun, segela kekuatan yang dimilikinya tak sepadan dengan ayahnya. Wajah bengkak, badan remuk, serasa patah semua tulangku. Aku masih tetap bisa berdiri sambil dipapah oleh Widya, walaupun kepalaku rasanya pusing sekali. Sebelum kutinggalkan rumahnya, sempat kulihat wajah Widya yang manis itu ikut terkena tamparan oleh ayahnya. Ah, malam itu memang kami kurang beruntung. Tetapi, aku tak boleh mundur, dan malam ini aku akan mengunjunginya kembali.
“Sayaaang,” bisikku dari samping jendelanya.
“Alan? Kok kamu bisa masuk dari mana?”, dia terkejut melihatku. Namun, tak segera membukakan jendela kamarnya untukku seperti biasanya. Aku hanya tersenyum melihatnya.
“Ayah kan sudah meninggikan pagarnya, dan disana nggak ada tangga”, lanjutnya, butiran halus di pelupuk matanya mulai meleleh mengenai kedua pipinya.
“Sekarang kan aku bisa terbang sayang, jadi nggak perlu tangga, aku juga bisa menembus jendela kamarmu tanpa kau buka, jika memang kau mau melihat jurus baruku”, kudengar tangisnya mulai pecah.
Komentar
Tulis komentar baru