KENANGAN
Petang belum luruh benar, hanya melunturi sebagian lengkung langit, angin menari berlahan-lahan dari ujung dahan ke ujung dahan yang lain,begitu mempesona hingga daun-daun ikut terbawa liukannya. Aku mengenangnya, cukup mempesonakanku kala itu, entah karena dia,atau karena petang ketika itu, atau perpaduan diantara keduanya. Aku kembali tercengang sebagai panitia di sebuah workshop teater, di bawah pokok pohon Trembesi dengan kodakku di tangan, sungguh aku belum pernah bertemu apalagi melihat perempuan secantik dia, selama ini dek Tie anak pak keuciek kampungku yang ku anggap cantik, ternyata masih kalah dengan perempuan yang kulihat sekarang. Tatapan matanya yang tajam, bibirnya yang ranum, ditambah lagi tahi lalat di ujung kanan bawah bibirnya sungguh membuat semua mata yang memandang akan terlena dalam buaian kecantikannya. Aku memotretnya, mengambil beberapa foto untuk kukenang petang yang indah.
Disaat itu dia adalah salah satu dari sekian banyak peserta workshop teater, dan sedang berlatih untuk sebuah pementasan, aku mendekatinya, kata awal yang ku ucapkan adalah, ”aku mengagumimu,bolehkah kutulis sebuah puisi tentangmu?”. Ternyata kedatangan dan pembicaraanku dengan tiba-tiba membuat dia kaget, lantas di tanggapinya dengan tersipu malu, mungkin karena title yang kusandang sebagai panitia. Aku menjulurkan tangan” Ghufran” dan dia menyambutnya,”Icut”. Perkenalan yang mengesankan,desauku dalam hati.
Petang belum juga belum luruh benar, burung-burung kembali kesarang, untuk sujud syukur padaNya, setelah seharian mengais rezeki dan terbang menukik dari atas awan ke awan-gemawan yang lain, aku mengenangnya,cukup memikat, ketika itu aku kembali bertanya pada Icut, kali ini sedemikian rupa kuatur tutur kataku.”Icut” sapaku,dia tersenyum,”aku mengagumimu, raut wajahmu, matamu, bibir ranummu, bahkan tawa kecilmu semalam, ketika kau menonton pementasan teater, kalau kau mengizinkanku, akan ku tulis puisi tentang dirimu Icut, bolehkah?”. Icut tak menjawab, hanya senyum kecil yang nampak di raut wajahnya, seakan bibirnya yang ku puja enggan mengeluarkan kata-kata.
“O….. ia,, di dalam Kodakku tersimpan banyak foto-fotomu yang sedang berlatih untuk pementasan teater,maukah kau memperolehnya?”. Aku mengalihkan pembicaraan,mengupas sejenak keheningan diantara kami berdua, ”boleh, tapi ada satu hal yang ku minta darimu.” ”apa itu Icut?”.
Aku penasaran dengan permintaannya, “ Aku tak mau kau jadikanku puisimu, aku tak mau jadi icon pemasaran karyamu di media masa” ”Ah….. kalau itu yang kau minta, aku tak akan menulis tentang dirimu, biarlah aku endapkan saja niat ku untuk menulis tentangmu,setidaknya aku bersyukur sudah bisa kenalan denganmu”
Petang juga belum luruh benar,disana-sini terdengar locehan peserta workshop teater berbagi cerita, tempat tinggal, asal sekolah,bahkan mungkin berbagi kasih antara hati ke hati. Aku mengenangnya, karena sebentar lagi mereka semua akan meninggalkan tempat ini, itu semua sangat jelas nampak dimataku yang mulai suka kepada Icut, dia membalas tatapanku, sejenak terlintas di benakku, “sungguh betapapun seandainya Icut diciptakan untuk ku, pasti akan ku bahagiakan dirinya”, segera kutepiskan pikiranku, kini dengan langkah gontai aku mendekati dirinya, “sampai ketemu lagi Icut”, “ia.. bang Ghufran…..” dia menjawab ditambah senyum manisnya, tak berapa lama aku sudah mendapatkan nomor telepon selulernya, setelah berbincang sejenak.
Berangsur-angsur peserta workshop teater pulang, hanya satu dua tiga orang lagi yang mondar-mandir berharap cemas mungkin kali tak di jemput, kini tinggallah bangunan gedung yang berdiri kokoh, disampingnya ada anak perempuan, “Icut belum pulang, memang siapa yang menjemput?” “ eh…. bang Ghufran…. Ia bang ni lama sekali di jemputnya…” “ memang siapa yang menjemput?” “kawan bang….”.
Petang belum luruh benar, bunga-bunga bermekaran, daun-daun tetap tumbuh, layaknya aku dan Icut, aku mengenangnya, betapapun indah, dia menerima aku tuk jadi sandaran hidupnya. Jauh-jauh hari baru ku tahu ia menerima aku lantaran dikhianati oleh orang yang pernah juga singgah dalam hidupnya, tapi semua itu tidak benar, hanya kabar burung yang didengar dari sahabatnya, jauh-jauh hari pun aku mengetahui kalau dia masih memikirkan orang tersebut, tapi apa dayanya, nasi sudah jadi bubur, berbagai ikatan batin sudah dikemas dalam lampuan cinta untuk diriku, sebelum dia mengetahui kronologis sebenarnya tentang pengkhianatan orang tersebut.
Petang belum luruh benar, gedung-gedung berdiri dengan sempoyongan, sungguh sangat berubah negeriku ini, jus avokad dalam café tersebut, aku mengenangnya,terkejut mendengar kejelasan alur cerita setelah aku bertanya, “ siapakah yang menjemputmu dua bulan yang silam yang kau sebut kawan?”. Icut diam, seakan memikirkan sesuatu, lantas dia menjawab, “ Itulah orang yang kukira mengkhianati aku bang Ghufran”, “apa?” aku seakan tak percaya dengan jawabannya, “Icut, kalaulah kau bahagia denganku kita akan melanjutkan hubungan kita, tapi kalau kau lebih bahagia dengannya, aku akan siap kapanpun kau tinggalkan”, “tidak, mengapa kau berbicara seperti itu bang Ghufran?”
“aku tak mau melihatmu sedih Icut, belakangan ini kau kelihatan seperti kapten kehilangan awak kapalnya, tak jelas tentukan arah tujuan”, “tidak” . Lantas dia sekarang memberi tahu ku bahwa ada pertanggung jawaban antara Icut dan orang tersebut, dan ini adalah aib yang tak boleh tau satu orangpun , termasuk aku kekasihnya, Sebenarnya kekasih macam apa aku ini di mata Icut .
“Lantas mengapa juga kau bohong Icut? Kau katakan ia adalah kawanmu”, “aku takut bang Ghufran, aku takut kehilanganmu, kau sudah terlalu banyak korbankan dirimu kepadaku, sekarang abang tahu kan mengapa aku berbohong?”, “tidak aku tak mengerti, kau terus saja buat aku bingung”
Petang tidak jua luruh benar, diatas bendungan itu, aku terpesona,menyaksikan layang-layang yang terbang diterpa angin, aku mengenangnya,terbesit dibenakku di tengah lamunan akan bayangannya, “akankah pengorbanan, kesabaran, hati tulus padanya akan juga dibawa angin, diterpa tenggelam, dihempas badai tsunami, mengapa juga dia berbohong padaku, padahal jelas, masih tersimpan seberkah cahaya penghidupan dimata Icut untuk orang tersebut, sebenarnya apa yang harus Icut pertanggung jawabkan padanya?”. Ah…. Segera kutepiskan bayangan kotorku padanya, tiba-tiba saja telepon selulerku berdering, tanda sms masuk, “lagi dimana bang Ghufran?”, ternyata dari Icut yang menanyakan dimana kakiku sedang berpijak, dengan lihainya jariku terus menari di atas tombol telepon selulerku melahirkan beberapa kata menjadi kalimat, “ di bendungan sedang aku mengenangmu”.
Singkat, moga saja dia mengerti akan maksudku, tak berapa selang waktu sms balasan pun ku terima, “ adakah kau percaya bang Ghufran…. Kalau aku mempunyai rasa yang sama kepadamu”. Aku segera membalasnya, sedang jemariku memencet tombol demi tombol, telepon selulerku mati. “Sial…. Kehabisan baterai”, gumam ku kesal.
Petang belum sekalipun luruh benar dan juga betapapun hanya melunturi sebagian lengkung langit. Asrama haji masih saja tegak berdiri, aku mengenangnya, kuintip dari balik jendela kamar, seulawah juga masih menjulang tinggi ke angkasa dibawah kakinya kampung halamanku, tak terasa tujuh tahun aku bersabar, tadi pagi tujuh januari ijab Kabul telah aku selesaikan,Icut dan aku telah mencapai cita-citanya, berbagai ucapan selamat di ucapkan para tetamu kala pagi itu. “Bang Ghufran…… betapa sangat hatiku memperoleh kesenangan hari ini, tujuh tahun silam kita dipertemukan, dan tujuh tahun silam aku linglung tentukan arah tujuan, tapi kau selalu sabar, menuntunku, menungguiku, bahkan rela habiskan waktu Cuma hanya menjemputku pulang sekolah”. Begitulah sekiranya Icut berbisik ke telingaku di tengah kerumunan para undangan, aku tersenyum.
Petang belum luruh benar, lagi-lagi hanya melunturi sebagian lengkung langit, angin menari seakan membawa berita baik dari dalam surga, aku mengenangnya. “Bang Ghufran….. tolong icut bang….aakbang..” tiba-tiba saja Icut menjerit dengan sangat keras dari dalam kamar, aku berlari menemuinya, “kenapa Icut? Kamu kenapa…..” aku tersedu-sedu nafasku belum juga teratur, “perutku bang….rasanya sakit sekali… sepertinya… se…pe..rttttr… sepertinya aku akan melahirkan bang” Icut memaksakan dirinya untuk berbicara padaku, lantas aku segera menelepon dokter, petang itu, benar-benar membawa kebahagiaan dari dalam surga, anak pertamaku lahir perempuan,matanya yang mungil persis seperti mataku, hidung dan bibirnya sangat menyerupai ibunya.
Petang belum kian luruh benar, senyum kebahagiaan terpancar di setiap aura wajah yang memandangnya, kuperhatikan Icut tak sekejap matanya lalai dengan hal lain, seperti kata nenekku dulu “bak saboeh nyawoeng geumeupet-pet, bak saboeh pijet geumeujaga”, dia terus menatap bayinya, “bang, siapakah akan kita namai anak kita?”, tak kusangka Icut sudah berpikir akan nama untuk sibuah hati, sedangkan aku masih tenggelam dalam telaga kebahagiaan, sejenak aku berpikir, “nah… gimana kalau namanya Kenangan?” “Icut terserah abang aja “ ia kalau begitu namanya Kenangan”, spontanitas aku mengiakan nama yang kuberikan.
“Kenangan… ayo kita sekolah!”, kataku mengajak Kenangan pergi sekolah, Kenangan kini sudah tumbuh menjadi anak periang, dan murah senyum, bahkan umurnya 5 tahun yang terbilang masih anak-anak sangat pandai bergaul dengan kawan seumuran di taman kanak-kanak.
Petang belum luruh benar, hanya melunturi sebagian lengkung langit, lanang wajah Kenangan yang indah mengingatkan aku pada ibunya, yang dari dulu bertekad menjadi ibu rumah tangga, lagi-lagi aku mengenangnya, sejenak aku mengadahkan muka ke langit “Ya Allah sangatlah beriba aku memohon padaMu agar tetap satu jua sampai akhir hayat
Tiba-tiba lamunan ku dikagetkan dengan suara Kenangan “ayah yuk kita makan yah… hari ini ibu masakannya enak loh…” Kenangan mengajakku seraya memegang tangan ku untuk dituntunnya kedapur.
Petang kala aku menjemput Kenangan di sekolah belum luruh benar, hanya melunturi sebagian lengkung langit, aku mengenangnya,kali ini sangat kukenang, sesampai aku disana Kenangan sudah menungguiku, tanpa banyak basa-basi dia naik ke mobil, “Kenangan kamu kenapa? Kok cemberut sih…”, “ salah ayah tu… kenapa jemputnya telat, Kenanagan kan kangen sama ibu, katanya hari ini masak masakan special buat Kenangan”. Kenangan menjawab dengan nada manja, ingin cepat-cepat bertemu dengan ibunya.
Sesampainya dirumah dia berlari seraya memanggil ibunya. Kenangan, tercengang ketika membuka pintu rumah, sangat terkejut, sedikitpun aku tak percaya dengan kejadian tersebut, Icut perempuan yang selama ini kucinta, bahkan telah lama aku arungi bahtera rumah tangga dengannya, sedang berduaan dengan orang yang katanya telah mengkhianatinya.
“Ayah…… orang di samping ibu itu siapa yah….”, heran Kenangan menanyaiku,bahkan dia sudah lupa akan janji ibunya yang memasak masakan special untuk Kenangan, suaranya yang mungil memecahkan keheningan, hampa, seakan tadi pagi aku menghirup angin neraka.
Petang belum luruh benar, hanya melunturi lengkung langit, angin tetap menari perlahan-lahan dari ujung dahan ke ujung dahan yang lain. Sungguh tetap seperti itu, tetap seperti sedia kalanya, aku takkan lagi mengenangnya, ini kali tak ada petang langit sudah kelam ditutupi awan malam. “ Kini umur ayah sudah lima puluh tahun Kenangan…dan kau sebentar lagi juga akan masuk perguruan tinggi, kau patut mengetahui segalanya, mengapa ibumu dulu meninggalkan ayah, dia lebih bahagia dengan orang yang dikira mengkhianatinya”, “tapi ayah?. Azan menggema “hayya ‘alal falaaaaaaah” malam menjulam.
Muhammad Rifiyal
Mahasiswa PBSI FKIP Unsyiah angkatan 2012
Komentar
Tulis komentar baru