KILAS NOSTALGI DI KAMPUNG SAMPIREUN
Cerita Pendek : Wahyu Barata P.
Bosan dengan tawaran berlibur di pusat keramaian kota, di pantai, di hotel mewah, atau berlibur ke luar negri yang harganya menguras tabungan. Bosan dengan paket liburan yang begitu-begitu juga,setelah mencari-cari informasi di website, ada tawaran tempat yang menarik untuk berlibur. Ini dia Kampung *Sampireun. Aku dan gadis pujaan hatiku sepakat untuk pergi ke sana. Sudah lama kami tidak kencan berdua.
Peta lokasinya bisa dilihat di www.kampungsampireun.com. Kurang lebih satu setengah sampai dua jam perjalanan dengan mobil ke arah tenggara agak timur dari Bandung. Lama perjalanan tak terasa karena kami menikmati pemandangan hijau-segar di sepanjang jalan tol dan jalan-jalan berbukit. Kampung Sampireun terletak di sebuah lembah di antara deretan bukit di Kampung Ciparay, Desa Sukakarya, Kecamatan Samarang, dekat kota kelahiranku, Garut, Jawa Barat.
Memasuki Kampung Sampireun, seketika hawa dan atmosfer perkampungan bernuansa Sunda sangat menyejukkan. Berada pada ketinggian kira-kira 1.000 meter di atas permukaan laut, luas areanya sekitar lima hektar termasuk luas **Situ Sampireun satu setengah hektar yang menyejukkan pandangan mata. Dengan suara aliran sungai, berbagai macam pohon tropis dan dedaunan mengisi setiap ruang di tepi danau serta daerah sekitarnya. Yang paling dominan adalah deretan rumpun bambu yang lebat di sekeliling kampung, tidak mengurung, tetapi seakan menjaga tempat ini tetap tenang dan bebas dari segala gangguan apapun.Dengan suara gemerisiknya, pohon Pinus yang rindang, dengan suhu sejuk antara dua belas sampai delapan belas derajat Celcius, ditambah penataan yang asri, membuat kampung ini menjadi tempat favorit bagi mereka yang berbulan madu, berkencan weekend dan berakhir pekan dan berakhir pekan bagi yang membutuhkan istirahat dari rutinitas sehari-hari di kota besar.
Hunian-huniannya yang disebut ***Cabana dan ****Lanai didisain layaknya rumah panggung tatar Sunda Parahyangan, terbuat dari bambu dan kayu diselaraskan dengan alam sekitar. Berdiri di atas kebun yang dikelilingi pepohonan bambu menjorok ke danau. Atap-atap rumah memakai daun-daun kering. Gaya bangunan rumah menciptakan perasaan longgar dan privasi yang terjaga. Dilengkapi perahu untuk setiap bungalow. Tamu yang datang dapat menikmati nuansa Situ Sampireun ditemani ribuan ikan mas beraneka warna ketika berperahu.
Setibanya di pelataran, minuman bajigur segar menyambut kedatangan kami. Setelah membereskan urusan administrasi, kami dipersilakan naik perahu didampingi seorang staff untuk di antar ke pondokan kami, sebuah bangunan yang berdiri di pinggir danau dan menjorok di atas air. Mengulang pertemuan kencan kami.
Kencan terasa romantis tatkala suasana hening, damai, tanpa gangguan, hanya disertai bunyi gemerisik daun dan goyangan rumpun bambu, gemericik aliran air dan ikan berenang, suara unggas burung dan ayam. Kami segera menyatukan diri dengan suasana di sekitar. Menakjubkan.
Cahaya sang surya menembus celah-celah jendela, sehingga kamar pondokan menjadi terang. Jemari gadis itu menari-nari di atas tuts-tuts keyboard. Rangkaian demi rangkaian nada mengalun menjadi lagu. St. Elmos Fire karya David Foster. Ia sangat menikmatinya. Aku tak pernah tahu mengapa ia sangat suka memainkan lagu itu. Ia tetap menikmati apa yang dilakukannya saat kulangkahkan kaki ke dalam pondokan. Ia tersenyum manis sekali. Aku khawatir kedatanganku akan mengganggunya. Setelah sejenak menunggu iapun selesai.
Suasana yang sama seperti pada pertemuan kami tiga tahun lalu. Saat pertama berjumpa dengan gadis itu, aku tengah bekerja sebagai wartawan di salah satu majalah remaja di Jakarta. Kebetulan sedang meliput profil Anjani Fitri Ramadhani yang akrab dipanggil Pipit, musisi muda yang karirnya sedang menanjak. Aku sangat beruntung karena ia tidak menolak untuk diwawancarai. Ia begitu bersahaja dan sangat ramah ketika kami duduk berhadapan.
Pipit mengungkapkan, ia telah dapat memainkan piano sejak usia lima tahun. Berbekal bakat dan les musik intensif, saat beranjak remaja Pipit mulai menekuni dunia musik profesional. Ia sering mengikuti berbagai festival di tingkat kota, nasional, bahkan internasional. Pada usia 17 tahun ia berhasil lulus audisi keyboardis salah satu band papan atas di Indonesia. Hingga sekarang band-nya telah mengeluarkan lima album. Kemampuan bermusik dan popularitasnya terus meningkat, terutama di kalangan penikmat musik pop kontemporer dan jazz.
Band-nya selalu mendapat order untuk show dan promo tour di berbagai kota. Jadwalnya pun semakin padat, sehingga ia terpaksa harus mengatur waktu agar staminanya sedapat mungkin tetap fit, jadi waktu untuk show dan untuk menyelesaikan kuliah seimbang - terpenuhi.
"Selesai kuliah nanti, aku akan memantapkan diri terjun ke dunia musik profesional." ujarnya saat itu.
Ia yakin bahwa dunia musik bila ditekuni bisa membuat kehidupan seseorang akan jauh lebih baik. Tetapi terjun ke dunia musik profesional tidak bisa dilakukan terburu-buru tanpa perhitungan matang. Sambil terus mengasah kemampuan bermusik dari panggung ke panggung, dari kafe ke kafe, dari festival ke festival, dari show ke show, dari promo tour ke promo tour,ia tetap konsen menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Sementara, di lain pihak ia sering membaca atau menyaksikan berita miring tentang dirinya di media cetak dan elektronik. Sering gonta-ganti pasanganlah, sering check in di hotel berbintang dengan setiap laki-laki yang dia kencani, pernah main film (maaf) porno, pecandu narkobalah.
"Itu semuanya gak bener mas! Hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang gimana-gimananya aku! Coba mas sekarang jalan bareng aku! Kita pacaran sekalian!" tantangnya.
"(Busyet! Galak banget nih cewek!)" jawabku dalam hati. Sambil tercengang, wajahku terasa panas.
"Kok mukanya merah mas?" gertaknya.
"(Wah gawat!)".
Hari menjelang senja, ia beranjak dari tempat duduknya. Sementara kupikirkan akan mengajukan pertanyaan apa lagi kepadanya, ia duduk di teras kamar sambil melempar remah roti dan pelet ke ikan-ikan di danau. Menyenangkan juga melihat ikan-ikan berebut makanan yang dilemparkan oleh gadis cantik itu, berenang kian ke mari.
"Di sini ikannya banyak ya mas...gede-gede lagi!" katanya, mencairkan suasana.
Masih belum kutemukan pertanyaan apa lagi yang akan kuajukan kepadanya.
"Sudah makan mas? Kita makan dulu yuk!"
"(Aduh gak usah ngerepotin. Tapi okelah, sudah lapar banget nih!)".
Kami menikmati sajian khas Sunda di Amanti Kafe "Al Fresco". Ada ayam goreng, tahu, tempe, sambal terasi, sambal tomat, ayam bakar, cobek gurame, dan lalapan segar. Kafe ini menghadap ke bukit Amanti sehingga suasana bertambah romantis.
Malam hari, seusai makan, kami duduk-duduk di teras pondokan, ngobrol lagi dan bercanda, sambil menunggu perahu lewat di depan pondokan menawarkan sekoteng gratis yang menemani dan menghangatkan malam. Diiringi alunan kecapi suling yang dimainkan langsung oleh group kesenian Sunda Kampung Sampireun di atas perahu.
"Sekoteng mas!" tawarnya. Aku hanya mengangguk.
Nuansa romantis tercipta melalui perpaduan berbagai sumber keindahan alam, di antaranya riak-riak permukaan air danau yang berkilau tertimpa cahaya rembulan. Sambil meresapi hangatnya minum sekoteng, kuberanikan diri untuk menanyakan status pribadinya.
"Pit, sekarang masih sama cowok bule itu kan?" tanyaku dengan pertanyaan bodoh yang membuat panas hatiku.
Dia kelabakan dan terheran-heran, "Ah, sama bule? Bule mana? Bulepotan? He...he...he...nggak! Yang bener aja dong!"
"Banyak yang bilang kalau pacarnya Pipit itu bule. Kalau gak salah orang Florida ya? Amrik?"
"Gak punya pacar, lagian!"
"Masa cewek secantik dan seterkenal kamu gak punya pacar?"
"Mas, aku belum kepikiran buat pacaran!" sergahnya. Mimik wajahnya mengisyaratkan kalau ia keberatan untuk menjawab pertanyaanku.
"Denger-denger sudah jadian sama Delon Indonesian Idol?" tanyaku penasaran.
"Mas, please!"
Beberapa infotainment menggosipkan manajer band-nya bilang mereka sudah menjalin hubungan kasih, bahkan sempat "menangkap" mereka berdua dalam sebuah acara. Malah Pipit bakal ngomong kepada pers tentang jalinan cinta mereka, hanya waktunya saja yang belum tepat.
"Pit..."
"Tanya lagi masalah pribadi saya, mas saya usir!"
"Oke!Oke!"
Pada saat itu sebenarnya aku ingin mengungkapkan kalau aku suka kepadanya. Jatuh cinta. Namun, bibirku serasa terkunci dan tidak bisa berkata apa-apa.
"Mas, sudah malam. Saya ngantuk." ujarnya.
"Oh ya, kalau begitu saya permisi pulang!"
"Kirain mau nginep?"
"Ada nomor hand phone atau telepon yang bisa dihubungi?"
"Buat apa?"
"Ya, kalau saya mau tanya-tanya informasi yang belum lengkap dari Pipit kan gampang nanti." dalihku. Akhirnya Pipit memberiku nomor hand phonenya.
Malam sejuk bersahaja saat kutinggalkan kampung itu. Di belakang, sinar bulan menerpa riak air danau. Gemerisik daun bambu diterpa angin dan gemercik air mengiringi serangga-serangga menyanyikan kidung malam.
***
Dari minggu ke minggu aku berusaha keras untuk mendekati Pipit. Setiap ia latihan di studio musik bersama band-nya, aku sering kali datang dengan alasan ingin membuat photo mereka. Lalu iseng-iseng mengajak gadis itu makan siang. Kali ini aku yang traktir.
Tetapi kadang-kadang ia menolakku, dan mengambil jalan berbeda ketika kami berada di tempat yang sama. Usahaku untuk meraih simpatinya terus berjalan, ada kalanya ia mau kuantar atau kujemput saat akan bepergian.
"Kalau perlu bantuan telpon aku saja ya!" tawarku. Ia hanya tersenyum.
Lama-lama kami sering jalan berdua. Tatkala ada acara live show, ulang tahun, pernikahan, di manapun bertemu saudara atau teman-teman kami, kukatakan kepada mereka kalau Pipit adalah belahan jiwaku. Ia selalu diam, tampak bingung, tidak tahu bagaimana harus menyikapi klaimku itu. Kalau dia mau marah di depan umum kan tidak pada tempatnya. Aku menang.
Suatu saat selepas acara live music, kuantar dia ke rumahnya di Bandung. Di dalam Avanza silver pinjaman, seperti biasa ia tidak terlalu banyak bicara. Hanya bola matanya saja yang bergerak ke kanan dan kiri, seperti bola mata penari Bali. Ia kelihatan seperti menahan emosi, mungkin kesal kepadaku karena telah mengklaim dirinya sebagai pacarku. Sementara di dalam hati kuberharap ia juga jatuh cinta kepadaku.
Setibanya di rumah Pipit, kuberanikan diri nekad menyatakan rasa cintaku kepadanya, "Pit,, aku suka kamu. Mau gak jadi pacarku?"
Ia tampak bimbang.
"Aku gak bisa jawab sekarang!" jawabnya.
Hatiku berdebar-debar, cemas-cemas harap, takut ia tidak menerimaku. Tetapi tepat dua minggu kemudian kami bertemu lagi di acara live music salah satu TV swasta, ia bilang menerima cintaku.
Sejak saat itu aku kerap kali main ke rumahnya. Sebenarnya banyak juga teman lelaki Pipit yang lain juga sering main ke rumahnya. Mereka ada yang tahu kalau Pipit sudah tak sendiri lagi, tapi ada saja yang masih berburu untuk meluluhkan hati gadis cantik itu.
Suatu ketika kulihat jelas betul raut muka ibu dan ayahnya Pipit menyiratkan ketidaksukaannya kepadaku. Pernah ibunya membanting pintu dan memainkan lampu neon karena tidak respek denganku yang sedang bercengkrama dengan Pipit. Aku bingung dengan sikap ibunya yang bertindak seperti itu. Padahal waktu itu kami tidak melakukan hal-hal yang di luar batas kesopanan. Akupun terus berjuang untuk mendapatkan lampu hijau dari kedua orang tuanya.
Kami tetap melanjutkan jalinan cinta kasih kami yang tidak berjalan mulus ini di belakang orang tuanya (back street). Bermodalkan cinta kasih, kejujuran, dan saling percaya, kami selalu berkomunikasi, sehingga segala sesuatu persoalan yang kami hadapi menjadi jelas. Yang penting tidak ada yang disembunyikan. Kami sadar kalau di antara kami banyak terdapat perbedaan, tetapi kami tidak harus diperbudak oleh perbedaan-perbedaan itu bukan?
Lama-lama sepandai-pandainya kami menyembunyikan hubungan kami, akhirnya ketahuan juga dan ditentang berbagai pihak. Menghadapi keluarga Pipit yang berasal dari pengusaha hotel dan real estate, kaya raya, dan high class itu cukup berat. (Aku hanya anak seorang Letnan TNI Angkatan Darat). Sehingga lama-lama perbedaan status sosial yang semakin terbuka dan mencolok ini menimbulkan gesekan-gesekan dan konflik-konflik tak perlu antara keluargaku dengan keluarga Pipit.
Pipit sering kali berkata kepadaku,"Sudahlah mas, jangan terpengaruh sama provokator. Yang penting kita tetap saling mencintai, dan hati kita bersih...damai!"
Ucapannya itu membesarkan jiwaku, jadi kubiarkan saja semuanya berjalan apa adanya. Aku takkan pernah berhenti mencintainya, meski dalam hati selalu bertanya, "(Apakah yang kujalani bukan kisah cinta yang timpang? Benarkah ia akan selalu menjadi kekasihku tanpa menghiraukan perbedaan status yang mencolok di antara kami?)"
Aku sadar kalau ia milik Allah juga amanah dari-Nya kepadaku. Apapun yang terjadi aku harus memberikan sikap dan tindakan terbaik, agar kami selalu diberi pertolongan dalam rahmat dan kasihny-Nya.
***
Sore harinya kami jalan-jalan ke kota. Mobil yang kami kendarai dengan leluasa melenggang di pusat kota, menuju pusat belanja oleh-oleh singgah beberapa saat di sana. Barang-barang yang dijual, mulai dari pakaian pria, wanita, dan anak-anak, tas sepatu, dompet, sabuk, dan jaket kulit, perhiasan, barang pecah-belah, souvenir, dan kerajinan tangan, dodol, dan makanan-makanan lainnya, kami beli untuk oleh-oleh dengan harga terjangkau.
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke pinggiran, agak jauh ke pelosok, di mana terhampar ladang-ladang di bawah bukit hijau. Sambil mengenang masa lalu, kuceritakan kepadanya, ketika aku masih kanak-kanak dan tinggal di desa, aku sering bermain di tegalan, lalu mencuri ikan dari kolam orang lain. Setelah ikannya terkumpul, bersama teman-teman aku membakarnya dan menyantapnya dengan nasi hangat.
Malam hari kami melepas lelah di teras pondokan. Riak-riak permukaan air danau berkilau tertimpa cahaya rembulan membuat suasana bertambah romantis. Penerangan di pondokan mengandalkan lampu templok dan obor, meskipun daerahnya dekat dengan pembangkit listrik tenaga uap di Kamojang. Pipit tampak sangat cantik, sampai tak jemu kupandangi terus parasnya. Waktu itu ia membalas pandanganku, jantungku berdebar-debar seperti pada saat pertama kali ketika kunyatakan cinta kepadanya.
Bulan dan berjuta bintang menjadi saksi atas tercurahnya rangkaian kasih mesra yang dianugrahkan Tuhan kepada kami. Serangga-serangga malam bernyanyi diiringi desir angin yang menabuh daun-daun, seakan mengerti dan turut bersuka cita dengan rasa bahagia yang tak dapat kami ungkapkan dengan kata-kata. Tak ada lagi yang kami lakukan sampai kantuk menyerang. Diapun tidur di kamar, sedangkan aku tidur berkerudung sarung di teras ala orang dusun.
Ketika pagi menjelang, kami dibangunkan oleh suara orang dari perahu yang mengelilingi danau menawarkan serabi, ketan, dan colenak asli kampung yang menggelitik perut lapar ke setiap tamu. Sebelum cahaya matahari menyengat tubuh, kami naik perahu mengelilingi danau. Aku giat mendayung dan ia mencoba memberi makan bahkan mengail ikan-ikan yang mengiringi perahu kami. Hingga ke tengah, aku sampai lupa membaca buku favoritku. Begitu mudah ia menangkap ikan ikan-ikan itu. Ia beberapa kali kegirangan begitu berhasil mengail ikan sebesar telapak tangan orang dewasa. Lucu sekali melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan. Bersusah payah lagi kucoba mendayung mengarahkan perahu ke bilik tempat nongkrong di tepi danau.
Setelah dua hari menginap, yang kutahu Kampung Sampireun memiliki 16 bungalow terdiri dari delapan unit Kalapalua Suite, lima unit tipe Kurjati Suite, satu unit tipe Waluran Suite, satu unit tipe Cikuray Suite, dan satu unit tipe Manglayang. Ada juga fasilitas satu restoran "Seruling Bambu Restaurant", satu tempat Coffee Shop "Bale Putri Amantie" untuk menikmati gorengan sore (Afternoon tea), satu "Waroeng Kopi" ala kampung sebagai tempat berinteraksi antara tamu dan karyawan, satu traditional meeting room "Kiara Payung Meeting Room" yang bisa menampung hingga tiga puluh orang, dan tempat untuk pesta kebun "Taman Sang Hyang Dayu". Dengan keramah-tamahan staffnya, membuat para pengunjung merasa nyaman dan santai selama tinggal di resor ini.
Sebenarnya kami masih ingin mengunjungi tempat-tempat lainnya, seperti trip hiking atau tracking ke kampung sekitar, di antar guide berkeliling melihat pemandangan sawah dan para petani yang mengolahnya, ibu-ibu yang bercanda di depan rumah bersama tetangga dan anak-anak mereka, ladang-ladang sayuran dan kolam ikan yang bertebaran. Pelayanan massage spa di "Taman Sari Royal Haritage Spa" yang diresmikan oleh Miss Universe 2003, Amelia Vega. Kolam renang alami, Galeri Seni, perpustakaan mini, barbeque, dan pasar terapung. Ingin juga menikmati fasilitas arung jeram, berkuda, atau bersepeda.
Kamipun harus meninggalkan suasana hening, damai, nyaman, pemandangan danau luas yang diperindah dengan pepohonan tropis yang tumbuh di sekitarnya. Sebelum berangkat pulang Pipit tampak mengamati alam di belakang kami, tatap matanya seperti menerawang jauh...lalu menarik napas dalam-dalam dan memandang kepadaku sambil tersenyum manis sekali. Ia tampak seperti bidadari yang baru turun dari surga.
"Kapan-kapan kita main ke sini lagi ya mas!" pintanya.
Aku berjanji kepadanya suatu saat nanti akan membawanya kembali ke kota Garut tercinta, kota kecil tempat aku dilahirkan, bersamanya lagi menikmati kecantikan dan pesona Garut*****Pangirutan di Tanah Parahyangan.
Komentar
Tulis komentar baru