Nenek Kanut, perempuan 77 tahun,
warga Talang Kepala, Alang-alang, Palembang
Di usia senjanya harus menghadapi panggung pengadilan
Mengenakan jilbab pink yang menjadi simbol kepolosannya,
datang ke Polda Sumsel menggunakan kursi roda.
Tampak lesu dan tak banyak bicara
Nenek Kanut hanya bisa berharap
permasalahannya cepat selesai.
Perkara pemalsuan dokumen
tanah warisan!
Itulah tudingan keempat putrinya,
yang kini merasa jadi korban
dalam kisah epik keluarga ini.
Sungguh, drama ini mengingatkan kita
pada kisah-kisah sinetron,
yang sering kita saksikan di layar kaca.
Bedanya, ini bukan fiksi, tapi kenyataan.
Anaknya yang lelaki, yang mungkin mirip
karakter pahlawan dalam cerita-cerita klasik,
setia menemani sang ibu
bersama tim kuasa hukum.
Hajja Kanut dilaporkan putri-putrinya
karena tuduhan penggelapan hak waris.
Sang ibu dianggap menjual tanah pusaka
seluas 18 hektare, tanpa
persetujuan mereka.
Tapi, dia punya bukti
kalau itu sudah disetujui oleh anak-anaknya.
Bayangkan, anak-anak yang dulu digendong,
disusui, dan disuapi kini berbalik
melaporkan sang ibu.
Drama warisan menarik perhatian,
Nenek Kanut bukan tanpa alasan menjual tanah itu.
"Untuk biaya pengobatan," katanya.
Putra sulungnya, Ambotang,
terheran-heran melihat tindakan
adik-adik perempuannya.
Baru enam bulan ayah meninggal,
sudah bermunculan permasalahan
harta benda.
Dunia ini memang penuh drama.
Drama warisan Nenek Kanut
mengajarkan kita bahwa keluarga
bisa jadi medan perang paling kejam,
lebih dari sekadar panggung sinetron.
Semoga episode ini berakhir dengan damai,
dan Nenek Kanut kembali menikmati masa tuanya,
tanpa harus terjebak dalam drama
pemberontakan durjana anak pada orang tuanya.
Komentar
Tulis komentar baru