Lupakan sejenak imaji penataan panggung dalam drama tragedy.
masih ingatkah kau?
wajah muram ini, wajah yang katamu hendak kau pilih sebagai sampul dalam bab demi bab jalan hidupmu?
sore kemarin, kita bercerita
elegi malam-malam yang diam.
lalu mulutpun terlanjur diam.
Diam...
hingga hati pun sediamnya diam.
Tidakkah bisa kau lihat?
satu persatu huruf pembentuk harapan sedang kuukir
dalam diam yang memang tak kusebut emas.
Lupakan sejenak penggambaran tentang sebuah ironi.
sudah lekangkah ingatan itu?
ingatan pada pandangan sore menakjubkan di batas cakrawala barat.
ingatan pada angin yang mendayu bagai jutaan puisi.
bukankah disitu, disudut yang tak tergapai mata, kita pernah saling memandang diam
dan menangis.
perlahan... perlahan... hingga akhirnya air mata itu hanya menjadi lelucon.
semua sudah berakar,
menancap kuat pada gumpalan darah yang membeku tanah.
Lupakan sejenak, bagaimana akan kita susun sebuah epilog.
kau juga pasti bisa melihat kan?
tidak akan pernah ada sebuah epilog yang cukup pantas buat satu judul ini.
tidak yang menggugah,
tidak yang menyentil,
tidak yang cengeng pula
bahkan tidak untuk yang mengakar kelakar hingga mata-mata tertawa.
tidak.
sampai nanti semua bisa dikenang sebagai sebuah teladan.
setelah kedua pasang mata kita tak lagi menyala.
Lupakan sejenak semua ulasan tentang pesan moral.
pernahkah sebelumnya kita perduli?
pada riuhnya tepuk tangan, atau cemooh yang tak sopan?
biar berdarah, biar tertelan ludah,
kita adalah pesan moral.
ketika selesai kupahatkan huruf terakhir dalam harapan,
engkau akan mengerti.
dalam nyata dan mimpi
dalam tawa dan tangis
dalam hidup, jalan, rejeki, generasi, hingga mati...
Kita saling memiliki.
lupakan sejenak yang membuat lupa.
ingat, kenanglah yang tak akan membuatmu melupa.
Medan, 15/06/13
masih ingatkah kau?
wajah muram ini, wajah yang katamu hendak kau pilih sebagai sampul dalam bab demi bab jalan hidupmu?
sore kemarin, kita bercerita
elegi malam-malam yang diam.
lalu mulutpun terlanjur diam.
Diam...
hingga hati pun sediamnya diam.
Tidakkah bisa kau lihat?
satu persatu huruf pembentuk harapan sedang kuukir
dalam diam yang memang tak kusebut emas.
Lupakan sejenak penggambaran tentang sebuah ironi.
sudah lekangkah ingatan itu?
ingatan pada pandangan sore menakjubkan di batas cakrawala barat.
ingatan pada angin yang mendayu bagai jutaan puisi.
bukankah disitu, disudut yang tak tergapai mata, kita pernah saling memandang diam
dan menangis.
perlahan... perlahan... hingga akhirnya air mata itu hanya menjadi lelucon.
semua sudah berakar,
menancap kuat pada gumpalan darah yang membeku tanah.
Lupakan sejenak, bagaimana akan kita susun sebuah epilog.
kau juga pasti bisa melihat kan?
tidak akan pernah ada sebuah epilog yang cukup pantas buat satu judul ini.
tidak yang menggugah,
tidak yang menyentil,
tidak yang cengeng pula
bahkan tidak untuk yang mengakar kelakar hingga mata-mata tertawa.
tidak.
sampai nanti semua bisa dikenang sebagai sebuah teladan.
setelah kedua pasang mata kita tak lagi menyala.
Lupakan sejenak semua ulasan tentang pesan moral.
pernahkah sebelumnya kita perduli?
pada riuhnya tepuk tangan, atau cemooh yang tak sopan?
biar berdarah, biar tertelan ludah,
kita adalah pesan moral.
ketika selesai kupahatkan huruf terakhir dalam harapan,
engkau akan mengerti.
dalam nyata dan mimpi
dalam tawa dan tangis
dalam hidup, jalan, rejeki, generasi, hingga mati...
Kita saling memiliki.
lupakan sejenak yang membuat lupa.
ingat, kenanglah yang tak akan membuatmu melupa.
Medan, 15/06/13
Komentar
Tulis komentar baru