:Anu
Dulu, sewaktu debar-debar itu mewarnai hari-hari kita nu, aku merasa akulah pungguk paling beruntung. Kau ingat nu, dulu saat malam-malam berangin begini, debar-debar itu akan jadi purnama, kemudian di antaranya akan selalu kumunajadkan beberapa bait sederhana. Sebuah puisi tentang kita nu, dan tentang beberapa kuntum cahaya sajak yang mungkin akan dititipkan tuhan pada kita
Dulu, di kaki bukit sana nu, aku sering membayangkan sebuah pondok kecil. Halamannya akan kupagari dengan bebunga. Dan malam-malam dalam temaram begini, di atas rerumputan di sela-sela bebunga itu, kukhayalkan engkau dan aku nu, berbaring memandang bulan.
Dan kini bulan itu di atas situ nu dan aku sedang memandangnya, tapi tidak bersama siapa-siapa. Malam ini hanya aku nu, dan bulan itu di atas sana, menatap aku merajut sesal. Ya, setelah kepergianmu itu nu, kemungkinan itu pun lalu. Kini tinggal aku nu, memujuk rinduku yang sesenggukan
Walau begitu, padamu aku selalu berterimakasih nu. Setidaknya engkau dan dulu pernah memberiku kemungkinan dan mimpi-mimpi. Jadi, tak ada yang salah dengan kepergianmu itu nu, hanya kebodohanku sajalah yang jadi penyebabnya. Kini, di langit malam purnama ranum nu, semilir bayu berbisik-bisik, bintang-bintang bagai matamu, di mataku berebut nari
Batam, 10.03.2015
Komentar
Tulis komentar baru