Dalam erangan lelah jiwaku
Meronta-ronta diperkosa sang waktu
Uban dirambut keriput kulitku
Akankah usai batang usiaku
Bertahun mentari jilati sekujur tubuh
Tak kenal belas hingga kulit melepuh
Jalan berliku dosapun pernah kutempuh
Adakah kebaikan upah dapat kurengkuh
Kulihat sehelai daun menggeliat
Ia risih mlihat ulat
Mataku semakin membulat
Urat-urat membelenggu semakin menguat
Diam-diam hatiku gentar
Kutakut ajal kan segera menyambar
Baik bajik belum banyak kutebar
Kemanakah aku akan dihantar
Komentar
Bagus...
Kontemplasi bagus menghasilkan garis yang takkan putus..
Satu karya puisi yang ku ibaratkan seperti cermin..
Salam Sastra.
Thanks Abang
Terimakasih atas apresiasinya abang Steven, saya yang awam tentang sastra perlu banyak belajar dari orang-orang seperti abang.
Lama kita tidak bersua, semoga sukses selalu menghampirimu.
Salam hangat & salam Sastra
Ya sebuah kotemplasi.....
Ya sebuah kontemplasi yang utuh meski menghadapi turbelensi rasionalitas pikiran yang normal. Ibarat sebuah pesawat terbang meski sedikit mengalami goncangan namun tetap melaju dengan selamat. Ini sebuah kontemplasi yang membuka pintu ruang kesadaran, bahwa dalam hidup ini kita harus menghitung diri sebelum diri kita, amal kebajikan kita dihitung! Nice!!!
Beni Guntarman
Terimakasih atas pemaparannya
Terimakasih atas pemaparannya pak Beni.. iya semua berawal dari perenungan, dan semoga dengan segala perenungan itu dapat membuka ruang kesadaran kita.
Salam Sastra
Tulis komentar baru