Secangkir Rindu Tanpa Ampas Pilu
Secangkir kopiku malam ini, Kasih.
Kuminum tiga tegukan
Tegukan pertama, kutemui wajahmu merona merah
Tegukan kedua, kulihat senyummu merekah
Tegukan ketiga, kau menjelma cinta yang indah
Dan pada tegukan terakhir itu,
Aku terkapar tak sadar
Sedetik setelah kuingat wajahmu
Meronta memanggil rindu
Yang sukar adanya pilu
Beku
Mereka mengajarkanku, engkau terdiam.
Mereka sepenuh hati memperhatikan keadaanku, engkau tak perduli.
Mereka berusaha menghapus dukaku, kau tak bergeming.
Benarkah kau memiliki hati? Adakah kau memiliki perasaan?
Aku rindu pelukmu meski tak kau berikan dengan kasih sayang, kau bahkan tak pernah menatap mataku aat kau berbicara. Aku haru gimana?
Sampai kapan ini akan terus berlanjut?
Aku lelah, aku lelah merindukanmu, sebab kau selalu berada disisiku, tubuh tanpa hati.
Aku lelah, aku lelah mengharapkanmu, sebab harapanmu sendiri telah kau bunuh mati.
Tertipu
Aku tertipu, oleh angan kebahagiaanku, oleh mimpi indah akan cintamu.
Kesunyian menyadarkanku, tentang kisah cinta kita, maaf maksudku tentang kisah cintaku, dan kisah tertipunya diriku.
Oleh mimpi tentang kebersamaan.
Oleh angan akan kebahagiaan.
Oleh manisnya kerinduan.
Lalu kisah kesadaranku, bahwa kebersamaan itu hanyalah mimpi.
Kebahagiaan itu, hanyalah angan.
Dan rindu, adalah sebuah kata manis,
Yang dipenuhi oleh luka dan tangis.
Sementara
Kau bahagiakan aku dengan perhatianmu, hanya sekejap.
Lalu kau hempaskan diriku ke dalam jurang acuh dan keasinganmu.
Adakah aku berbuat salah? “tidak kau tidak salah!” jawabmu.
Lalu apa yang terjadi?
Mengapa kau begitu cepat kau ubah kebahagiaanku dengan kegundahan yang menyakitkan?
Sungguh aku tak ingin berpikir seperti ini, tapi dengan caramu memperlakukanku.
Aku seakan tak berarti,
Hanyalah seorang aku,
Yang dapat kau permainkan sesuka hati.
Kesadaran
Hari ini aku tertegun.
Bagaimana jutaan manusia dapat bertahan dengan memendam begitu banyak rasa dan lara di dadanya?
Bagaimana seseorang tetap hidup dengan terus menelan jeritan pilu dan air mata lara?
Bagaimana pula caranya manusia dapat tetap tersenyum dan berbicara sedangkan hati dan jiwanya sudah terkoyak-koyak oleh derita kehidupan fana?
Dan entah berapa banyak teman yang sudah mengingatku, “jangan sekali-kali kau mengharapkan siapapun untuk memahamimu sepenuhnya.”
Lalu bagaimana seseorang dapat bertahan tanpa ada yang memahami keadaan dan perasaannya?
Sang pencipta selalu ada untuknya.
Disini aku belajar untuk menjaga perasaan manusia sebisaku. Karena kita tak pernah tahu luka sebesar apa yang tersembunyi dibalik senyuman hangat itu.
Kawan, pernahkan hal ini terlintas di benakmu?
Aku
Aku adalah aku.
Kehancuran dari harapan dan kebahagiaan.
Aku adalah aku.
Yang tak pernah kau temukan saat jiwamu meraung mencari cinta.
Aku adalah aku.
Kehidupan yang tak lekang dari air mata.
Aku adalah aku.
Setapak jalan pulang, yang telah hilang.
Aku adalah aku.
Yang dibunuh mati,
Yang bangkit lalu terbunuh kembali.
Aku.
Wujud kesedihan,
Bentuk kegelapan,
Wajah luka, tersembunyi di tempat terdalam pada hati manusia.
Kau tak dapat menyentuhku.
Sedingin es beku.
Sepanas air neraka.
Hilang
Ya, hilang.
Seperti senyumanmu yang hilang dari penglihatanku.
Seperti suaramu yang hilang dari pendengaranku.
Seperti wangi parfummu yang hilang dari penciumanku.
Seperti keberadaanmu yang hilang dari kehidupanku.
Hilang tak berbekas.
Hilang.
Meninggalkanku sebatang kara untuk menghadapi hantaman kerasnya kehidupan fana.
Terseok-seok menahan diri untuk tidak terseret lumpur hisap nafsu dan hawanya.
Bukankah kau begitu tega?
Tak dapatkah kau menemuiku sekadar bertegur sapa?
Telah hilang jugakah yang dulu kau namakan cinta?
Mengapa kehilanganmu begitu dalam menggores luka?
Begitu banyak pertanyaan hingga kusadari kau bukanlah pencipta alam semesta.
Bukan pula pengatur takdir dunia.
Komentar
Tulis komentar baru