BONEKA PLASTIK
Sri Wintala Achmad
Awan serupa hutan yang merimbun pekat dengan kilat-kilat sebagai penghuninya. Naga-naga api tampak berhasrat menghancurkan bumi purba. Sarat dengan manusia berhati serigala, anjing, babi, harimau, singa, ular, dan belatung brengsek yang suka mengenakan jubah orang kudus. Fasih melafalkan nama Tuhan di mimbar suci.
Di bawah deras hujan dengan angin mencambuki sisa pepohonan di sepanjang jalanan kota, lelaki beruban berjalan tanpa alas kaki. Kain pembalut tubuhya koyak-moyak. Menurut kabar burung, lelaki itu bernama Sulabi. Mantan presiden yang terjungkal dari kursi kekuasaan. Karena menentang Majelis Rakyat dan seluruh Menteri yang menghendaki negara sebagai meja judi.
Di samping traffic light di bawah jembatan layang pusat kota, Sulabi menghentikan langkah. Duduk di bibir trotoar. Mata nanar. Menatap orang-orang di balik kaca jendela mobil bercat mengkilat. Para pengisap darah sesama. Tidak hanya malam hari. Manakala tidur sebagai waktu tepat buat mengemas mimpi. Sebelum fajar kembali mengibarkan panji-panji peperangan. Siang hari, mereka berkeliaran. Karena tubuhnya telah kebal dari sengat matahari, mantra sakti, atau pusaka warisan para wali. Mereka lebih sakti dari zombie, vampire, dan drakula.
Sulabi bangkit. Menuju tong sampah. Bukan mencari sisa makanan. Memungut boneka plastik berdada merongga. Menitik air matanya. Teringat pada anak-anak perempuan yang diperkosa bapak kandungnya. Perempuan-perempuan yang dilacurkan para germo. Perempuan-perempuan yang dijadikan boneka permainan para bos. Perempuan-perempuan senasib sampah.
Wajah Sulabi tengadah. Harapannya melambung hingga puncak langit. “Tuhan, lipatlah bumi tempatku berpijak! Tenggelamkan saja dengan seluruh isinya! Jangan sisaskan satu pun! Apalagi sepasang-sepasang sebagaimana pada zaman Nuh! Bukankah Engkah tahu, kehidupan hanya mengabadikan dosa Adam?”
“Sulabi…, Sulabi…. Jadi manusia jangan sok suci! Kamu lahir bukan lantaran cinta. Tapi, khuldi. Buah dosa yang diranumkan malam. Ketika gerimis menebarkan hawa dingin,” sela perempuan tiga puluhan tahun di bawah lindungan payung tua. “Kamu tahu itu Sulabi?”
“Cabut kata-katamu, perempuan lacur! Kalau kamu masih menghendaki mulutmu utuh dari cabikan-cabikan kuku-kukuku.” Setengah berlari, Sulabi menuju ke arah perempuan itu. menuding-nudingkan telunjuk jarinya ke muka perempuan itu. “Semua orang tahu. Mendiang ibuku orang alim. Rajin mengajarkan agama kepada anak-anaknya. Termasuk aku. Bapakku mantan Jaksa. Karena cintanya pada kebenaran, bapakku dijebloskan ke dalam penjara dengan dugaan menerima suap. Kamu tahu itu, Jalang?”
“Aku tahu. Tapi, mereka bukan bapak-ibumu. Mereka, orang-orang yang dikirim Tuhan untuk memungutmu dari tong sampah. Sesudah kamu dibuang ibu-bapak biologismu. Mereka tak salah. Bukankah sesudah kenyang, semua orang harus membuang sampah dari perutnya ke dalam WC?”
Sulabi kalap. Mengerahkan tenaga yang masih tersisa karena lelah dan lapar. Sulabi serupa elang murka kepada ular. Namun sebelum mencakar-cakarkan kuku-kukunya ke wajah perempuan itu, bayangan si perempuan lenyap serupa tersapu angin. Hanya meninggalkan bau busuk kelamin yang digerogoti raja singa.
Darah Sulabi naik ke otak. Napasnya sesak. Pandangannya bekunang-kunang. Gelap sebagaimana malam yang turun tanpa cahaya. Sulabi terjatuh di samping tong sampah pinggiran jalan. Menindih boneka plastik yang terlepas dari tangannya. Terendam air hujan yang semakin deras.
***
Matahari menyembul dari puncak bukit. Tidak ada nyanyian burung-burung. Bersama angin menebarkan amis limbah dari balik julangan gedung-gedung, ujung telunjuk Sulabi bergetar. Darah yang membeku semalam, mengalir kembali ke seluruh tubuhnya. Sulabi terbangun dari pingsan.
Dengan membawa boneka plastiknya yang ringsek, Sulabi menemui ayahnya yang meringkuk di dalam penjara. Bukan untuk memberikan serangtang nasi lengkap sayur dan lauknya. Sulabi hanya meminta jawaban atas persoalan besar yang dihadapinya.
Sesudah mendapatkan izin dari petugas penjara, Sulabi menemui ayahnya. Sesosok manusia yang selalu dipujanya sebagai dewa di tengah kehidupan kian menjahanam. Sulabi bangga saat menatap cahaya mata ayahnya itu melukiskan kehidupan di dalam penjara lebih surga dari kehidupan di alam bebas. Sang Ayah setegar Wisnu di punggung Garuda.
“Ada maksud apa kamu menjengukku, anakku?” Sang Ayah menghirup napas dalam, menghempaskannya. Menatap Sulabi tanpa kerdipan. “Hidup itu seperti roda. Jangan tertawa manakala di puncak! Jangan menangis manakala di bawah! Belajarlah pada sungai yang mengalirkan seluruh bebannya ke muara!”
“Persoalan yang tengah aku hadapi cukup berat. Melampaui yang aku pikul sewaktu terjungkal dari kursi kepresidenan. Tapi sejajar, sewaktu aku saksikan Ayah diborgol di depan rumah hingga dijebloskan ke dalam penjara. Anjing-anjing negara memang keparat, Ayah!”
“Katakan dengan jujur! Apa persoalan yang kamu hadapi itu?”
“Aku akan jujur mengatakannya. Karena, Ayah pasti menjawab pertanyaanku itu dengan jujur.” Sulabi menunjukkan boneka plastik kepada lelaki paruh baya itu. “Boneka ini aku ambil dari tong sampah. Sebagaimana Ayah memungutku dari tong sampah. Mengapa Ayah lakukan itu? Bukankah aku hanya anak seorang pelacur?”
“Siapa yang mengatakan itu?”
“Perempuan berpakaian serba hitam yang seluruh wajahnya diselimuti kebencian. Ayah tahu? Mata perempuan itu menyala seperti mata hantu di bawah payung tua yang melindungi tubuhnya dari deras hujan.”
“Di mana kamu melihatnya, anakku?”
“Di dekat traffic light. Di bawah jembatan layang pusat kota.”
Mendengar penuturan polos Sulabi, sang Ayah menggali kenangan yang terkubur sepuluh tahun silam. Manakala, lelaki paruh baya itu belum mendapatkan buah hati dari isterinya. “Ya! Kamu memang bukan darah dagingku. Kamu anak kandung perempuan itu. Ia yang membuangmu di tong sampah sebelum maut menjemputnya. Terlindas taksi yang aku tumpangi dari stasiun pada ambang pagi itu. Hancur tubuhnya serupa cacahan daging babi.”
Tanpa sepatah kata meluncur dari mulutnya, Sulabi bangkit dari kursi. Bersama boneka plastinya. Sulabi meninggalkan sang Ayah. Meninggalkan penjara. Meninggalkan kejujuran yang semakin menyesakkan dada. Berjalan sempoyongan karena kelaparan. Sepanjang jalan, Sulabi senasib layang-layang yang terputus dari benang.
***
Matahari di atas ubun kepala. Sulabi tiba di dekat traffic light di bawah jembatan layang pusat kota. Berhasrat membuang boneka plastiknya itu di tong sampah. Sebelum pekerjaan itu dilakukan, langit terbelah. Matahari pecah. Bumi lebur serupa remahan roti. Orang-orang robot dan seluruh penghuni bumi binasa. Menjadi abu. Selebihnya, debu.
Di planit yang belum diketahui para ahli antariksa dari dunia lama, Sulabi terdampar. Boneka plastik itu masih erat di dalam genggaman. “Mengapa Kau biarkan aku hidup sendiri, Tuhan? Aku ingin binasa sebagaimana orang-orang itu. Kematian adalah surga bagiku. Surga yang didambakan yang didambakan setiap orang, sesudah lelah dalam kemabukan bianglala bumi jahanam.”
Tidak ada jawaban dari Tuhan. Hanya teriakan seorang gadis kecil yang menuruni bukit. Berlari sepanjang jalan setapak. “Berikan boneka plastik itu padaku! Berikan boneka plasti itu padaku!. Aku ingin menggendongnya. Merawat luka di dadanya dengan sepenuh cinta.”
Tanpa berpikir panjang, Sulabi menyerahkan boneka plastik kepada gadis kecil itu. Sesaat kemudian, persoalan besar muncul di benak Sulabi. Garis-garis muka gadis itu mengingatkan perempuan yang ditemuinya di samping traffic light di bawah jembatan layang pusat kota pada kehidupan masa silamnya.
Cilacap, 2017
Komentar
Tulis komentar baru