#12
Bulik diam. Aku juga diam. Sepanjang perjalanan kami diam. Dunia benar-benar sunyi, hanya suara mesin bus yang meraung-raung membelah malam. Entah apa yang akan simbah kakung ceritakan kepada kami jika mendengar bunyi raungan itu. Akhirnya aku tertidur pulas. Entah berapa lama. Dan aku terbagun ketika bulik membangunkanku.
Rupanya, kami sudah hampir sampai. Bus yang kami tumpangi sudah akan berhenti. Tukang ojek di bawah sudah menanti kedatangan kami dan mengantarkan kami sampai ke rumah. Tidak berapa lama sampailah kami di rumah. Namun, ada yang berbeda dengan keadaan ini. Aku melihat beberapa meter dari rumah ada bendera kuning. Bendera itu biasanya hanya dipasang bila ada yang meninggal. Semakin dekat, semakin banyak orang menuju ke rumah kami. Ada apakah ini?
Akhirnya sampailah kami di depan rumah. Situasi semakin aneh. gebyok[1] di depan dibuka lebar sehingga ruangan depan rumah kami terbuka sangat lebar. Tikar digelar. Di sisi kanan dan kiri diletakkan beberapa baskom ditutup dengan kain taplak. Beberapa kerabat dan tetangga sudah duduk di situ. Aku segera berlari ke dalam rumah. Aku mencari simbah kakung. Simbah kakung di mana ya di antara keramaian ini? Aku juga mencari simbah putri, tapi tidak ada. Aku hanya menemukan tempat kinang yang tergeletak terjungkal sehingga isinya tumpah ke mana-mana. Aku mulai kebingungan, kudekap terus buku KABAR di dadaku sampai terlipat-lipat. Aku sungguh tidak abar ingin memberikannya kepada simbah kakung. Tapi dimanakah dia? Aku tak menemukan di sudut manapun di rumah. Aku juga tidak menemukan di antara banyak kerumunan orang. Malah mereka memandangku dengan tatapan yang aneh. Bulikku segera memelukku. Aku diam saja di dalam pelukannya, namun aku merasa ada yang mulai hilang di dalam hatiku, namun entah itu apa. Buku KABAR untuk simbah kakung kini semakin lecek karena karena pelukan bulik, bahkan kini mulai basah karena ternyata bulik tadi memelukku sambil menangis. “Simbah kakung dan simbah putri ke mana Bulik? Kenapa mereka tidak ada?” Bulik diam. Dia tidak bisa menjawabnya. Bulik malah semakin menangis.
Tidak lama kemudian, aku mendengar bunyi sirine meraung-raung. Sebuah mobil ambulan berwarna putih turun di depan rumah kami. Dengan sigap para tetangga menurunkan sesuatu dari dalam mobil itu. Siapakah yang meninggal? Aku tak sabar, aku segera menyeruak masuk sebelum jenazah berhasil diturunkan. Aku melihat simbah putri berada di sisi kanan jenazah. Memegang sapu tangan dengan wajah yang bengkak. Aku langsung memeluk simbah putri dan dia memegang pundakku. Melihat simbah putri menangis, akupun ikut menangis. Kini, rasa kehilanganku yang tadi muncul semakin menjadi-jadi. Seperti ada lubang yang teramat dalam di dada ini. Apalagi jika melihat simbah putri menangis.
“Simbah kakung di mana, Mbah?” tanyaku pelan-pelan di antara isak tangis. Simbah putri tak mampu menjawab. Kini badan simbah putri yang mulai renta bergetar begitu keras. “Simbah kakung di mana, Mbah? Tanyaku sekali lagi. Dia tak menjawab. “Lihatlah, aku membawakan dia oleh-oleh dari Gereja Kranji. Ada gambar manusia bersayap di bagian belakang buku ini, Mbah. Aku ingin bertanya kepada simbah kakung siapa sebenarnya gambar ini? Oh jangan dulu, aku ingin mendengar cerita simbah kakung tentang Lucifer dulu, barulah cerita yang ini”
Aku terus bertanya, sementara simbah putri terus menangis. Kini bulik juga menangis. Dan orang-orang yang datang memandangku dengan tatapan mata yang iba. Aku tidak mengerti kenapa mereka seperti itu. “Apakah yang di dalam peti itu simbah kakung, Mbah?” Setelah aku bertanya begitu, simbah putri pingsan. Aku berlari ke arah peti dan bermaksud membukanya. Aku ingin tahu siapakah yang ada di dalam peti itu. Namun semua orang mencegah keinginanku. Aku terus berontak. Mereka terus memegangiku dan tak mengizinkanku dekat dengan peti itu.
Tak seberapa lama, Romo yang dulu akan kubawakan kepala muda itu datang. Dia memandangku dengan iba. “Tenang dan jangan menangis ya Nak, dia telah bahagia bersama Yesus di sisi Bapa” kata Romo itu.
“Dia, dia itu siapa Romo? Apakah dia itu simbah kakungku?” Tiba-tiba saja badanku lunglai. Aku jatuh terduduk. Buku untuk simbah kakung tak pernah lepas dari genggamanmu. Mataku terkatub, aku mungkin tertidur, aku mungkin terlelap, atau aku pingsan? Entahlah, yang pasti aku melihat simbah kakung sedang menghampiriku, memegang keningku, dan perlahan melangkah akan meninggalkanku. Aku sempat memberikan buku KABAR itu padanya dan dia tersenyum menerima pemberianku. Setelah itu kulihat simbah kakung benar-benar melangkah meninggalkanku,
Aku ingin berteriak memanggilnya kembali, namun aku tak mampu. Aku terdiam. Lidahku kelu!! Saat itulah, kulihat simbah putri telah memelukku. Begitu erat. (*)
***
[1] Dinding yang terbuat dari kayu
Komentar
Tulis komentar baru