Skip to Content

Kabar untuk Simbah Kakung #4

Foto Veronica Um Kusrini

#4

Sampailah hari yang dijanjikan dan sampailah di tempat yang telah dijanjikan. Aku dan  sekitar 6 teman segerejaku yang akan mendengarkan simbah kakung bercerita. Simbah kakung duduk di atas batu. Namun, bukannya langsung bercerita, malah kulihat dia sibuk mencari-cari sesuatu di sakunya. Oh, rupanya obat yang dicarinya. Setelah  ditemukanlah obat yang dibeli oleh simbah putri, kemudian ditelannya obat itu dengan air putih yang selalu kami bawa bila akan ke gereja.

Tiba-tiba saja nafas simbah bukan semakin lega, namun semakin sesak. Kami segera membuka baju yang dikenakan simbah kakung dengan harapan agar bisa bernafas dengan lega. Aku melompat mendekat ke arah simbah kakung, kelapa yang kuletakkan dekat kakiku tertendang. Setelah beberapa menit berlalu akhirnya berhasil. Simbah kini bernafas jauh lebih baik dari sebelumnya, walaupun mukanya masih agak pucat.

 Kucari kelapa yang tadi tertendang, tapi tidak ada, rupanya sudah jatuh ke tebing dekat batu tempat kami berisitirahat. Aku tak bisa mengambilnya dan tak mungkin mengambilnya. “Sudahlah, Nduk biarkan saja kelapanya, ini masih ada nasi untuk Romo, sayurnya tadi dibawa oleh simbah putrimu, dia sudah berjalan duluan karena harus menata meja untuk daharan. Simbah belum bisa menepati janji simbah hari ini ya, Nduk. Ada sedikit nyeri di dada ini,” katanya sambal mengurut-urut dadanya yang tipis.

Kami mengerti kalau sudah seperti ini, simbah kakung harus berisitirahat. Namun karena kami dalam perjalanan menuju gereja, maka pelan-pelan kami berjalan kembali. Kali ini tidak ada cerita yang mengasyikkan. Kami diam, simbah kakung diam, kulihat urat-urat di tangan kanannya menonjol lebih besar dibandingkan hari-hari biasanya. Cengkraman tangan ke tongkatnya juga semakin kokoh, sementara tangan kirinya masih sesekali mengurut dadanya. Kini nasi itu aku yang membawanya. Ternyata sama beratnya dengan kelapa muda tadi.

Di antara bunyi langkah-langkah kami, aku masih ingat cerita simbah kakung minggu lalu. Minggu lalu ketika  kami melewati rumah pakdhe[1]. Kebetulan di rumah pakdhe ada seorang ibu yang sedang momong anaknya. Kami melihat ibu itu mencium anaknya yang berpipi montok. Saat itu simbah kakung bercerita kepada kami tentang seseorang yang membuat kami marah. (****bersambung)

***

 

[1] paman

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler