Aroma lapuk kayu basah dan barisan debu di buku
Menyambut indah kisah dua jiwa tanpa rencana
Menyemaikannya ke dalam bejana emas
Ingatan akan 12 tahun yang selalu terbelenggu amat rapat,
di ruangan itu.
Kipas bergetar tak dibiarkannya berangin
Tembok tak diperbolehkannya memandang
Lemari tak diizinkannya menyimpan kenangan
Semua harus diam!
“Kau tampak jauh sekali, bergeserlah kemari”
hanya kursi yang kau biarkannya bersaksi,
di ruangan itu.
Semua serasa tak berjarak, ketika lutut beradu paut,
siku bertaut dengan rapat, mata beradu kerling,
dan tangan bertumpu hangat mencumbu maut.
“Hmmm, aroma ini menyeruak lembut, menyergap hati
memompa jantung, melempar angan ke setiap arah
12 tahun lalu hingga kini tak mau pergi,
dari ruangan itu.
Semua menjadi resah, semua menjadi gelisah
semua menjadi gundah, tak ingin rebah.
Liur berpagut dengan gumpalan daging
tanpa tulang, lembut, namun berkarat
Seekor anak ular berbisa berlari dari takdir
menggigit apa saja yang menekannya
menyemburkan bisa pada penghalangnya
“Beri aku jalan, atau kurobek waktumu dengan paksa!”
sambil melompat, mendesak, melabrak, dan mendobrak
Maharaja kekacauan telah tercipta dengan sempurna,
di ruangan itu.
Jarum jam enggan bergerak,
Ingin bersaksi dan bercerita sebuah kemurkaan
dan katub lembut waktu bergerak penuh gairah
mencoba menepi di pelabuhan yang tampak rawan
melati menyambut wangi, karib bersahabat dengan
aroma keheningan sang kayu lapuk yang basah
di ruangan itu.
Di luar matahari berseri karena kemurkaan tak berdaya
bersenda gurau dengan angin sepoi beraroma melati
“Mari kita lanjutkan” menanam harapan di padang ilalang
Sementara judul - judul buku berlarian mengukir kisahnya
membentuk sebuah doa “Kiranya Tuhan memberi jalan”
Seteleh itu mereka berpegang tangan dan segera berlalu,
dari ruangan itu.
Di ruangan itu tersimpan sejuta harap,
12 tahun terdekap dalam gelisah yang sarat dan sekarat
Kulon Progo, 30 Des 2012
Komentar
Tulis komentar baru