Skip to Content

Hari-Hari Terakhir Para Tiran

Foto asepKnz

Di istana megah, mereka tertawa,
Kekuasaan di tangan, dunia di bawah tapak.
Fir’aun mengira dirinya dewa,
Namrud bangun menara menembus langit yang pekat.

Namun langit punya cara berbicara,
Bukan dengan suara, tapi tanda yang samar.
Katak melompat, air berubah darah,
Tetapi sang tiran meneguk anggur, tertawa riang di tengah musibah.

Hitler, di bunker bawah tanah,
Dengan globus retak, ia masih memegang arah.
“Arya tak mungkin kalah,” katanya penuh marah,
Padahal di luar, sejarah sudah mengiris takhta menjadi debu yang patah.

Namrud, yang menantang langit dalam sombong,
Tumbang bukan oleh raja atau prajurit garang.
Seekor nyamuk, sekecil itu,
Menghancurkan raja besar, memecah otaknya hingga tumpul.

Di gorong-gorong, Gaddafi bersembunyi,
Sang raja dengan mahkota ilusi.
Lari dari massa yang dulu ia tindas,
Kini ia diburu, tak lebih dari bangkai tanpa harga.

Napoleon, sang penakluk dunia,
Di pulau sepi, merenung pada gelombang yang tak peduli.
Rencana besar di kepalanya terurai,
Oleh angin yang dingin, oleh sejarah yang keji.

Dan Stalin, si penguasa besi,
Mati dalam kesendirian, ketakutan mencekik hati.
Penjaga takut mendekat,
Sang pemimpin besar terbaring sekarat tanpa martabat.

Mereka berpikir diri abadi,
Bahwa dunia akan tunduk, sujud di kaki.
Namun kekuasaan itu hanya ilusi,
Seperti bayangan di air, hilang saat disentuh realiti.

Birahi kekuasaan menuntun ke puncak,
Tetapi puncak itu rapuh, seperti langit retak.
Pada akhirnya, mereka semua jatuh,
Dunia tertawa, dan tiran-tiran pun musnah.

Fir’aun tenggelam di Laut Merah,
Namrud mati di tangan nyamuk yang tak kenal megah.
Hitler menelan peluru di kegelapan,
Stalin tercekik oleh bayangan pengkhianatan.

Sejarah menertawakan,
Mereka yang pernah mengira diri Tuhan.
Dan kita pun tahu pasti,
Bahwa tiran akan selalu mati dalam sunyi.

 
 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler