Skip to Content

IBU, BAGAIMANA AKU HARUS BERBAKTI

Foto Cahyamulia

Paradoks di dalam hati Iqbal telah begitu mengkristal. Paradoks antara harus berbakti kepada ibu dan perlakuan ibu yang kurang sayang terhadap dirinya yang telah dialami sejak kecil. Entah sejak kapan ia tak menerima rasa kasih sayang dari ibunya, yang jelas semenjak ia ingat hampir setiap hari tak ada hiasan yang ia terima kecuali bentakan ibunya. Apalagi jika ada sedikit kesalahan dalam hal sekecil apapun. Sementara sang ayah lebih banyak diam dan bertindak menghibur bilamana Iqbal menangis karena bentakan ibunya, entah itu dengan mengajaknya ke tempat kerja, membuatkan mainan, dan sebagainya. Toh sang ayah yang berkerja sebagai pekerja serabutan membantu tetangga dan sanak saudara yang dekat juga tidak terganggu ketika Iqbal turut serta. Begitupun dengan mengantar dan menjemput sekolah mulai dari TK dampai kelas 3 SD yang juga tidak jauh dari rumahnya.

Bagaimanapun rasa kasih sayang sang ibu kurang diterima, tapi hati Iqbal tetap berusaha untuk berbakti sebatas kemampuan yang ia miliki sebagai anak kecil. Rasa kecewa Iqbal kepada ibunya muncul ketika pada usia 10 tahun, atau waktu itu kelas 4 SD. Keretakan hubungan antara ibu dan ayahnya yang berujung pada perceraian yang ia saksikan dengan mata kepala sendiri, membuat Iqbal begitu terpukul.

“Iqbal, mulai hari ini ibu akan pergi dari rumah ini. Kamu ndak usah ikut. Ikut ayahmu aja !” bentak Mirna sambil marah di hadapan Iqbal dan suaminya.

“Sebentar, apa ndak kasihan dengan anak kita !” sanggah Supri pada istrinya.

“Ndak. Anak malah buat ribet ! jawab Mirna sambil berkemas-kemas pergi meninggalkan rumah.

“Kemana buk ?” tanya Iqbal menyela di tengah keributan dan ketegangan

“Nak usah tanya !” jawab ibunya sambil membentak.

Rasa kecewa Iqbal pada ibunya kian  lama kian tumbuh menjadi rasa benci, apalagi setelah ibunya bersuami lagi dengan pria yang lebih tinggi derajat sosialnya dibanding ayahnya. Kesombongan  Mirwan, suami ibunya, yang seringkali dipertontonkan dengan kemewahan hidup kian menambah kebencian Iqbal. Apalagi Iqbal mulai tumbuh menjadi remaja yang gampang terbawa oleh emosi. Untung saja Supri, sebagai ayah sanggup mendapingi anaknya sehingga Iqbal tidak sampai salah pergaulan.

“Pesan para guru di sekolah, pesan para ustadz di pengajian-pengajian, berbakti kepada orang tua terutama  ibu katanya wajib. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya jika melihat ibuku saja hatiku sudah merasa benci. Siapa yang salah jika aku tak mampu berbakti?” tulis Iqbal pada buku catatan sederhana untuk mencurahkan setiap kegalauan  hatinya.

Sejak berpisah dengan ibunya, memang Iqbal telah belajar menuliskan isi hatinya pada lembar-lembar kertas yang ditemui. Ayahnya meski seorang pekerja serabutan telah mengajarkan cara itu untuk meredam berbagai kekecewaan yang sering diterima sehingga hatinya bisa terhibur.

“Bal..., coba ambilkan tumpkan kertas yang ayah simpan di kotak plasik di pojok ruang shalat itu!” perintah Supri, ayah Iqbal pada suatu waktu ketika melihat Iqbal sering menyendiri setelah ditinggal ibunya.

“Ya, yah...,” jawab Iqbal sambil bergegas memenuhi perintah ayah.

“Apa yah ini isinya,” lanjut Iqbal sambil menyerahkan kotak berisi lembaran kertas pada ayahnya yang tengah istirahat siang.

“Gini le..., orang hidup itu pasti mengalami gembira, sedih, benci, marah, senang dan sebagainya. Nah..., lembar-lembar kertas ini adalah tulisan-tulisan ayah, terutama ketika memerima kekecewaan. Dan yang ayah rasakan setelah ayah tulis maka rasa kecewa yang tengah ayah terima cepat hilang dan hati menjadi tenang,” jawab Supri sambil menatap tajam mata Iqbal.

“Tapi ndak usah dibaca, nanti kamu ikut larut dengan tulisan-tulisan itu,” lanjut Supri.

“Saya apa bisa ya yah menulis seperti itu,” sahut Iqbal yang sejak semula mendengarkan dengan serius apa yang ayahnya sampaikan.

“Insya Allah bisa, dan pasti bisa,” jawab Supri

“Cobalah belajar, nanti akan kau  rasakan nikmatnya mencurahkan isi hati. Toh sekarang kamu sudah menginjak kelas satu esempe,” lanjut Supri.

Suasana hening sejenak. Iqbal yang sebelumnya nampak murung, raut mukanya berubah cerah dan penuh semangat.

“Ndak usah berfikir apa gunanya tulisan-tualisan yang kau goreskan. Ambil saja mamfaatnya sebagai cara curhat pada orang lain. Sebab kalau rasa sedih dan kecewa hanya kita pendam bisa jadi menjadi penyakit hati,” ucap Supri kembali memecah keheningan.

Sejak itulah memang Iqbal telah belajar menuliskan apa yang ia rasakan. Terutama rasa kecewa pada ibunya. Tapi dengan itu pula pribadinya kian tertata, sehingga mempengaruhi prestasinya di sekolah, pergaulannya dengan sesama teman, dan pergaulannya dengan tetangga.

Bahkan iapun bertekad bahwa pada saatnya ia akan mengubah sakit hati pada ibunya menjadi sebuah rasa cinta, meski entah sampai kapan ia bisa melakukan. Sebab ia menyadari bahwa berbakti tidak akan bisa dilakukan jika hatinya masih diliputi kebencian

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler