Cintaku kandas, terkurung dari yang bebas.
Rinduku bertaburan, mengais ingin dibelai.
Aku jadi menangis dari gelapnya hari.
Puisi-puisi hilang.
Kecupan jadi khayalan.
Mimpinya setinggi dosa menggoda.
Jadi kutulis dari yang tersisa.
Ohh, si Annelies terlalu diam dalam mengembara.
Dia terlalu takut pada situasi.
Dia ingin benar.
Kukatakan, demi cinta maka lah benar.
Dia diam.
Padahal hatinya ingin mencium berjuta kali hatiku.
Dia bodoh sekali!
Kenapa tak lepaskan kelambu kelabu, berjalan lah denganku.
Bersamaku kau kan temukan jiwa burung yang bebas.
Kau dan ku belajar menjadi jiwa yang bebas.
Mengapa tak satu pun sikapmu bergerak menjamah?
Lalu aku membaca.
Tembang melodi para Kumbang bernyanyi dari balik besi.
“misery…”
Melepasmu terlalu menderita bagiku.
Melepasmu menyita pandanganku pada kamar yang kayak ASU!
Maka Anneliesku, kemari lah sayang.
Buatkan aku satu cangkir kopi kesukaanku, yang pahit dan membuat lidah “issss…”
Annelies bagai eidelweisku,
Berlagak abadi tanpa tahu akan dibabat sang pendaki.
Annelies, jangankan kau tabur rasa marahku dengan ucapan selamat tinggal.
Coba lah, mencoba ikat cinta yang terlampau suci ini.
Tak ingin kah kau menanti matahari, yang menyipitkan mata kita kala kita memandang?
Annelies, tak ingin kah kau duduk di ujung lantai balkon dan bicara denganku saat senja?
Anak dan cucu yang liar bagai kita berpangku pada rumah panggung berkaki 10.
Kau dan aku berpangku dan digendong terus oleh cinta.
Ah Annelies,
Kenapa kau biarkan aku terus-terusan hidup dalam imajinasi?
Nah, nah…
Cukup lah sampai disini.
Mungkin aku kan berikan kopiku yang tumpah padamu.
Sisa-sisa…
Dari yang tersisa.
Cinta ku kandas.
Tak sempat tancap gas.
Udah lah saja!
Komentar
Tulis komentar baru