Sepertinya aku harus melipat kembali
kertas yang kusiapkan sejak malam tadi untuk menggerimiskan namamu, di antara suara sepi yang menggemuruh di ceruk nadi.
Engkau begitu hafal membaca matahari, jemarimu kokoh menunjuk seluruh arah angin, langkahmu kukuh mengundang gemintang. Sedang mataku retak mengintip rembulan dalam pengap usia.
Saat musim merengkuh masa, sebenarnya kita masih di sini. Menyatu dalam do'a, tanpa kata.
Ada satu catatan yang sempat tergurat di ranting2 mawar, aku akan memungutnya besok saat embun mulai menguyup daun.
Sebagai jawaban atas tanya yang berkelindan. Mungkin, rindu adalah layu bunga yang tak harus diratapi atau dimusuhi.
Dan pada akhirnya, sebagaimana aku. apakah engkau juga menunggu janji Tuhan ?
Komentar
kata-katanya terlalu padat
kata-katanya terlalu padat kawan!
terima kasih atas apresiasinya
meluncur begitu saja, kawan !
keren
keren
(,,,,_)
matur nuwun :)
matur nuwun :)
sajak yg indah ...
di antara kelima puisimu, ini yg plg sy suka
walaupun "Naskah Hujan" jg ckp kuat
lumayan matang. tentang rindu yg berkelindan
salut deh kpd Semut Kampung. ayo nulis terus ...
salam kenal ... :D
"Engkau begitu hafal membaca
"Engkau begitu hafal membaca matahari, jemarimu kokoh menunjuk seluruh arah angin, langkahmu kukuh mengundang gemintang. Sedang mataku retak mengintip rembulan dalam pengap usia"
dapat dari mana kata2 yg indah itu?
hemmm...begitulah
hemmm...begitulah
@ om edi : terima kasih, om.
@ om edi : terima kasih, om. senang dengan apresiasinya.
salam kenal juga om :)
@ reni : terima kasih, ren. maaf tak bisa jawab "dari mana"nya? :)
@ om ARZ : terima kasih, om. begitulah juga :)
Tulis komentar baru