Kau yang datang mengaku pawang mimpi
Kau yang mengusung dendam berjubah perduli
Untuk apa terus sesalkan hari esok kami?
Mengutuk hakim-hakim tua itu dengan api
sedang palunya terpinjam padamu saat ini
Coba sebentar berhentilah, becerminlah
Bukankah dendam itu pun bagimu samar?
Diwariskan sebagai belukar
yang tercerabut dari akar, yang terus kau asah
dengan penghakiman yang gelisah
Lebih mendekat dan lihatlah lagi
Kami pembajak lumpur, keringat timba sumur
Kekuatan kami adalah syukur
Tak secuilpun keinginan menebar api
Terlebih lagi menuai abu
Takkan subur ladang ini oleh ludahmu
juga oleh ludah kami sendiri
Kebencian takkan membuat kami bertahan
di sini, memaksa lemah kaki berdiri
saat badai menerjang tanah ini
Lebih mendekat dan dengarlah ini:
Sudah kenyang telinga dan mata kami
dipaksa mendengar, menyaksikan
kepalsuan dan kepalsuan lagi
Sudah kenyang mimpi kami dihianati
Berhentilah berjanji , berhentilah menyumpah
Jubahmu itu, lepaslah
Seperti kami, telanjanglah
Mari kita duduk di bangku yang sama dan bicara
dalam apa adanya hati, apa adanya air mata
Tentang tawa yang tawa, luka yang luka, tentang
apa yang terdengar di balik merdu nyanyian
apa yang terlihat di balik indah lukisan
siapa yang terinjak di balik tinggi pujian
Tentang di mana kau nanti jika sejarah terulang lagi
akan kah seperti dulu; angkat kaki?
Yang kami tahu, yang kami yakini, kami akan tetap
di sini
Di sini kami lahir
di sini pula kami mati
Komentar
Tulis komentar baru