Skip to Content

Bunga Setan di Tanah Leluhur

Foto asepKnz

Di desa terpencil yang tersembunyi di balik pegunungan Kalimantan, tumbuhlah kecubung liar di setiap sudut tanah. Desa Kuta Kelam, namanya. Bagi warga desa, kecubung bukanlah sekadar tanaman hias; ia adalah bunga yang membawa dua sisi, keindahan dan kegelapan. Bunga yang jika dipandang sekilas, terlihat menawan dengan kelopak ungu kemerahannya yang melambai lembut di angin. Namun, di balik kecantikannya, ada sesuatu yang menakutkan, sesuatu yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam bisikan-bisikan malam.

Waktu kecil, Raka sering mendengar kisah-kisah seram tentang kecubung dari neneknya. "Bunga setan," begitu neneknya menyebutnya. "Jangan pernah dekati kecubung saat bulan purnama, apalagi jika kau sedang tak waras," neneknya berkata dengan nada berbisik, seolah takut suaranya didengar oleh entitas tak terlihat. "Mereka yang berani, akan bertemu arwah-arwah penasaran, yang mencari jiwa-jiwa untuk dibawa ke dunia mereka."

Di setiap purnama, para orang tua di desa menutup pintu lebih cepat, dan anak-anak tak diizinkan bermain di luar. Suasana malam menjadi mencekam, hanya terdengar suara angin yang menggoyangkan dedaunan, sesekali disertai lolongan anjing di kejauhan. Bagi Raka kecil, kecubung adalah bunga yang harus dijauhi, meski rasa penasaran sering mengusiknya.

Tapi waktu berlalu. Raka tumbuh menjadi pemuda yang meninggalkan desanya untuk mengadu nasib di kota besar. Cerita-cerita mistis tentang kecubung lambat laun terlupakan, terkubur oleh kesibukan dan kehidupan modern. Raka tak lagi berpikir tentang bunga itu, hingga akhirnya, setelah bertahun-tahun merantau, ia kembali ke Kuta Kelam. Sebuah peristiwa tak terduga membuatnya pulang; panggilan jiwa yang tak bisa ia abaikan.

Desa Kuta Kelam, meski masih terpencil, sudah sedikit berubah. Beberapa rumah kini memiliki parabola, dan ada satu warung internet di ujung desa. Namun, satu hal yang tetap sama adalah kecubung. Tanaman itu masih tumbuh subur di banyak sudut tanah desa, seolah mengawasi setiap gerak-gerik penghuninya. Di sini, kecubung tetap dipandang dengan mata waspada, meski tak lagi menjadi cerita yang sering diceritakan.

---

Malam itu, Raka bertemu kembali dengan teman-teman lamanya. Ical, Wawan, dan beberapa pemuda desa yang dulu sering bermain bersama di lapangan kecil di tengah desa. Mereka berbicara panjang lebar tentang masa lalu, tentang betapa banyak yang telah berubah, namun juga betapa banyak yang tetap sama. Hingga akhirnya, dalam percakapan yang semakin larut, Ical menyinggung soal kecubung.

"Kau ingat kecubung, Rak?" tanya Ical dengan senyum licik di wajahnya. "Bunga yang nenekmu bilang bunga setan?"

Raka tertawa, mengingat kembali kisah-kisah lama. "Tentu saja ingat. Bunga yang katanya bisa membuat orang kesetanan. Itu hanya cerita untuk menakut-nakuti anak kecil, Cal."

"Tapi tidak semua orang berani mencobanya," sambung Wawan, mata mereka bersinar dalam gelapnya malam.

"Apa maksudmu?" tanya Raka, kini merasa sedikit penasaran.

"Kau tahu," jawab Ical, "di kota, orang-orang minum alkohol, menggunakan narkoba untuk bersenang-senang. Di sini, kami punya kecubung. Ini lebih dari sekadar cerita nenek-nenek, Rak. Kau mau coba?"

Raka merasa ragu. Tapi, dorongan dari teman-temannya dan rasa penasaran yang tak terbendung, membuatnya tak bisa menolak. Mereka mengajak Raka ke lereng bukit, tempat di mana kecubung tumbuh liar dalam jumlah banyak. Di sana, mereka duduk melingkar di sekitar api unggun kecil yang mereka nyalakan, siap untuk memasuki dunia yang katanya hanya bisa diakses melalui kecubung.

"Kau hanya perlu mengunyahnya, lalu minum air ini," kata Ical sambil menyerahkan segelas air berisi ekstrak kecubung yang telah disiapkan. "Rasanya pahit, tapi hasilnya... kau akan terbang, Rak. Terbang ke dunia lain."

Raka mengambilnya dengan tangan yang gemetar. Setelah sedikit ragu, ia meneguk minuman itu. Rasanya sangat pahit, getir, membuat tenggorokannya panas. Tapi efeknya tak lama datang. Dunia mulai berputar di depan matanya, warna-warni cerah menari-nari, dan suara-suara dari masa lalu mulai terdengar, semakin nyata.

Ia melihat neneknya, berdiri di depan kecubung yang besar dan indah, tersenyum kepadanya. Namun senyuman itu tak membawa kedamaian. Mata neneknya penuh peringatan, seolah mengatakan bahwa Raka telah melanggar batas yang tak seharusnya dilewati. "Raka, kau sudah melanggar tabu," neneknya berbisik, namun suaranya tenggelam dalam tawa-tawa yang semakin keras dan menyeramkan.

Raka merasakan tubuhnya melayang, entah ke mana. Waktu seolah tak lagi berarti. Ia melihat bayangan-bayangan menari di sekelilingnya, bayangan manusia, tetapi dengan wajah yang terdistorsi dan tubuh yang tampak meleleh. Raka ingin berteriak, tapi suaranya tak keluar. Dunia ini bukanlah dunia yang dikenalnya.

Entah berapa lama ia terjebak dalam kegelapan itu, hingga akhirnya ia terbangun di sebuah pondok kecil yang asing baginya. Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding bambu, menghangatkan wajahnya. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas, dan ingatannya kabur. Ia mencoba bangkit, namun dunia masih berputar di sekelilingnya.

Dengan langkah tertatih-tatih, Raka keluar dari pondok. Apa yang dilihatnya di luar membuat darahnya berhenti mengalir sejenak. Desa Kuta Kelam tak lagi tenang. Di mana-mana, orang-orang berlarian tanpa arah, tertawa histeris, atau menangis tersedu-sedu tanpa alasan. Mereka terlihat seperti orang gila, tak lagi mengenali satu sama lain. Beberapa bahkan bergumul di tanah, berteriak seolah-olah mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat.

Di tengah kekacauan itu, Raka melihat Ical terbaring tak bergerak di bawah pohon besar. Matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit biru, sementara bibirnya tersenyum aneh. Raka mendekatinya, mengguncang-guncang tubuh Ical, tapi tak ada respon. Ical sudah tak bernyawa.

"Ini wabah kecubung," suara seorang tetua desa membuat Raka menoleh. Tetua itu berdiri tak jauh dari mereka, memandang kejadian itu dengan tatapan sedih. "Kami sudah memperingatkan, tapi mereka tak mendengarkan. Sekarang, lihatlah apa yang terjadi."

Raka terduduk lemas, di tengah kehancuran yang ia saksikan. Ia mengingat kembali cerita-cerita neneknya, tentang kecubung, tentang arwah-arwah yang mengintai mereka yang berani melanggar tabu. "Kecubung tak pernah berubah, hanya kita yang lupa akan kutukannya," pikirnya dalam hati.

Dengan berat hati, Raka meninggalkan desa itu. Ia tahu bahwa ia tak bisa lagi tinggal di tempat yang telah dirusak oleh kecerobohan manusia dan keserakahan akan sensasi. Beban rasa bersalah yang ia bawa terasa lebih berat dari tubuhnya sendiri.

---

Dan, Desa Kuta Kelam? Ia kembali tenggelam dalam kesunyian, dengan kecubung yang terus mekar di setiap musim. Bunga-bunga itu tetap tumbuh liar di tanah leluhur, menjadi pengingat abadi bagi mereka yang datang setelahnya, tentang bahaya yang selalu mengintai di balik kecantikannya.

Bagi Raka, kenangan tentang desa itu akan selamanya menghantui. Ia tahu bahwa tak ada yang bisa mengembalikan apa yang hilang, dan bahwa kecubung bukanlah sekadar bunga. Ia adalah simbol dari sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, dan lebih berbahaya daripada yang bisa dilihat mata.

Itu adalah sebuah pelajaran yang didapatnya terlalu terlambat. Namun, akan selalu terpatri dalam ingatannya.***

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler