Kamal menyetujui permintaanku untuk meminjam buku setelah aku membayar utang sewa buku sebelumnya. Buku baru segera kumasukkan ke dalam tas usangku. Selesai urusanku lebih dulu karena aku didahulukan oleh Kamal. Aku sudah boleh pulang. Dan sebenarnya aku ingin segera pulang. Aku harus masak dan menumis kangkung. Tapi aku belum mau berpisah dengan Nur. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia. Aku belum puas memandang Nur seutuhnya. Aku ingin mendengar suaranya. Tapi keinginanku tidak terpenuhi. Kalau tadi ketika bertemu aku yakin dia tidak membawa buku sekarang dia pulang dengan beberapa buku. Lima – ya lima buku- ada di meja, masih belum dipegangnya karena Nur sedang melihat Kamal mencatat. Ah, Kamal, mengapa kau tidak mengajak Nur bicara. Mengapa kalian membisu.
Aku mendekati rak buku. Pura-pura melihat-lihat. Padahal aku ingin kembali melihat wajahnya, aku ingin bertatapan lagi. Aku ingin jantungku kembali berdebar-debar seperti tadi. Sensasi debarnya luar biasa.
Dan, akhirnya Nur beranjak meninggalkan ruangan tanpa bicara. Namun Nur sempat melirik sedetik. Detikyang membuatku terbang melambungkan khayal ke langit. Dan setelah itu aku melangkah gontai meninggalkan Kamal tanpa ba bi bu.
Aku potong kompas lewat SR Muhammadiyah, lewat Jalan Kenangan, tembus ke Jalan Baru, menyeberang dan sampailah aku ke salahsatu pintu dari lima kamar berderet yang memang disewakan untuk nereka yang butuh kamar. Hanya ada sebuah meja dengan dua tempat duduk di ruangan yang kutempati. Satu kursi dan satu lagi peti sabun yang kujadikan kursi. Tas usangku kesimpan dimeja. Isinya kukeluarkan, tentu saja termasuk buku yang baru kupinjam. Tapi semangat untuk membacanya tidak ada. Juga semangat untuk memasak dan menumis kangkung hilang. Aku menggelar tikar dan membaringkan badan. Di kamar yang tidak berlangit-langit itu aku lesu menatap genting dan sinar matahari siang yang menembus sela-selanya sambil berbisik sendiri. Nur ,,, oh ..Nurhayati….
Komentar
Tulis komentar baru