Hidup di lingkungan Yayasan Bina Mulia yang salah satu bidang usahanya bidang pendidikan memang lain dengan komunitas masyarakat pada umumnya. Meskipun bukan memiliki identitas sosial sebagai pondok pesantren tetapi sistem kehidupan yang dikembangkan persis seperti pesantren. Komunikasi antar personal setiap warga yang masuk pada lembaga tersebut menjunjung tinggi akhlaqul karimah. Kepemimpinan Pak Mulya sebagai pendiri yayasan mewarnai kehidupan sehari-hari warga di lingkungan yayasan.
Suasana itulah yang juga membuatku harus hati-hati untuk berbuat yang kurang pada tempatnya pada Pak Mulya meskipun hatiku terpikat kembali padanya. Aku berusaha keras untuk menata diri sebaik mungkin hingga tidak menimbulkan fitnah sehingga akan merusak semuanya.
Waktu-waktu senggangku terutama habis Maghrib sampai Isya’ aku habiskan di masjid kecuali ada keperluan khusus atau karena halangan. Aku berusaha mendidik diriku sendiri untuk lebih baik dari saat-saat sebelumnya.
Ramadhan merupakan titik awal aku mempernbiki diri. Apalagi kebijakan lembaga mewajibkan semua tenaga guru maupun karyawan, termasuk juga tenaga yayasan beserta keluarganya untuk mengikuti pembinaan khusus. Kegiatan yang dirancang untuk persiapan diri dan mental dengan semua biaya ditanggung oleh yayasan. Bahkan termasuk juga berbagai kue dan pakaian lebaran merupakan bagian yang di anggarkan.
Memasuki pertengahan Ramadhan ada keinginan kuat dalam hatiku untuk mengenakan mukena merah muda. Mukena yang pernah membuat hatiku menjadi tentram ketika aku pakai dan aura keluar dari wajahku kian anggun.
“Aku tunjukkan pada Pak Mulya yang belum pernah tahu ketika kukenakan mukena ini. Aku tunjukkan sebagai rasa terimakasihku karena beliaulah yang memberikan dan memilihkan,” bisikku dalam hati.
Fajar merekah pada pertengahan Ramadhan. Sementara bulan purnama juga belum menghilang di ufuk barat. Paduan dua cahaya pagi itu menguatkan semangatku untuk berjalan menju masjid yayasan yang hanya berjarak limapuluh meter dari perumahanku. Kaki kuayunkan perlahan dan hampir seluruh tubuhku telah kubungkus dengan mukena merah muda. Apalagi hari itu hari pertama aku dalam keadaan suci setelah beberapa hari terhalang karena kodrat kewanitaan.
“Subhanalloh, mbak Wulan ya,” sapa Mbak Nita yang keluar dari pintu rumah dan diikuti oleh Pak Mulya.
“Iya mbak,” jawabku sambil menghentikan langkah.
“Seperti bersinar,” lanjut Mbak Nita sampil menepuk bahuku.
Aku hanya melempar senyum dan perlahan mulai mengayunkan langkah bersama. Sementara Pak Mulya berjalan di belakang kami.
“Pak,” sapaku ke Pak Mulya sambil menoleh dan melempar senyum.
Pak Mulya hanya tersenyum manatapku. Hatiku bedesir meski senyum pak Mulya hanya kunikmati sepintas. Aku berusaha menahan hati den segera mengalihkan dengan cara diam sejenak sambil menunduk.
Seminggu sampai dua minggu setelah aku suci dari hadats besar, sesuai dengan pengalamanku selama ini adalah saat-saat kondisi psikologis sangat stabil. Tampilan fisikku lebih banyak menarik dan aura wajahku mencapai kondisi optimal. Seperti halnya sekuntum bunga, saat-saat itulah lebih banyak mengundang kupu-kupu dan aneka serangga. Aku tidak memungkiri kodrat itu. Saat itu aku berusaha untuk membuka harum wewangianku untuk mengundang simpati.
Di tempat kerjaku, baik ketika bersama Pak Mulya maupun ketika membantu menyiapkan penerimaan siswa baru di lembaga pendidikan aku usahakan tampil secara fisik dan akhlak yang maksimal. Maksimal, bukan berlebihan. Karena aku tahu sendiri Pak Mulya lebih suka pada yang alamiah. Dunia seni, terutama musik dan sastra yang menjadi hobinya memberi warna hidupnya dengan tampilan dan tutur kata yang biasa-biasa saja meski sebenarnya beliau dengan kemampuan ilmu dan hartanya bisa saja bersikap sombong. Aku sangat memahami semua itu karena telah begitu lama aku bersamanya.
Lima hari jelang idul fitri mebinaan karyawan beserta keluarganya ditutup. Semuanya diberi kesempatan untuk mempersiapkan hari raya bersama keluarga masing-masing.
“Mbak Wulan, rencana mau pulang kapan?” tanya Mbak Nita usai penutupan kegiatan.
“Kalau ndak ada hal lain yang saya selesaikan jelang idul fitri, insya Allah sore nanti pulang. Insya Allah ba’da Ashar berangkat,” jawabku.
“Sebenarnya secara formal semuanya sudah selesai. Tapi kalau seandainya saya minta tolong apa bisa ya. Tapi resikonya insya Allah tambah satu hari lah di sini,” lanjut Mbak Nita menegaskan.
“Ndak terlalu berat kok, hanya butuh keikhlasan dan sedikit berfikir,” sambungnya.
“Insya Allah, dengan senang hati,” jawabku.
“Ya.....insya Allah besok aja. Karena hari ini kita sudah cukup banyak kegiatan,” tegas Mbak Nita.
Tak ada rasa kecewa sedikitpun dengan penundaanku pulang. Aku segera menghubungi keluarga kalau pulangku aku tanda satu hari karena harus menyelesaikan pekerjaan. Akupun tidak berfikir apapun baik untuk diriku sendiri maupun keluarga di rumah karena persiapan hari raya aku anggap cukup, termasuk sedikit membantu kedua orangtua, adik, dan kemenakanku.
“Mbak Wulan nanti malam tidur di rumahku aja ya. Di lingkungan ini kan tinggal tiga rumah yang ada penghuninya. Dari pada sendirian di rumah,” pinta Mbak Nita sore itu ketika kami berangkat ke masjid saat maghrib.
“Saya dah biasa sepi dan sendirian kok. Ndak apa-pa,” balasku.
“Ndak, gini maksudku. Sekalian nanti memulai apa yang tadi saya pinta biar besok selesai dan mbak Nita bisa segera pulang,” lanjut Mbak Nita menjelaskan.
“Eemm..., kalau gitu ndak apa-apa. Nanti habis tarwih, setelah ganti tak segera ke rumah,” jawabku menegaskan.
Meskipun mau bermalam, aku upayakan tampilanku cukup cantik. Ya, tidak aku pungkiri karena aku jelas ketemu Pak Mulya. Aku pilih kaos hijau toska dan jilbab hijau lumut serta bawahan hijau lumut. Meski bukan pakaian yang dulu, warna inilah yang kupakai saat aku bersama Pak Mulya di stadion. Dan aku sengaja kalung yang kupakai terlihat bergelantung di luar kaosku dengan menalikan ujung jilbab ke leher belakang.
Setelah aku berada di rumah Mbak Nita, aku bertanya-tanya dalam hati. Mulai ba’da tarwih, jam delapan malam kurang sedikit sampai jam setengah sepuluh malam kok ndak ada yang dikerjakan. Aku hanya diajak ngobrol dan bercerita ke sana kemari oleh Mbak Nita. Tapi aku juga tidak berani menanyakan apa yang sebenarnya di tugaskan.
Hampir jam sepuluh Pak Mulya nimbrung di antara pembicaraan kami setelah beliau pulang dari masjid. Sekitar satu jam kami ngobrol tapi ndak ada tugas apapun.
“Hampir jam sebelas malam, kita tidur aja. Kita lanjutkan besok aja. Ayo mbak Wulan, di kamarku aja,” ajak Mbak Nita.
Mbak Nita bigitu enaknya kalau tidur. Rebahkan badan, doa, beberapa menit lagi sudah pulas. Sementara aku begitu lama untuk memulai tidur. Sudah berdoa, beerapa kali baca al-fatihah dan beberapa surat pendek belum juga bisa tidur. Apalagi katanya suruh bantu menyelesaikan apa juga belum jelas hingga saat ini.
Waktu sahur tiba. Jam tiga lebih sedikit. Ketika aku bangun Mbak Nita sudah tidak ada. Kedengarannya sudah di dapur. Dengan agak malu akupun segera menyusul dan ikut menyiapkan apa yang sekiranya belum siap. Setelah kami siapkan di meja makan Pak Mulya menyusul, dan rupanya sudah dari masjid karena sudah berpakaian rapi. Dan kemudian kami makan bertiga.
Aku terdiam sejenak sebelum memulai makan karena rasanya seperti di rumah sendiri. Padahal posisiku adalah staf di keluarga Pak Mulya. Ketika mulai makan, tiba-tiba Mbak Nita meletakkan sendoknya dan berurai air mata. Aku sendiri sempat bingung di buatnya.
“Tahan Nita. Jangan terlampau terbawa perasaan. Masak masih seperti sahur pertama di awal Ramadhan,” ungkap Pak Mulya yang juga sambil meletakkan sendoknya.
Aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi sampai Mbak Nita menangis seperti itu. Akupun menatap dengan kebingungan sambil menghentikan makan sahurku. Selanjutnya Pak Mulya berdiri merangkul Mbak Nita agar senahan tangisnya.
“Maaf pak, saya kembali terbawa perasaan,” jawab Mbak Nita sambil perlahan menghentikan tangisnya.
“Tapi beda pak, kalau makan sahur pertama kemarin hatiku merasa sepi karena kita sahur berdua. Padahal aku rindu makan sahur bersama ibu. Dah cukup lama aku tidak makan sahur bersama ibu, karena bertahun-tahun aku ada di negeri orang,” lanjut Mbak Nita mengungkapkan perasaannya dengan dihiasi isak tangis.
“Dan kali ini aku teringat kembali pada ibu saat kita makan sahur bertiga empat tahun yang lalu ketika kita berpisah jelang keberangkatanku ke Istambul,” lanjut Mbak Nita sambil mengeraskan tangisnya.
Akupun turut menangis merasakan sambil menunduk. Aku larut dalam kesedihan yang dialami mbak Nita. Sementara Pak Mulya hanya meneteskan air mata dengan tetap duduk di kursi tempat makan.
“Sudahlah, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kita doakan saja almarhumah ibumu dan memang seorang anak wajib mendoakan kedua orang tuanya,” tegas Pak Mulya.
Suasana hening. Air mata Nita berhenti mengalir. Demikian juga air mataku. Akhirnya makan sahur kami sudahi tinggal menkmati minum dan makanan ringan.
“Pak, Mbak Wulan sengaja saya tahan sehari dan saya ajak tidur di sini karena memang saya perlu bantuannya,” ungkap Mbak Nita membuka kembali pembicaraan.
“Tadi malam belum sempat saya sampaikan karena memang saya sendiri masih perlu meredakan beban fikiran setelah berhari-hari fokus kegiatan lembaga,” lanjut Mbak Nita.
“Ya, sampaikan saja,” jawab Pak Mulya singkat sambil menatap kami berdua.
“O ya. Apa perlu waktu dan menguras tenaga. Soalnya kasihan. Kelihatannya sudah membayangkan rumah,” lanjut Pak Mulya sambil senyum dan menatapku.
“Ndak Pak, hanya perlu rasa ikhlas dan berfikir,” jawab Mbak Nita menegaskan.
“Lha...ini spesial urusan berdua pa gimana. Kalau urusan berdua saya tak meninggalkan tempat dulu,” sahut Pak Mulya.
“Urusan bersama Pak. Malah Bapak yang harus memberikan pertimbangan,” lanjut Mbak Nita menegaskan.
“Silakan gimana,” sambung Pak Mulya.
Aku hanya terdiam dan masih merasa kebingungan dengan apa yang akan disampaikan. Begitu juga dengan Pak Mulya juga belum tahu apa yang hendak Mbak Nita sampaikan.
Mbak Nita menata tempat duduk dan menunjukkan keseriusan seperti halnya ketika memimpin rapat lembaga. Matanya menatap kami secara bergantian.
“Maaf mbak Wulan ya,” lanjut Mbak Nita dengan suara lembut dan tersenyum padaku.
“Masalah ini sebenarnya sangat pribadi. Tapi karena mbak Wulan juga berada di lembaga ini saya kira ndak apa-apa saya sampaikan di sini,” tegas Mabak Nita dengan tetap tersenyum padaku.
Pembicaraan berhenti sebentar. Aku tetap menatap serius pada Mbak Nita. Demikian juga Pak Mulya. Aku jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya mau disampaikan. Modelnya persis Pak Mulya kalau mau menjelaskan soal yang sangat penting. Mesti senyum, perlahan, tapi nanti tiba-tiba mesti mengena dengan tajam. Hatiku berdebar keras karena bisa jadi akan mengoreksi diriku.
“Saya lanjutkan Pak ya,” ijinnya pada Pak Mulya.
“Ya teruskan. Kan belum menyampaikan sesuatu. Masih mau masuk aja seperti ndak tahu jalannya,” sahut Pak Mulya.
“Mbak Wulan.,” tanya Mbak Nita sambil berdiri mendekatku dan menepuk bahuku.
“Maaf, jangan tersinggung dan jangan membuat hati kurang enak ya,” lanjut Mbak Nita dengan sedikit menekan bahuku sambil duduk berimpit denganku.
“Mbak Wulan sebenarnya mau nikah kapan sih. Kan sudah cukup usia. Masak nanti kedahuluan saya,” tanya Mbak Nita sambil merangkul erat pundakku.
Aku terdiam dan sedikit kebingungan mau jawab gimana. Aku menunduk dan kemudian air mataku menetes. Diam dan diam sejenak. Akhirnya sambil menahan hati dan air mata tiba-tiba aku menggelengkan kepala.
Mbak Nita berdiri dan berpindah tempat di sebelah kananku. Aku memang seperti terpenjara jika di tangan soal itu. Sementara di sisi kanan Mbak Nita, Pak Mulya juga duduk sambil terbengong pula.
“Nah gini. Gimana kalau Bapak menikah dengan Mbak Nita,” pertanyaan Mbak Nita sambil menepuk tangan ayahnya yang diletakkan di meja makan.
“Gimana Mbak Wulan,” tanya Mbak Nita sambil menggucang bahuku serta menatapku dengan senyum.
Aku tertunduk dan terdiam bisu, Pak Mulya tetap terbengong-bengong, sementara Mbak Nita tertawa kecil sambil berdiri di antara kami.
Pak Mulya meraih kopi karena memanfaatkan waktu yang tinggal sepuluh menit jelang shubuh.
”Gini lho, saat ini usia Bapak kan sudah kepala eman, gimana ya,” sahut Pak Mulya serius.
“Lho, katanya dulu kalau sudah usia lanjut mau ikuti pendapat anak. Kakak dan adik sudah saya mengijinkan dan diserahkan saya untuk menindaklanjutinya,” sahut Mbak Nita kemudian.
“Gimana Mbak Wulan,” lanjut mbak Nita ganti menanyaiku sambil mengguncang bahuku.
Suasana menjadi hening. Pak Mulya diam menatap kejauhan. Mbak Nita tetap berdiri di antara kami dan tetap merangkul bahuku. Dan aku sendiri diam tertunduk.
Suara tarhim jelang subuh berkumandang pertanda sebentar lagi memasuki shubuh. Kami otomatis menutup makan sahur dengan meneguk air minum yang ada di depan kami masing-masing.
“Semua kita renungkan kembali terlebih dahulu. Kita perlu kejernihan hati untuk memutuskan hal seperti ini. Kita tidak tahu apakah yang kita putuskan akan membawa kebaikan ataukan malah menjadi petaka. Kita persiapan sholat shubuh dulu dan sama-sama ke masjid,” ungkap Pak Mulya sambil sama-sama beranjak dari meja makan.
Shubuhpun tiba. Aku sengaja agak terlambat karena hati dan fikiranku masih dipenuhi oleh masalah yang harus aku pertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Akupun terlambat pulang dari masjid karena ternyata kekhusukan doaku yang mungkin bercampur lamunan dan lain-lain membuatku seperti berada di alam lain.
“Mbak... Mbak Wulan...,” tegur Mbak Nita lembut sambil duduk di sampingku dan ternyata sudah ganti pakaian.
“Tertidur ya,” lanjutnya.
Aku agak terkejut. Aku diam dan hanya membalas dengan senyum serta menatap dari kerling mataku.
“Maaf ya, sekali-kali apa yang kutawarkan jangan sampai memberatkan fikiran dan perasaan,” tegasnya.
Kuhela nafasku dalam-dalam. Kutatap serius Mbak Nita yang telah menggeser duduk tepat di depanku. Namun akupun belum bisa menyampaikan sepatah katapun. Kami hanya saling memandang dan entah apa yang dirasakan masing-masing.
“Maaf ya,” sahutku kemudian dengan menatap tajam pada Mbak Nita yang juga begitu nampak serius setelah kuhirup dan kulepas nafas dalam-dalam beberapa kali.
“Kalau saya hanya berfikir dan mempertimbangkan untuk diriku sendiri, jujur saya ikhlas menerima. Saya ndak berfikir berapa perbedaan usia. Tapi saya juga berfikir tentang hubungan sosial maupun psikologis di antara kita,” sambungku.
“Yang paling aku takutkan, jika kehadiranku malah membawa retaknya silaturrahim di dalam keluarga. Dan lebih jauh dari itu, bilamana ditakdirkan aku punya anak yang menjadi bagian dari keluarga kita, malah kian membawa keretakan,” jelasku.
Mbak Nita tetap menatapku dengan serius dan tiba-tiba meneteskan air mata. Akupun merasa ndak kuat menahan air mataku karena merasakan ucapanku sendiri yang seperti mengalir begiru saja.
Kami sama-sama terdiam. Kami rasanya tidak bisa meneruskan pembicaraan.
Sinar matahari juga sudah memasuki ruangan masjid. Aku rasakan kenyataan yang aku alami lebih menyadarkanku dari pada sekedar membaca aya-ayat Al-Qur’an.
“Nah, gini. Akhirnya ketemu jawabannya. Insya Allah kalau secara sosial dan psikologis saya dan kedua saudara kami sudah siap. Kami sudah membicarakan. Tapi memang Bapak belum pernah diberi tahu,” sahut Mbak Nita meneruskan pembicaraan.
“Terus terang mbak. Di bulan Shafar nanti saya mau menikah. Karena itu saya sangat bersyukur sebelum itu Mbak Wulan sudah menjadi ibuku,” lanjut Mbak Nita.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya pasrah. Bukan karena aku saat ini menjadi karyawannya, tapi entah kenapa tiba-tiba hatiku luluh secepat itu menerimanya. Namun bukan sebenarnya aku terpaksa, karena sejujurnya kalau cinta kasihku pada Pak Mulya memang telah kurasakan tumbuh kembali. Sehingga apa yang baru saja kami alami bagaikan zat perangsang tumbuh yang menggugah akar yang tertaman di dalam bumi menjadi cepat menumbuhkan tunas.
Setelah hening sejenak, kami segera beranjak dari masjid. Meski seharusnya aku ngantuk dan letih karena menerima beban yang cukup berat bagiku, telah berubah menjadi semangat hidup baru. Semangatku tumbuh. Fikiranku kembali cerah. Dan hatiku telah merasakan keteduhan.
“Yah...meskipun bagiku cukup menggembirakan, tapi aku harus tepat berhati-hati dan tenag untuk melangkah,” bisikku dalam hati sambil mempersiapkan diri untuk pulang setelah sebelumnya aku pamitan dulu dengan Pak Mulya dan beberapa orang yang masih ada di lingkungan perumahan yayasan.
Hatiku begitu ceria dan aura wajahku cukup anggung ketika memasuki lebaran. Beda dengan lebaran sebelumnya yang begitu menyakitkan.
“Yah, anakmu begitu cantik dan seperti remaja kembali,” ucap ibuku pada ayah ketika kami mau berangkat Sholat Id bersama di tanah lapang.
“Mumpung cantik cepet di carikan jodoh yah,” sahut Irma yang sedang menutup pintu dan menghapiri kami.
Ayahku hanya tersenyum sambil memandangi kami bertiga. Aku sendiri hanya tersenyum dan kurang begitu menanggapi apa yang mereka sampaikan. Yang ada dalam hatiku adalah sebuah suasana keteduhan karena telah terbuka jalan menuju kepastian langkah hidupku selanjutnya. Aku yakin bahwa aku akan memasuki episode perjalanan hidup yang menjadi dambaan hatiku setelah sekian lama berjalan dengan gontai dan ketidakpastian.
Ada yang menggoda dan ingin menghampiriku kala lebaran tiba melui kakakku. Saat itu di hari kedua lebaran. Tapi aku tak menanggapi sedikitpun. Aku hanya ngobrol sederhana dan mencoba menutup diri untuk membicarakan persoalan pribadiku.
“Assalamu’alaikum,” panggilan telepon WatsApp aku terima yang rupanya dari Mbak Nita.
“Rumahnya Mbak Wulan tetep yang dulu itu ya,” tanyanya.
“Ini saya mau ke situ. Dan dah masuk gang,” lanjutnya.
“O iya. Pas saya di rumah beserta semua keluarga,” jawabku.
“Siapa?” tanya Kak Rowi yang masih duduk berdampingan dengan tenam lelaki yang baru diperkenalkan padaku.
“Atasanku kak,” jawabku.
“Ndak kak! Kak Rowi di sini aja. Kita terima tamu sama-sama,” lanjutku sambil menahan Kak Rowi dan temannya yang hendak meninggalkan kursi.
Mbak Nita berserta Pak Mulya dan keluarga lainnya memasuki rumahku dan langsung kami persilahan duduk. Mbak Nita yang membawa oleh-oleh dan langsung menuju dapur serta meletakkannya tanpa minta ijin lebih dulu. Ia seperti biasa saja.
Ayah dan Ibuku datang dan segera menemui kami yang sedang berkumpul di ruang tamu dengan jajanan seadanya. Hatiku mulai ndak karuan. Terguncang. Sehingga membuatku bingung sendiri seperti ndak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Pak,” sapa ibuku sambil tertawa lirih pada Pak Mulya serta diteruskan dengan jabat tangan pada semua yang ada hadir.
“Alhamdulillah. Selamat ya semuanya,” sela ayah sambil berjalan mengikuiti ibuku.
Suasana menjadi ceria dengan berbagai bicara, cerita dan tawa bersama. Termasuk juga lelaki yang diperkenalkan Kak Rowi kepadaku. Semua larut dalam kegembiraan tanpa batas derajat di antara kami. Semua tercipta karena memang keluarga Pak Mulya terbiasa membawakan diri seperti itu.
“Pak...Buk...,” Maaf ini tadi kami agak merepotkan. Ndak janjian lebih dahulu,” ungkap Mbak Nita memecah canda tawa kami.
“Ndak apa-apa. Suasana hari raya kan biasa seperti ini. Malah kami begitu bahagia bila Mbak dan semuanya sudi mengunjungi kami,” jawab ayahku sambil tertawa kecil.
“Alhamdulillah. Pak, Buk, Mbak Wulan di tempat kami kelihatannya sangat cocok. Kemampuannya sangat mendukung dan mejadikan kami lebih terbantu,” lanjut Mbak Nita menegaskan.
“Alhamdulillah. Malah kami agak kaget ketika pulang. Ia tampak lebih ceria, cantik, dan begitu bersemangat,” sahut ibuku yang kemudian diikuti dengan tertawa ceria oleh semua yang hadir.
“Karena itu Pak..., Buk...... saya mewakli kedua saudara kami. Ini kakak dan ini adik meminta kepada bapak dan ibuk untuk mengikhlaskan Mbak Wulan bisa menjadi bagian dengan keluarga kami,” jelas Mbak Nita.
“Lho, jelasnya?” tanya ibuku agak terkejut.
“Gini Pak... Buk... Putrinya mohon diikhlaskan untuk bisa mendampingi ayah kami, menggantikan almarhumah ibuk kami,” sambung Raihan putra Pak Mulya menegaskan.
Suasana menjadi hening. Masing-masing seperti terbengong-bengong. Aku sendiri terkejut karena secepat itu proses berjalan. Padahal aku sendiri berlum bercerita pada kedua orangtuaku.
Ayahku mendongakkan wajah sambil tersenyum dan menarik nafas dalam-dalam. Tatapan matanya nampak serius tertuju padaku. Akupun akhirnya tertunduk.
“Begini,” sahut ayahku memecah ketegangan sambil kembali menghirup nafas dalam-dalam.
“Khususnya pada Pak Mulya, kalau saya ikut saja pada anakku yang mau menjalani. Toh sudah cukup umur, mampu menimbang, dan memang telah waktunya,” lanjut ayah.
“Gimana Buk?” tanya ayah pada ibuku meminta pertimbangan
“Ikut ayah aja,” jawab ibuku serius
“Kamu Rowi?” tanya ayah pada kak Rowi
“Sangat mendukung yah,” jawab Kak Rowi
“Nah, sekarang tinggal yang mau menjalani,” tegas ayah sambi menatapku.
Aku hanya tersenyum dan menunduk sambil memainkan jari-jari kaki. Tubuhkupun gemetar karena semuanya mendukungku.
“Maaf mbak Nita, ini tadi saya cukup terkejut,” sahut ibuku.
“Lha Wulan ndak belum pernah ngomong apapun,” lanjutnya.
Selepas keluarga Pak Mulya meninggalkan rumahku suasana keluargaku sedikit hening. Semua larut dalam fikiran dan perasaannya masing-masing. Sampai-sampai teman kak Rowi yang menyaksikan kejadian itu kurang kami perhatikan. Ijin pulangpun tidak menjadi perhatian sepenuhnya.
Meskipun hatiku merasa bahagia, namun juga sempat kelabakan. Aku seperti di serang secara bersamaan hingga tak ada kesempatan untuk memberikan memberi tangkisan. Akupun sebenarnya secara mental kurang begitu siap, tapi karena semua keluarga mendukung maka aku harus membahagiakan mereka. Aku memang tidak merasa terpaksa tapi sebetulnya butuh waktu untuk merenungkan. Karena aku memang temasuk tipe pribadi yang agak sulit mengambil langkah cepat.
“Tapi biarlah, aku syukuri saja. Kalau tidak seperti ini aku juga sulit untuk menyampaikan pada kedua orangtuaku,” bisikku dalam hati.
Dengan waktu tidak terlalu lama, di bulan Syawal itu pula pernikahan kami laksanakan dengan sementara waktu belum ada pesta kecuali tasyakuran dengan mengundang keluarga dan tetangga. Demikian juga di lingkungan Yayasan Bina Mulia juga kami lakukan tasyakuran secara interen serta melibatkan masyarakat sekitar. Baru dua bulan kemudian, tepatnya Bulan Dzulhijjah kami laksanakan pesta pernikahan dengan mengundang teman-teman lama, teman Pak Mulya, tetangga dekat maupun jauh.
Memasuki bahtera rumah tangga dengan mantan atasan, dengan perbedaan usia yang jauh memang tidak semudah yang dibayangkan. Rasa hati, pelayanan hubungan suami istri memang tidak menghadapi hambatan, meksipun aku juga harus menguatkan kendali pemenuhan hubungan kami. Yang agak lama dan sulit kami ubah adalah dalam hal komunikasi lisan. Ya, maklum. Merubah panggilan karena menyesuaikan status dari atasan menjadi istri memerlukan pembiasaan.
“Aku harus memanggil gimana ya,” bisikku dalam hati ketika kami mulai memasuki hari pertama berumahtangga.
“Aku akan panggil mas, kok belum pantas. Aku panggil Pak, kok juga kurang pas,” bisik hatiku selanjutnya.
Hari pertama memasuki bahtera rumah tangga akhirnya aku hanya banyak senyum. Disamping masih banyak anggota keluarga yang ada di rumah juga karena masih belum biasa harus panggil gimana.
Bukan hanya aku. Ayahku, ibuku, juga masih merasa kikuk karena memang usianya hampir seimbang.
Tapi untuk menunjukkan kemesraan dan memposisikan sederajat dengan agak malu aku juga memaksakan diri panggil Mas pada suamiku.
“Mas,” ajakku manja pada suamiku hari pertama memasuki bahtera rumah tangga sambil menarik lembut tangannya.
“Yuk ganti dulu,” ajakku selanjutnya sambil melangkah ke kamarku.
“Aku memang pertama kali memasuki rumah tangga meskipun sebelumnya aku begitu terpikat dengan suamiku yang kala itu masih beristri. Aku yang dulu pernah manja dengannya hingga mebuatnya begitu lekat denganku, maka kini saatnya aku bisa berbuat lebih dari itu,” bisikku dalam hati.
Kemesraan yang aku mulai memang membawa pengaruh besar pada rumahtanggaku selanjutnya. Rasa kasih sayang, kegairahan hidup, pemecahan masalah, dan keintiman lebih cepat tercipta dengan mudah. Lagi pula suamiku yang telah begitu lama membina keluarga, membesarkan anak-anaknya, serta memimpin lembaga juga memberikan layanan padaku dengan penuh bijaksana.
Episode perjalanan hidup dalam berumahtangga memang kusadari tidak begitu panjang. Karena itu tekadku adalah membuat akhir perjalanan hidupku penuh kebahagian dan tidak merasakan berat menanggung beban.
Aku teringat betapa ‘Aisyah hadir mendampingi Rasulullah dengan perbedaan usia yang juga begitu jauh. ‘Aisyah bagiku tipe wanita yang begitu bijaksana meladeni sang suami yang telah cukup usia. Ya, tekadku begitu kokoh sperti itu.
Secara pribadi aku sangat bersyukur bisa berdampingan dengan mas Mulya. Langkah pertama kali membangun komunikasi dalam keluargapun juga dilakukan dengan musyawarah.
Hal yang sangat sensitif menyangkut harta benda beliau utamakan sebelum kami melangkah lebih jauh mewujudkan rumah tangga baru. Dipilah dan dimusyawarahkan mana harta benda yang diusahakan dengan almarhumah istri pertamanya dengan melibatkanku dan anak-anaknya. Demikian juga harta benda yang diusahakan secara pribadi dan yang ditasyarufkan untuk yayasan. Dan alhamdulillah semuanya merasa puas dengan caranya yang penuh kearifan.
Ketiga anaknya dengan istri pertama telah diberikan hak milik sesuai dengan kemampuan yang ada. Lembaga yang dirintis dinotarialkan dan menjadi milik bersama. Sedang aku disiapkan harta beserta dua anak. Dengan catatan bila nanati hanya satu anak maka cadangan untuk satu anak dimasukkan pada lembaga yang dimiliki bersama.
Rasa bahagiaku begitu tinggi kala mendengar tata kehidupan yang cukup adil seperti itu, hingga rasa bahagiaku begitu berpengaruh pada janin yang kukandung ketika mendekati usia kandungan empat bulan. Ya, sangat terasa. Dan sangat terasa lagi ketika anakku lahir dan tumbuh normal dengan memiliki jiwa kewibawaan sejak kecil.
Lima tahun berumah tangga adalah masa kritisku dalam membangun rumah tangga. Saat itu anakku pertama berusia tiga setengah tahun dan aku sedang mengandung anak kedua. Tapi masa kritis itu bukan menyangkut masalah yang begitu mendasar. Suamiku terkena stroke pada kaki kanannya. Namun alhamdulillah segera tertolong sehingga tidak sampai membuatnya terkendala dalam beraktivitas.
Dalam kondisi seperti itulah ketiga anaknya yang juga sudah berumahtangga semua mulai membagi diri agar beban yang ditanggung ayahnya segera dibagi-bagi. Demikan juga denganku. Aku yang tengah mengandung anak kedua lebih banyak diamanahi untuk mengurus suamiku terutama mengedit beberapa tulisan yang siap diterbitkan di media yang ia rintis pula.
Ada sebuah transformasi tanggung jawab terhadap aneka usaha yang dikembangkan suamiku dengan kondisi fisik yang diterima. Ia malah mensykuri telah diingatkan Allah dengan srooke ringan yang diterima.
“Alhamdulillah,” ucap Mas Mulya suamiku dihadapan keluarga ketika srooknya sudah membaik dan mendekati normal.
“Alhamdulillah,” jawab kami serentak saat kami berkumpul.
“Tapi mungkin lain lho ya syukurnya Bapak dengan syukur kalian semua,” sambung suamiku.
“Kok lain gimana Pak,” sahut Nita
“Kalau saya bersyukur karena sakit. Tapi mungkin kalian bersyukur bahwa saya mulai sembuh,” jawab suamiku yang menjadikan semua tercengang.
“Lho, kok malah bersyukur karena sakit,” sahutku.
“Lha, ini yang sebagian besar orang tidak mengerti,” jawab suamiku yang makin membuat kami tercengang.
“Kenapa aku kok bersyukur dengan sakitku?” tanya suamiku seperti menguji kami semuai.
“Masak ndak ada yang bisa menjelaskan?” lanjutnya menegaskan
Kami semua terbengong dan malah saling memandang. Sementara suamiku terus tertawa kecil mengiringi kebingunganku untuk menjawab. Nita yang biasanya begitu cepat dan tanggap juga belum bisa memikirkan jawaban.
“He...he...he..., gini. Kalu bapak ndak sakit belum tentu Raihan bisa mengendalikan pembinaan ekonomi warga secara mandiri, belum tentu Qonita bisa mengendalikan lembaga pendidikan secara mandiri, belum tentu Hamdan bisa mengendalikan berbagai kegiatan seni secara mandiri. Dan belum tentu terwujud kerjasama antar kalian yang penuh keguyuban. Demikian pula istriku tercinta ini belajar menangani media penerbitan,” tegas suamiku sambil bersenyum.
Kami semua hanya bisa mengiyakan sambil mengangguk-angguk. Kami begitu serius mendengar penjelasan itu.
“Dan nanti setelah semuanya tertata dengan baik, bilamana bapak tidak lagi bisa berbuat apa-apa, Habib yang saat ini masih segini dan calon anak kedua istriku ini, kalian yang sudah dewasa yang memberi tauladan,” lanjut suamiku menjelaskan
“Nah itulah, kenapa aku mensyukuri karunia penyakit,” tegas suamiku kemudian.
Alhamdulillah, lebih cepat yang diperkirakan dokter suamiku pulih dari strook yang menimpanya. Tapi beliau juga tidak menyentuh samasekali terhadap berbagai kegiatan yang telah dilimpahkan padaku dan anak-anaknya. Suamiku beralih pada hoby memalihara bunga dan anggur di depan rumah. Semua dilakukan sendiri kecuali yang berat-berat. Disamping itu beliau juga melibatkan Habib, anakku yang pertama saat anakku tidak ada kegiatan belajar di lembaga penidikan yang dipimpin Nita.
Di ujung-ujung hidupnya suamiku tetap memiliki semangat hidup. Aura yang dipancarkan dari raut wajahnya tidak kelihatan semakin tua, tapi malah kelihatan bersinar. Akupun merasa begitu bahagia merasakan sebuah episode kehidupan bersamanya. Bahkan pernah muncul kembali memoriku ketika aku antara sadar dan tidak bersujud dikakinya saat ia tahiyat akhir dalam sholatnya. Mungkin itulah isyarat bahwa aku memang ditakdirkan menikmati hidup bersamanya di saat usianya sudah senja.
Kamipun juga bisa menerimanya dengan penuh keikhlasan ketika ia menghembuskan nafas terakhir di usia tujuhpuluh enam tahun, di serambi masjid ketika ia tidur di pahaku usai sholat dhuhur.
Akupun begitu ikhlas dengan buah hatiku yang ia tinggalkan sebagai penghibur hidupku dan sebagai buah tanda cinta kasihku. Sebuah tanda cinta kasihyang diwariskan dan akan menjadi teman hidupku kala aku berbaring di alam barzah. Dan yang lebih berharga lagi adalah warisan silaturrahim yang begitu kuat antara aku dan anak-anaknya yang terdahulu hingga sepertinya semua adalah anak kandungku.
Selamat jalan suamiku, semoga kebersamaan kita, juga dengan istrimu yang dahulu, serta seluruh anak-anak kembali kita nikmati dalam surga.
Komentar
Tulis komentar baru