CATATAN 2
Rasa ragu dan khawatir sebenarnya sudah muncul dalam hati saat aku kebagian memboncengmu R. Ragu apakah aku akan kuat mengayuh sepeda dengan beban berat badanmu. Aku hafal sekali menurun dan mendakinya jalan ke Kampung Bukit Lama. Yakin sekali bahwa dari Jalan Pintu Air ke Kampung Bukit sama sekali tidak ada menurun. Mendatarnya hanya sampai batas SR 1. Dari belokan Jalan Merdeka ke arah Kampung Bukit tanjakannya berat. Jalan menurun baru ada jika belok kiri. Yang ada kuburan. Setelah kuburan mendaki lagi.
Masalah mendaki dan menurun sebenarnya bukan masalah utama. Gendutmu itu yang jadi pikiran. Sepeda yang kupinjam dari Mang Senan ini sepeda usang. Sepeda tua. Jangan-jangan rodanya bisa jadi angka delepan jika kita naiki berdua.
Tapi apa daya. Aku disudutkan oleh teman lelaki untuk “berpasangan” denganmu. Aku pasrah. Dan mulailah berubah. Bunyi sepeda usang yang ketika kupakai sendiri hanya berbunyi “kriyat kreyet” berubah menjadi “kratak krotok”. Dan kekhawatiranku menjadi kenyataan. Belum sepuluh kayuhan ban meletus.
Celakanya ban meletus ini persis di depan anak-anak geng Pintu Air yang sedang nongkrong di pilar jembatan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan melawan mereka, melarang mereka tertawa saja aku tidak berani.
Sementara itu tiga pasangan lain sudah melaju. Mungkin sudah sampai Jalan Balai. Pasti mereka tidak peduli kita berdua.
Diiringi sorak dan tawa anak geng kita balik. Apes. Fahro tidak meninggalkan kunci kamar kosnya. Kita hanya bisa duduk-duduk di depan. Menunggu sampai mereka kembali.
Yang paling aku ingat tentang engkau Minggu pagi itu adalah engkau membisu 1000 bahasa. Sejak ban meletus diiringi sorak dan tawa anak-anak geng itu kau diam. Betul-betul diam. Aku tanya ini itu kau diam membisu.
Kau malu padaku?
Ah, kalau saja Fahro menitipkan kunci dan kita bisa masuk ke kamar kosnya. Ceritanya akan lain.
202203071352 Kotabaru Karawang
Komentar
Tulis komentar baru