Setelah kepergianku bersama Pak Mulya ke pantai, tersebar berita di antara rekan sekerja dalam satu kantor tentang hubunganku dengan Pak Mulya yang begitu mesra. Aku hanya diam dan Pak Mulya pun tetap begitu tenang seperti biasanya. Tidak begitu lama berita itu telah menjadi gosip ke sesama rekan kerja di kecamatan lain bahkan sampai dinas kabupaten. Jadi gosip karena yang tersebar bukan lagi seperti sebenarnya tapi telah di tambah-tambah dan di hubung-hubungkan dengan peristiwa lain.
Pak Mulya memang kelihatan tetap tenang. Tapi aku begitu galau dan kadang sampai ketakutan kalau gosip menyebar ke keluarga Pak Mulya.
“Pak, dengar ndak gosip tentang kita,” tanyaku dengan wajah tegang ke Pak Mulya ketika kami tengah berada di ruang kerjaku.
“Ya, dengar. Bahkan sebelum tersebar jadi gosip saya sudah agak curiga dengan bisik-bisik teman dengan tatapan yang memang seakan mengetahui,” jawab Pak Mulya.
“Terus gimana pak?” lanjutku bertanya.
“Kita hadapi dengan tenang aja dan kita tetap seperti biasanya aja. Jangan terlalu mencolok,” jawab Pak Mulya.
“Gosip yang beredar tidak semuanya benar, tapi kita akui juga ada benarnya. Ndak apa-apa. Kita tetap bertanggungjawab terhadap apa yang kita lakukan,” lanjut pak Mulya.
Aku masih tetap tegang dan gusar. Kadang malam aku sulit tidur karena datang silih berganti bayang mesra Pak Mulya, bijaksananya Pak Mulya, dan berpadu dengan gosip yang berkembang. Aku pikir tindakan kami memang agak ceroboh. Tapi sudah terjadi.
Aku harus menghibur diri dan mencoba mencari jalan pencerahan. Aku harus menghadapi semua dengan tetap berakhlaqul karimah dan cerdas.
“Gimana ya, kalau kutegarkan jiwaku untuk ke perpus Pak Mulya pada hari Minggu. Aku akan mendekati istri Pak Mulya, kalau seandainya mendengar gosip yang sedang melandaku, maka tidak terjadi ketegangan,” bisikku dalam hati.
Tekadku sudah bulat, bahwa itu salah satu jalan untuk mengurangi kegalauanku. Namun ketika mau melaksanakan juga begitu berat. Rasanya sepanjang perjalanan mata-mata seakan mengintai.
“Pak, minta nomornya ibuk. Nanti kalau ada yang penting saya mudah untuk menghubungi,” WA ku kepada Pak Mulya.
Pak Mulya dengan cepat mengirimi nomor istrinya.
“Aku telpon aja istri Pak Mulya kalau aku mau ke perpustakaan,” bisikku dalam hati.
Aku benar-benar mewujudkan tekadku. Hal ini memang kelihatan kecil tapi bagiku memiliki muatan yang besar. Usai komunikasi dengan istri Pak Mulya dan dengan begitu mudahnya ditanggapi aku meluncur ke perpus dengan tanpa ada rasa yang membebani.
“Mbak, nanti makan siang di rumah aja ya sama-sama saya. Ndak usah ke warung meski sama-sama gratis. Saya punya cerita sedikit,” ujar istri Pak Mulya dengan mendekatiku ketika aku sedang asyik membaca.
Hatiku kian gusar. Kepalaku pening. “Jangan-jangan istri Pak Mulya dengar gosip tentang aku. Karena teman sekerja kami ada yang dekat dengan rumah Pak Mulya meski tugas di kecamatan lain,” bisikku dalam hati.
“Iya bu, insya Allah” jawabku singkat.
Benar yang kuduga. Istri Pak Mulya mendengar tentang gosip tentang aku. Aku begitu tegang ketika makan bersama istri Pak Mulya. Kepalaku makin pening dan terasa mual.
“Mbak, kok kelihatan kurang fres?” tanya istri pak Mulya di tengah-tengah kami makan bersama.
Aku menatap istri Pak Mulya dengan tegang sambil menghentikan tangan ketika mau menyantap makanan. Aku hampir juga menjerit karena ketakutan.
“Gini mbak, saya punya cerita yang begitu menarik” lanjut istri Pak Mulya sambil tersenyum.
Aku hanya diam dan kian tegang. Tubuhku kian gemetar dengan keringat dingin mulai keluar.
“Saya dengar gosip. Gosip... jadi saya hanya menerima sambil tersenyum aja,” tambah istri Pak Mulya.
Tanganku gemetar. Sendok yang ada di tanganku terjatuh. Air mataku mulai menetas. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa. Mau minta maafpun ndak bisa.
“Gini ya mbak, kalau saya secara pribadi telah berkali-kali menerima gosip. Seringkali suami saya digosipkan dengan orang yang berganti-ganti. Semua saya maklumi karena yang dilakukan suami saya kan juga macam-macam. Apalagi kalau suami saya telah melatih drama dengan ana-anak esema. Jadi kalau ada gosip yang menimpa suamiku dengan Mbak Wulan bagi saya harus dihadapi dengan senyum,” tegas istri Pak Mulya.
“Kalau semua dicari salah, semua orang ada salahnya. Saya kan ndak tahu sebenarnya yang dilakukan suami. Saya hanya berfikir positif bahwa yang dilakukan telah difikir sebelumnya. Dan saya tahu bahwa suami saya memang termasuk orang yang ringan tangan, suka membimbing siapapun, bahkan sampai menyangkut bisnis sekalipun beberapa rintisan bisnis diberikan orang lain,” lanjut istri pak Mulya menegaskan.
“Jadi , mbak Wulan ndak usah ketakutan dengan saya. Tidak perlu memutus tali silaturrahim. Bahkan menurutku siapapapun yang punya ikatan hati, entah karena apa penyebabnya, baik kepada suami saya maupun kepada saya, dan juga pada anank-anak saya, itu wajib menjaga ikatan hati itu. Saya yakin pada saatnya nanti kita akan punya satu kerjasama. Itu cara berfikir saya. Lha, itu contohnya. Warung di depan itu. Itu juga orang yang pernah punya ikatan hati, dan alhamdulillah kami punya kesempatan untuk menolong,” tegas istri Pak Mulya lebih lanjut.
Aku tetap terdiam. Tapi suasana hatiku telah berubah seratus delapan puluh derajat. Kepalaku tak lagi pening. Semangatku kembali pulih.
“Maaf ya, makannya sedikit terganggu. Tapi dengan ini kita kan sudah enak makan lagi. Yuk kita teruskan,” ajak istri pak Mulya sambil menepukkan tangan ke pundakku.
“Maaf bu, sebenarnya saya ndak seperti......,” selaku diantara pembicaraanku dengan istri Pak Mulya.
“Sudahlah,” potong istri Pak Mulya menghentikan pembicaraanku.
“Kalau kita terlalu menanggapi gosip yang berkembang, kita akan pusing sendiri. Saya cukup mengerti dan merasa bahwa yang Pak Mulya lakukan ada juga kurangnya, tapi menurut keyakinanku ada kebaikan yang ia lakukan. Nanti pada saatnya mbak Wulan akan merasakan juga dalam hal apa kebaikan itu muncul,” lanjut istri Pak Mulya.
Aku kian ndak bisa meneruskan pembicaraan apapun. Jiwaku gemetar. Kepala juga kembali agak pening. Aku berfikir, jangan-jangan sebuah cara halus istri Pak Mulya dan setelah ini malah membantaiku habis-habisan.
“Nanti kalau sudah selesai silakan kembali ke perpus, seandainya ingin meneruskan membaca,” ucap istri Pak Mulya meneruskan.
Tanpa menjawab, akupun berdiri mendekati istri Pak Mulya dan langsung mendekapnya sambil menangis lirih.
“Setelah ini saya tak langsung pulang aja bu. Mohon maaf ya,” jawabku sambil tetap memeluknya.
“Oo ... gitu. Tetap jaga ketenangan hati. Perbanyak doa. Tingkatkan ibadah. Insya Allah semua akan segera terselesaikan,” sahut istri Pak Mulya.
Hati dan fikiranku kembali terasa tenang. Sambil berkendara pelan dan rasanya kurang begitu sadar, akupun sampai di rumah. Setelah istirahat sekedarnya aku segera mandi besar kemudian sholat dhuhur. Mandi besar, yang kulakukan memang bukan wajib atau sunnah, tapi sebuah tanda kusyukuran dan tanda memulai langkah baru agar aku bisa lebih baik.
Aku tenggelam dalam doa dan kekhusyukan. Aku memohon maghfirah atas langkah yang telah aku lakukan yang aku akui terkadang hampir mendekati pintu dosa. Akupun memohon rahmat pada Allah agar aku mampu menemukan jalan terbaik untuk langkah selanjutnya. Akupun tak lupa mendoakan Pak Mulya beserta keluarganya yang tanpa terasa membawaku sebuah gelombang hidup yang cukup mengasikkan.
Hari-hari selanjutnya tetap kujalani seperti biasanya. Gosip yang menerpaku aku biarkan berlalu dan aku tetap berusaha menyembunyikan rasa ketidakenakan. Di kantor aku terus berusaha membawakan diri seperti biasanya, seakan tidak ada masalah dengan keadaan batinku yang begitu menanggung malu dan pilu.
Selang beberapa hari aku menerima SK pindah tempat kerja ke kecamatan lain yang diserahkan oleh pak Hadi kepala kantorku.
“Katanya kamu dipindah ke kecamatan lain,” ungkap Pak Hadi sambil menyerahkan surat dalam amplop tertutup dari kepala dinas kabupaten.
“Terimakasih banyak pak.,” jawabku dan sambil minta diri ke ruang kerja.
Aku buka dan aku baca berkali-kali SK pindah itu. Hatiku protes dan merasa keberatan karena jarak yang kutempuh tiap hari akan lebih jauh, hampir dua kali lipat dari tempat kerjaku saat ini, sementara status kepegawaianku selanjutnya juga masih belum jelas. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku menangis sendirian. Tapi sesekali terhibur oleh keyakinanku sendiri bahwa aku yakin hal itu lebih membawa kebaikan.
Aku sendirian saat itu karena rekan-rekan kerja masih di lapangan. Apalagi Pak Mulya yang biasa menghibur kepedihanku hampir dalam segala hal sejak pagi belum pernah ketemu.
Sebelum jadwal kembali ke kantor, rekan-rekan kerja sudah kembali ke kantor, dan bahkan hampir bersamaan. Ya, rupanya ada koordinasi mendadak dari Pak Hadi untuk menyampaikan informasi kepindahanku. Hanya Pak Mulya yang tidak ada saat itu, dan hingga akhir acarapun tidak juga muncul. Hatiku jadi sedikit gusar, ingin segera bertemu Pak Mulya.
“Wulan, saat ini saya sedang bersama pak kepala dinas. Saya menyampaikan kepada beliau, kalau bisa SK kepindahanmu direvisi kembali. Tapi beliau menyampaikan bahwa hal tersebut dilakukan telah dipertimbangkan agar semua terjaga. Agar gosip yang telah tersebar bisa segera hilang,” pesan WatsApp Pak Mulya padaku siang itu.
“Ya pak, terimakasih telah membantu memperjuangkan meski hasilnya belum sesuai harapan,” balasku via WA singkat.
Aku harus menyelesaikan beberapa tugas dan diberi tambahan waktu satu pekan efektif di kantor itu sebelum aku pindah. Aku berusaha untuk tabah dan menahan diri untuk tidak larut dalam suasana yang diciptakan teman-seman sekerja yang seakan-akan perpisahan adalah kepedihan. Ya, memang ada rasa berat di hati untuk berpisah dengan sesama teman yang selama ini terlah terjalin suasana keakraban. Lebih-lebih dengan Pak Mulya yang begitu telaten membimbing dan memberiku semangat hidup. Dan lebih dalam lagi Pak Mulya memang telah mengisi hatiku yang sebelumnya begitu kering dari cinta dan kasih sayang.
Hari terakhir sebelum aku beranjak pindah ke tempat tugas baru, dilakukan acara perpisahan sederhana. Biasa saja. Sudah tidak ada tetes air mata mengiringi langkahku untuk melepas rekan-rekan kerja. Malah yang kuterima adalah kado persahabatan.
Jelang jam pulang hari itu, Pak Mulya masih kelihatan sibuk di depan laptop di ruang kerjaku. Sementara teman-teman lain mulai bergantian absen dan pulang. Aku menertibkan beberapa dokumen agar mudah diteruskan oleh siapapun yang akan menggantikan. Aku mondar-mandir di di belakang Pak Mulya.
“Sttttt...,” Pak Mulya menghentikan langkahku sambil menarik ujung jemariku.
“Sudah pulang semua,” tanya Pak Mulya.
“Sudah Pak,” jawabku.
Pak Mulya berdiri tepat di depanku. Sambil mengambil sesuatu dari saku celana dan menunjukkan padaku berucap, “Ini saya tambah kadonya,” lanjut Pak Mulya sambil membuka dan mengeluarkan isinya.
“Tapi tolong ijikan saya untuk mengalungkan,” sambung Pak Mulya sambil menunjukkan kalung emas yang menurutku begitu indah.
Aku hanya mengangguk pasrah dan terus menunduk. Sementara Pak Mulya membuka kancing kalung emas itu dan terus mengalungkan pada leherku. Jibab yang kukenakan otomatis disingkap. Dan disingkap dengan begitu lembut. Leherku tersentuh tangan Pak Mulya. Hatiku gemetar dan gairah kewanitaanku mewarnai seluuruh tubuhku. Tapi aku masih tetap menahan diri sekuatnya.
Usai mengalungkan hadiah itu untukku, Pak Mulya menatap wajahku dengan begitu mesra sambil memegang kedua pundakku. Aku hampir saja memeluk dan menyerahkan diriku.
“Kalung ini bukan tanda perpisahan, tapi penanda sebuah persahabatan. Saya sengaja tidak memberi simbol apapun di kalung ini sebab aku yakin simbol itu telah kita simpan di dalam hati masing-masing. Pelihara baik-baik, mudah-mudahan bisa menjadi tanda kebaikan masing-masing ketika kita berpisah tempat,” ucap Pak Mulya sambil secara pelan menurunkan kedua tangandari kedua pundakku sampai ke ujung jari.
Aku hanya menunduk dan tidak bisa berkata apapun. Aku juga seperti terpaku dengan gejolak jiwa yang terbawa nafsu. Kemudian kutatap wajah Pak Mulya yang tepat di depanku dengan senyum.
“Terimakasih banyak pak,” ungkapku.
“Sudah terlalu sore, yo kita pulang,” ajak Pak Mulya menutup pertemuan saat itu.
Komentar
Tulis komentar baru